"Dok, bagaimana operasi suami saya?" Marisa menatap cemas ke arah Dokter Tommy yang baru saja keluar dari ruang operasi. Dokter Tommy membuka maskernya lalu tersenyum, "Alhamdulillah operasi pasien Irawan berjalan lancar. Tinggal kita menunggu masa kritisnya berlalu." "Alhamdulillah," seru Marisa dan keluarganya. "Setelah ini apa suami saya bisa diprediksi kapan sadar dari koma, Dok?" tanya Marisa. "Sabar Bu. Untuk itu masih perlu waktu. Perlu diobservasi lagi. Saya tidak bisa menjawabnya sekarang," jawab Dokter Tommy. "Baik, Dok. Terima kasih banyak sudah melakukan yang terbaik untuk operasi anak saya," sahut Pak Hartawan. Dokter bedah saraf itu hanya mengangguk dan segera berlalu dari hadapan Pak Hartawan dan keluarganya. Mata Marisa mengiringi langkah Dokter Tommy yang meninggalkan ruang operasi. Tubuhnya tiba-tiba saja melemas hingga adiknya Ratih yang ada di belakangnya harus memeganginya agar tidak terjatuh. “Mbak… mbak kamu kenapa?” seru Bu Rahmi. Dia membantu Ratih
Bab 30. Siapa Perempuan itu?"Loh, kok belum pulang, Dok? Saya kira sudah pulang karena ruangannya kosong," sapa seseorang dengan suara lembut. Marisa menatap sosok yang menyapa Dokter Harun. Perempuan itu berwajah bulat telur dengan kulit wajah putih halus seperti porselen. Rasanya kalau ada lalat yang menempel di pipinya akan terpeleset. Penampilan perempuan itu juga sangat elegan. Tunik polos berwarna biru muda dengan rok A line biru tua dilengkapi dengan hijab motif bunga dengan dasar berwarna biru. Marisa terpesona melihat perempuan itu. Dia tersadar ketika mendengar suara Dokter Harun."Iya ini saya mau pulang." Dokter Harun menjawab singkat. "Sudah makan atau belum? Saya mau konsul, boleh? Sekalian makan malam atau ngopi gitu," ajak perempuan cantik itu. "Di kantin aja ya, Dok. Saya harus segera pulang soalnya besok pagi-pagi sudah ada jadwal visite di Griyu." Dokter Harun menjawab singkat lalu dia menoleh ke Marisa lalu berpamitan. Marisa menatap punggung kedua orang itu
"Marisa! Kamu kemana saja, sih? Kamu gak lihat jam? Nyadar gak sih udah berapa jam kamu pergi, hah!" bentak Bu Santi. "Maaf, Bu." Marisa tertunduk di depan ibu mertuanya. Bukan karena dia merasa bersalah, tetapi karena dia tidak mau membuat mabuk. "Jangan cuma bisa minta maaf! Jelasin kamu kemana?" tanya Bu Santi dengan nada mendesak. “Sabar, Ma. Ingat kita ada di mana,” tegur Pak Hartawan. Namun, seperti nada biasa selama bicara Pak Hartawan bukan seperti orang marah, maka Bu Santi akan mengabaikannya. "Tadi itu selain Salat Magrib dan makan, Marisa bertemu Dokter Harun. Dokter Spesialis Jantungnya Mas Irawan, Ma. Jadi Marisa tanya-tanya soal kondisi Mas Irawan ke dokter itu. Marisa pikir mumpung dia lagi punya waktu. Takutnya besok dia gak visite karena harus ke Surabaya, karena tadi mobilnya di sebelah mobil Papa." Marisa mencoba menjelaskan agar ibu mertuanya tidak salah paham. "Terus jawaban dokter itu bagaimana?" Bu Santi mulai merasa penasaran dan lupa dengan amarahnya.
"Ada apa ini?" Marisa yang tersentak bangun menatap bingung ke arah serombongan dokter dan perawat yang berlari memasuki ruang ICU. "Ada kebakaran?" tanyanya ke arah Sandhy yang saat ini juga sudah duduk sambil mengucek matanya. Sandhy mengedikkan pundaknya. Dia juga baru pertama kali mendengar di rumah sakit ada bunyi seperti sirine pemadam kebakaran. Marisa menutupi tubuhnya yang terasa pegal karena tidur di kursi sambil duduk. Lalu dia bangkit dan melangkah menuju jendela Ruang ICU. Namun karena tidak sempat berkunjung maka jendela ditutup oleh tirai. Marisa mencoba mengintip dari celah tirai. Namun sayang celahnya terlalu kecil sehingga dia tidak bisa melihat sedikitpun aktivitas di dalam ruangan.Pintu kaca Ruang ICU terbuka, muncul dua orang perawat yang setengah berlari keluar. Salah satunya kembali tak lama kemudian. Marisa menahan lengannya dan bertanya, "Ada apa, Suster? Itu suara sirene apa, ya?""Code blue," jawab perawat itu singkat dan segera memasuki ruangan ICU. "
"Kondisi istri saya bagaimana, Dok?" tanya Sandhy dengan cemas. Meski Sandhy sempat emosi dengan ulah Monika, tetapi bagaimanapun juga Monika adalah istrinya. Jadi, rasa sayangnya masih tetap ada. Begitu pula "Istri bapak siapa, ya?" tanya sang dokter. "Saya suami pasien yang bernama Monika, Dok." "Bapak ini suami pasien yang baru saja dokter tangani," sahut salah satu perawat yang tadi sudah berbicara dengan Sandhy. Dokter itu mengangguk lalu menatap Sandhy. "Alhamdulillah istri bapak sudah stabil kembali. Terima kasih sudah mendoakan tim kami jadi istri bapak bisa selamat." "Syukurlah. Terima kasih dokter. Kira-kira kapan istri saya bisa sadar kembali?" Sandhy menatap wajah bulat sang dokter dengan penuh harap. "Kalau tentang hal itu tidak bisa saya pastikan. Bisa ditanyakan ke dokter yang menangani pasien. Begitu, ya, Pak." Dokter itu mengakhiri jawaban dengan mengangguk lalu berlalu dari hadapan Sandhy.Sandhy kembali duduk. Dia mengusap wajahnya dengan kasar. Sampai kapan a
"Astaghfirullah jam berapa ini. Aku kesiangan." Marisa tersentak bangun ketika mendengar suara ketokan pintu. Dia buru-buru duduk dan merapikan rambutnya. Tepat pada saat pintu di buka. "Waktunya kontrol, Bu," ucap salah satu dari empat orang perawat. "Iya, silakan." Marisa berdiri untuk menyambut rombongan dokter dan perawat yang mulai mendekati kasur suaminya. Pada saat itulah dia melihat sosok yang dikenalnya. "Loh … dokter kok ada di sini?" Dokter yang disapa Marisa juga tidak kalah terkejutnya. "Loh … jadi Pak Irawan dipindah ke sini ya, Bu?" "Iya, Dok. Saya tinggal di Surabaya dan rumah sakit ini lumayan dekat dengan rumah saya." Marisa menjelaskan alasan pemindahan suaminya. Namun, dia tidak menyebutkan bahwa pemilik rumah sakit ini adalah teman mertuanya. Dia tidak ingin dianggap memanfaatkan nama Dokter Burhan sebagai pemilik rumah sakit. "O begitu. Baik saya periksa Pak Irawan dulu, Bu," jawab Dokter Harun. Marisa mengangguk. Dia memperhatikan Dokter Harun dan peraw
"Mas Sandhy? Tidak biasanya dia menghubungiku. Ada apa ya?" Rasa penasaran membuat Marisa membatalkan rencananya menuju toilet. Dia memilih duduk di sofa dan mengangkat panggilan telepon dari Sandhy. "Halo Mas, tumben kamu telepon saya. Pagi-pagi pula. Maaf kemarin aku nggak sempat pamit kalau suamiku pindah rumah sakit." Marisa berkata tanpa henti sebelum Sandhy mengucapkan salam."Ri-sa …." Terdengar suara Sandhy … lirih dan gemetar.Suara Sandhy itu membuat Marisa terkesiap. Ada apa dengan kakak kelasnya itu? batin Marisa bertanya-tanya. "Iya, Mas. Ada apa? Kenapa suara Mas Sandhy seperti itu?" tanya Marisa dengan nada heran."Mo-mo-ni-ka …." "Kenapa dengan istrimu, Mas?" "Istriku kritis lagi, Ris," sahut Sandhy dengan suara lemah. Marisa menghembuskan napas dengan keras. Sebenarnya salah satu alasan dia ingin suaminya secepatnya pindah rumah sakit adalah dia ingin melupakan semuanya. Dia menghargai Sandhy sebagai kakak kelasnya dulu. Juga sebagai orang yang pernah mengisi h
"Ya Allah benarkah berita yang ada di televisi ini?" Marisa berseru ketika dia yang tengah asyik menonton sebuah film, tiba-tiba melihat tulisan berjalan di bagian bawah layar telivisi berukuran 32 inchi itu. Layar LED di depannya itu mendadak menampilkan sebuah tulisan breaking news. Mata Marisa membulat ketika membaca isi tulisan tersebut. Berawal dari Running Teks yang membuat Marisa membekap mulutnya dan menghela napas kasar. Layar berganti menampilkan gambar halaman dan pintu lobi sebuah rumah sakit yang dia kenal. Rumah sakit tempat suaminya pertama di rawat setelah mengalami kecelakaan.Mata Marisa tak berkedip menatap layar televisi yang saat ini menampilkan sebuah wawancara. "Jadi benar ya, Pak? Penyanyi bernama Monika itu baru saja meninggal dunia?" tanya salah satu wartawan, yang mengerubungi seorang satpam. "Maaf saya tidak berwenang untuk menjawab. Silakan bertanya langsung dengan pihak manajemen rumah sakit." "Tapi pihak manajemen rumah sakit tidak mau berbica