Share

bab 4

Dua hari kemudian ...

Nara tinggal di rumah Pras sebelum pernikahan itu dilangsungkan.

Acara yang akan dibuat, sangat sederhana. Hanya mengundang tetangga dekat rumah saja.

Seperti biasa, Dinta sedang sibuk mengambilkan barang permintaan para pembeli.

"Kok pernikahan Pras mendesak sih Bu? Memangnya ada apa?" celetuk salah seorang pembeli di warung itu.

"Iya malah yang perempuannya udah nginap di sini lagi." Sambung yang lain.

Dinta yang mendengar itu tidak menjawab. Ia hanya bisa menarik napas berat. Keluarga mereka saat ini sedang menjadi bahan gosip satu kampung.

Andaikan ia mempunyai dua kepala, mungkin ia sudah membuang salah satunya sekarang, anak lelaki yang ia banggakan selama ini, kini telah berhasil melemparkan kotoran tepat ke mukanya.

"Ibu-Ibu, maaf sebelumnya ya, warung saya ini bukan tempat untuk menggosip, kalau urusan kalian sudah selesai, Ibu-Ibu semuanya boleh pulang!" halaunya dengan menahan emosi yang bergejolak.

"Ih, gitu aja marah, Bu. Kami kan cuma nanya, jangan sensi gitu dong, Bu ..." sahut seorang diantaranya sebelum mereka semua pulang ke rumah masing-masing.

"Gara-gara perempuan gatal itu, yang menggoda anak saya. Akhirnya semua menjadi kacau begini." racaunya di dalam hati.

**

"Ra ... kita harus pulang ke rumah orang tuamu untuk meminta restu," ujar Pras yang baru pulang dari kantor urusan agama untuk mengurus berkas-berkas pernikahan.

"Percuma, Mas. Ayah nggak akan pernah merestui." ungkapnya datar.

"Tapi pernikahan ini tidak bisa dilaksanakan jika tanpa wali, Nara ..." jelas sang pria berkulit kuning langsat itu.

"Ya terus gimana, Mas?" Kening Nara mengerut.

"Tak ada pilihan lain, selain mengatakannya pada ayahmu." ungkapnya.

"Oke kalau gitu aku akan bujuk papa, kamu temenin aku ya, Mas."

"Pasti, Sayang." Pras menyahut seraya membel4i rambut panjang Nara.

**

Dengan menggunakan motor butut peninggalan almarhum ayahnya puluhan tahun silam, mereka pun berboncemgan menuju ke rumah Surya. Berharap agar lelaki itu mau membukakan pintu hatinya untuk menerima Pras sebagai menantunya. Meski pria itu sekarang pengangguran.

"Semoga saja beliau mau merestui pernikahan kita, ya, Mas." tutur Nara di balik punggung bidang Pras.

Pria itu memilih diam, ia tetap fokus menyetir di jalan yang sangat ramai itu.

"Andaikan papa bersedia untuk menjadi wali, maka pernikahan kita akan dilangsungkan besok ya, Mas. Tak perlu menunggu lebih lama lagi, bukankah lebih cepat lebih baik, Mas?"

Nara begitu terburu-buru. Ia takut kalau Pras tidak jadi menikahinya dan ia tidak menginginkan anaknya lahir tanpa seorang ayah.

"Semua itu tergantung keputusan ayahmu, Nara. Jika ia tidak mau menjadi wali, aku juga nggak tau lagi harus gimana." tutur pria itu, suaranya tidak begitu jelas karena diterpa angin motor yang melaju kencang.

**

Sedangkan Surya masih berdiam diri di rumahnya. Semenjak kejadian itu ia tidak masuk kantor. Pikirannya begitu terpukul. Ia tak menyangka, gadis yang ia sayangi dari kecil sudah dirusak oleh pria lain.

"Aarrgghhh!" Ia menendang kaki meja. Emosinya belum reda. Ia benar-benar merasa kecewa yang sangat luar biasa.

Ingin rasanya ia memukul dirinya sendiri sebagai pelampiasan atas rasa marahnya.

Ia sudah gagal menjadi seorang ayah untuk Nara.

Ia merasa tak bisa menjaga anak gadisnya dengan baik, sampai-sampai bisa terjadi hal seperti ini.

"Maafin aku, Lidya, aku tak bisa melindungi putri kita, ini semua salahku yang tak memperhatikan pergaulannya selama ini, aku begitu abai karena sangat sibuk di kantor hingga lupa menanyakan tentang Nara."

Surya membatin penuh haru. Setetes air mata turun di pipi yang mulai menua itu.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status