‘’Nel, jangan bohongi diri kamu. Aku tahu luka di hati kamu begitu dalam. Walaupun aku nggak pernah merasakannya. Jangan siksa diri kamu kayak gini.’’Dalam hati aku membenarkan ucapan lelaki itu, namun di sisi lain aku bingung. Dia kok bisa sebaik ini padaku? Apa dia ada maksud lain?‘’Jika melepaskan adalah terbaik untuk kamu dan membuat rasa luka kamu berkurang, maka lepaskanlah dia. Ma’af karena aku terlalu ikut campur dalam masalah rumah tangga kamu,’’ lirihnya yang membuat aku menoleh padanya.Kupandangi wajahnya sejenak. Seperti dia ikhlas mengatakan semua dari hatinya. Dari sorot mata lelaki itu tak ada tersimpan kebohongan di sana, tulus. Apa aku terlalu mencurigainya? Apa karena aku yang trauma dengan lelaki yang bermanis mulut seperti suamiku? Kuakui kini tak mudah bagiku untuk mempercayai lelaki.‘’Kamu benar, Ren. Makasih banyak ya. Kamu udah mau support aku dan selalu baik sama aku,’’ kataku pelan. Seketika senyuman terbit di bibirnya.‘’Sama-sama. Itu udah tugas aku unt
‘’Gimana Bibi bisa berjanji kalo Mas Reno terus saja memaksa. Dia itu paling nggak bisa melihat Ibu sedih atau Ibu dalam bahaya. Karena dia cinta banget sama Ibu.’’Ucapan bibi mampu membuat aku terkesiap. Jadi selama ini dia menyukaiku? Itu alasannya selama ini membantuku? Ah, tak mungkin! Si bibi pasti hanya bercanda, tapi ekspresinya tampak serius.‘’Bi, apaan sih. Bibi pasti bercanda,’’ kataku terkekeh dan menggeleng berkali-kali.‘’Buat apa Bibi bercanda sama Ibu? Tapi, apa nggak bisa Ibu menilai sendiri bagaimana Mas Reno memperlakukan Ibu?’’Membuat aku kembali terpikir bagaimana lelaki itu yang selalu membantu dan menjagaku selama di rumah sakit. Dia begitu sangat memperhatikanku, mulai dari makanan. Dia tak membolehkanku memakan makanan dari rumah sakit. Hingga membuat dia selalu membelikanku nasi Padang di luar. Satunya lagi, ketika aku dibawa dan disekap oleh orang jahat yang kuyakin adalah suruhan mas Deno atau si pelakor.Dia juga yang berhasil menyelamatkanku walaupun
‘’Ah, hampir saja susu yang kubikin jadi dingin karena melamun. Astaghfirullah!’’ Sejak tadi tanganku mengaduk susu dan melamun panjang, hingga aku tersadar dari lamunan. Bergegas aku melangkah ke ruang bermain anakku.‘’Sayang, ini susunya. Adik minum dulu ya.’’ Kubantu Naisya, karena gelas sebesar itu tentu berat tangan mungilnya memegang.‘’Ma, Adik pengen punya temen,’’ rengeknya yang membuat aku terkesiap. Mulutnya belemotan susu membuat aku gemes sekali melihat anak semata wayangku itu.‘’Kan ada Mama sama Bibi. Adik punya temen ntar kalo udah sekolah aja ya,’’ kataku lembut sambil meletakkan gelas kosong itu di nakas.Ya, memang Naisya tak memiliki teman. Dia sejak dulu bermain hanya sama papanya, bibi Sumi dan aku. Bukan apa-apa, aku hanya tak ingin Naisya terpengaruh dari lingkungan pertemanannya. Seperti yang kulihat dari tetangga sebelah kiri rumah, anak mereka selalu diperbolehkan bermain benda canggih itu bahkan dibelikan jika tak ada. Tentu akan membuat mereka kecanduan
Azan zuhur berkumandang membuat aku tersadar dari lamunanku. Seketika membuat rindu hadir, aku rindu bermunajat pada Sang Maha Kuasa, rindu mengadu pada-Nya di sepertiga malam. Ya, kini aku tengah kedatangan tamu, makanya aku tak bisa melaksanakan kewajiban empat raka’at itu.‘’Alhamdulillah Ya Allah. Aku masih hidup sampe sekarang,’’ lirihku sambil mengusap muka.Aku bersyukur sekali karena masih bisa menghirup udara hari ini, masih bisa membuka mata. Padahal aku kemarin kecelakaan dan pernah juga disekap oleh penjahat dalam keadaan lemah tak berdaya, tapi Alhamdulillah Allah masih memberikan kesempatan hidup untukku, Dia masih memberikan aku kesempatan untuk memperbanyak ibadah dan amal baik. Apalagi aku masih punya Naisya yang masih kecil, tentu butuh bimbingan dan didikan dariku.Aku melangkah ke luar dari kamar menuju teras. Sesekali bolehlah aku duduk di teras sambil menanti angin segar dari pepohonan di depan rumah. Aku suntuk sekali karena akhir-akhir ini aku lebih memilih tak
POV Bibi SumiSebenarnya aku tak percaya pada lelaki yang baru saja menjadi security di sini. Tapi apalah daya, tak mungkin aku melarang Bu Nelda untuk pergi refreshing. Karena dia juga butuh menenangkan pikirannya dengan jalan-jalan ke luar, apalagi konflik rumah tangga yang dipikulnya akhir ini, ditambah mertua si ibu yang masuk rumah sakit. Tapi suaminya tak mengizinkan Bu Nelda untuk membezuk sang mertua. Aku tak terbayangkan bagaimana hancur hatinya sekarang dan begitu banyak beban pikirannya, jika aku di posisi Bu Nelda pasti aku akan gila atau memilih mengakhiri hidup.‘’Kasihan sekali kamu, Dik,’’ gumamku dalam hati sambil menatap Naisya yang tengah asyik bermain.Anak seusia dia masih butuh kasih sayang dari kedua orangtuanya. Dia tak tahu apa-apa, dia tak tahu konflik yang tengah menimpa kedua orangtuanya hingga dia terpisah dari sang papa. Bu Nelda pun tak salah dan tak egois menurutku, karena tak pantas rasanya mempertahankan lelaki biadab seperti Pak Deno.‘’Bi, Bibi kok
POV Bibi Sumi‘’Tapi, tunggu! Kenapa aku merasa lelaki ini ada hubungannya dengan Pak Deno?’’‘’Kalo aku memaksanya untuk jujur, aku yakin lelaki ini tetap nggak akan mau mengakuinya. Ah, lebih baik aku cari tahu saja sendiri."Lelaki itu masih menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Tanpa bicara lagi, aku bergegas meninggalkannya dan melangkah memasuki rumah. Ah iya, aku harus menjemur pakaian dulu. Bergegas aku ke belakang dan mengambil cucian yang sudah dikerjakan oleh si mesin canggih itu. Segera kubawa keluar, tak lupa meraih hanger yang tergantung.Jam segini panas siang masih terasa menyengat, semoga saja jemuranku kering. Aku bergegas menjemur pakaian di samping rumah. Seketika aku mendengar suara yang tak asing lagi bagiku, dia seperti sedang bicara lewat telepon. Dengan siapa dia bicara? Kuletakkan kembali baju yang tadinya hendak kujemur dan memasang pendengaran baik-baik, mumpung tempat jemuranku begitu dekat dengan pos. Jadi aku bisa menguping pembicaraan lelaki it
POV Bibi SumiAku mengusap muka dengan kasar setelah membaca pesan dari Mas Reno. Aku harus bagaimana? Apa aku balas saja pesannya? Lalu apa yang harus aku katakan?‘’Aku jadi serba salah,’’ gumamku. Kenapa aku bilang serba salah?Ya, jika aku tak membalas pesan lelaki itu, nanti dia menyangka bahwa aku tak tahu terima kasih dengan bantuan yang diberikannya selama ini. Jika aku membalasnya, nanti majikanku malah salah paham dan kesal padaku. Apalagi aku sudah berjanji tak kan mengulangi kesalahan yang sama. Aku tak mau bu Nelda salah paham lagi padaku.‘’Aduhh! Pusing nih kepala. Nanti aja deh aku bales pesannya.’’ Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Mataku tertuju pada si gadis mungil yang mengucek bola matanya. Rambutnya tampak berantakan.‘’Wah, Adik udah bangun ya?’’Dia hanya menyahut dengan anggukan. Kubiarkan dia mengumpulkan nyawa terlebih dahulu. Selang beberapa menit.‘’Kita mandi dulu ya, Dik. Setelah itu kita makan siang dan Bibi kasih kue coklat,’’ kataku kemudian yang
POV Bibi Sumi"Sangat susah rasanya untuk berdamai, Bi. Dan memang aku yang menyerahkan lelaki itu pada selingkuhannya. Tapi entah kenapa setelah aku mengunjungi tempat menyimpan kenanganku itu, membuat aku selalu ingat dengan keromantisan yang kami lakukan, aku keingat kebersamaan—‘’‘’Bu, Ibu pasti bisa melewati semua ini. Pelan-pelan saja ya.’’‘’Bibi yakin kalo si lelaki bermuka dua itu dalang di balik ini semua,’’ kataku yang tak mampu menyembunyikan apa yang kuketahui ketika aku menguping pembicaraan Dodo lewat telepon, aku tak bisa jika tak mengeluarkan pikiran yang mengganjal. Membuat majikanku mengerjap pelan.‘’Maksud, Bibi?’’‘’Ya Bibi yakin kalo ada seseorang di balik ini semua.’’ Jika aku mengatakan Dodo kembali, aku yakin majikanku tetap tak akan percaya. Karena aku berkata tanpa adanya bukti.‘’Siapa, Bi? Atau Bibi menuduh Dodo lagi? Udahlah, aku tahu niat Bibi ini baik. Tapi, Dodo nggak seburuk apa yang Bibi kira.’’‘’Tuh kan. Bener apa kata aku. Bu Nelda tetap nggak