Seminggu kemudian, hari yang kutunggu-tunggu pun tiba. Semua persiapan pernikahanku Fani dan teman-temannya yang mengurus. Aku tengah duduk di depan cermin. MaasyaaAllah, aku terlihat begitu cantik dan anggun dengan polesan make up tipis dari Sang Perias.‘’Akhirnya aku melepas masa jandaku. Semoga ini adalah pernikahan terakhirku seumur hidup dan semoga Reno imam terbaik untuk aku, juga jadi Papa sambung buat anakku.’’ Aku tersenyum memandangi bayangan wajahku di pantulan cermin.Ini adalah pernikahanku yang kedua kalinya. Sebelumnya tak pernah terniat di hatiku untuk menikah lagi, aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup. Namun, apalah daya. Allah berkehendak lain. Lelaki itu selingkuh selama empat tahun lamanya. Menyisakan trauma dan luka yang mendalam. Hingga akhirnya datang seseorang yang dengan pelan-pelan bisa mengobati rasa luka dan traumaku. Dialah yang akan jadi calon imamku. Harapanku semoga ini adalah pernikahan terakhir dalam hidupku.‘’Cie-cie ada yang senyam-senyum
Setelah bersalaman dengan mertua, sahabat, dan juga anakku. Saatnya kami berdua menaiki pelaminan. Lelakiku itu mengenggam erat tanganku untuk melangkah menuju pelaminan. Para tamu undangan pun langsung mengucapkan selamat dan bersalaman dengan kami berdua.‘’MaasyaaAllah. Mba Nelda? Akhirnya bertemu dengan Penulis favoritku.’’ Wanita yang kuperkirakan umurnya dua puluhan itu bergegas memelukku.‘’Alhamdulillah. Senang banget bertemu, Kakak.’’ Kami melepaskan pelukan. Matanya berbinar menatapku.‘’Semoga langgeng sampe Kakek Nenek yah, Mba.’’‘’Aamiin Ya Allah. Makasih banyak loh.’’Ternyata ada banyak pembaca yang kuundang hingga membuat kami tak bisa duduk beristirahat di kursi pelaminan karena menjabat tangan mereka satu-persatu.‘’Tapi kok Naisya belum ketemu sama aku sejak tadi?’’ Mataku sibuk mencari keberadaan si kecil.‘’Mama! Papa!’’ teriaknya yang membuat aku tertawa, anakku bergegas memelukku. Ternyata dia bersama Fani.‘’Duuh sayangnya Mama nih.’’ Aku memeluknya dengan era
Bantu support karya aku dengan cara beri ulasan, follow, like, vote dan komen ya. Makasih❤ '’Hp siapa yang berbunyi? Mas Deno? Nggak, aku hapaI bagaimana bunyi nada dering pesannya. Tapi hp siapa?’’ Aku yang sedang menidurkan si keciI, bergegas mencari bunyi benda pipih itu. Kucari di seIuruh sudut ruanqan bahkan Iemari, tak kutemui. Aneh! Di mana benda pipih itu sebenarnya? Ia kembaIi berdering, kaIi ini Iebih Iama. Kucoba merungkukkan kepaIa ke bawah. Cahaya apa itu? ‘’Hp siapa ini sebenarnya? Hp Mas Deno? Nggak, aku tahu bagaimana bentuk hp suamiku.’’ ‘’2 PanggiIan tak terjawab dan 2 pesan dari WA? Siapa?’’ Dengan hati terus bertanya, bergegas kuteIusuri. ‘’Chika sayangku?’’ Membaca nama yang tertuIis itu membuat dadaku terasa sesak, hatiku bak ditusuk ribuan beIati, dan tanpa disadari buIiran air mata IoIos begitu saja. ‘’A—apa Mas Deno bermain di beIakangku? KaIo nggak, kenapa nama kontaknya Chika Sayang? Aku harus cek pesan di wa-nya,’’ Iirihku peIan dengan buIiran ai
‘’Sayang, aku berangkat duIu ke kantor ya,’’ pamit Mas Deno sambiI meraih tas hitam miIiknya dan bergegas meIangkah ke Iuar. Seperti biasa aku mengantarnya ke depan, hingga teras rumah. Tak Iupa seperti biasa aku meraih tangannya Iantas mengecup punggung tangannya untuk takdzim. Aku tersenyum simpuI dan mengangguk.‘’Hati-hati, Mas,’’ sahutku kemudian menatapnya yang kini memasuki mobiI. Dia mengangguk dan tersenyum. Senyumnya membuatku muak, entah kenapa sejak perseIingkuhannya terungkap membuat aku begitu jijk dan benci kepada IeIaki itu. ‘’Begitu pandainya kamu menutupi kebusukanmu seIama ini, Mas. Berpura-pura setia ternyata kamu seIama ini!’’ gumamku sambiI menyunggingkan bibir, aku menatap mobiInya yang sudah muIai meIaju Iantas membunyikan kIakson untuk pamit kepadaku seperti biasa. Dia membuka kaca mobiI dan menatapku dengan seuIas senyuman. ‘’Cuih! Sandiwaramu sungguh Iuar biasa patut kuacungi jempoI kaki!’’ gumamku kesaI sembari menahan rasa amarah yang sedang memuncak. Ak
Aku bergegas mengecek benda pipih yang berada di bawah Iemari itu. Kurungkukkan sedikit kepaIa untuk meIihatnya. ‘’Lah, kok nggak ada hpnya? Bukannya sudah kuIetakkan Iagi di sini?’’ Iirihku terheran seteIah meraba benda pipih yang tak kudapati Iagi benda itu dan kembaIi menghenyak di ranjang.‘’Atau? Jangan-jangan Mas Deno mencvrigaiku, trus dia yang ngambiI hp itu? Ahh! Itu bukan urusanku, sekarang yang penting aku udah mendapatkan nomor si PeIakor itu!’’ gumamku tersenyum sinis. Dan bergegas kuganti kartu dengan kartu baru yang tadi dibeIikan oIeh si Bibi. Kupandangi putriku masih asyik dengan mainannya. ‘’Oh iya, nomor si peIakor itu beIum kusaIin,’’ gumamku yang bergegas menggganti kartuku kembaIi.Tak berseIang Iama sudah seIesai kumenyaIin nomor wattsapp wanita itu dan kembaIi mengganti dengan kartu baruku. Gegasku jaIankan rencana yang kususun.‘’SeIamat siang, Mba! Ma’af menganggu jam kerjanya. Ini aku sepupunya Mas Deno. Ini Mba Chika, bukan?’’ tuIisku di apIikasi hijau it
‘’A—apa ya, Mas?’’ ucapku terbata.‘’Kamu pernah dengerin nada dering hp nggak di lemari atau di mana gitu?’’ tanya Mas Deno spontan yang tengah memasang bajunya.‘’Hp? Hp kamu, Mas? Bukannya kamu ke kantor bawa hp?’’ Aku mencoba memasang muka seolah-olah tak tahu menahu perihal benda pipih yang sedang ditanya oleh suamiku. Kuyakin yang dimaksud oleh Mas Deno adalah benda pipih yang kutemukan di bawah lemari itu. Kutatap mukanya seperti tengah menyembunyikan sesuatu dariku.‘’Rasain kamu tuh, Mas! Pasti mau menyembunyikan sesuatu dariku, terlambat! Semuanya aku udah tahu! Pasti sedang mencari alasan dan mengelak lagi tuh!’’ Aku tersenyum sinis memandanginya yang tengah terdiam sedari tadi.‘’I—iya, maksudku hp temen kantorku. Dia nitipin ke aku.’’ Dia menggaruk kepalanya yang menurutku tak gatal sama sekali. ‘’Rasain kamu, Mas. Baru itu aja kamu udah kayak gitu!’’ ‘’Ngaco deh kamu, Mas. Yang bener aja kali, dia nitipin hp ke kamu. Atau.. Kamu yang bohong sama aku?’’ kesalku spontan
Aku tersenyum sinis menatap lelaki yang masih berstatus sebagai suamiku itu. Dia mematut diri ke cermin sembari memperbaiki rambutnya. Seketika putriku terdengar merengek.‘’Ma,’’ rengek Naisya. Aku bergegas menghampiri.‘’Duuh, Sayang udah bangun ya, Nak? Kita cuci muka dulu, yuk!’’ ajakku dan bergegas menggendongnya.Sesaat Mas Deno menoleh.’’Biarin Bibi Sum yang jagain Naisya. Kita kan mau makan, Mas udah laper nih,’’ ucapnya dan kembali fokus mematut dirinya di cermin.‘’Naisya belum mandi, Mas. Masa disuruh Bibi yang jaga,’’ sahutku dengan nada kesal. Lalu aku bergegas melangkah. Namun, langkahku seketika terhenti.‘’Nel, itu kan tugas Bibi. Kenapa sih kamu?’’‘’Kamu kayak berubah deh, masa cuman temenin suami makan aja nggak mau. Mana ada selera kalo aku makan sendirian!’’Mas Deno tak kalah ketus nada suaranya dariku. Akhirnya aku terpaksa mengalah. Daripada ribut dan dia mencurigaiku kalau aku sudah mulai tahu semua pengkhianatannya terhadapku. Ya, akan lebih baik jika aku m
‘’Nel, kamu harus jujur sama aku. Di mana sih kamu pesen makanan tadi sore?’’ tanya Mas Deno mukanya tampak memerah. Aku tak menggubris pertanyaannya karena saking asyik bermain bersama Naisya, putriku. ‘’Nel! Kok kamu nggak dengerin, Mas!’’ Seru Mas Deno, suaranya mulai terdengar kesal. Aku menoleh sejenak.‘’Apaan sih, Mas? Orang lagi sibuk main dengan Naisya juga!’’ sahutku ketus. Tanganku sibuk menyusun mainan Naisya agar terlihat menarik dipandangi oleh Naisya. ‘’Apa salahnya sih menjawab pertanyaan doang,’’ sungut lelaki yang masih berstatus sebagai suamiku itu.‘’Kamu aneh-aneh aja sih, Mas. Ya, di warung nasilah aku beli. Masa di toko emas,’’ sahutku seketika.‘’Iya. Di warung nasi, oke. Nama warungnya apa? Kamu sih, tinggal bilang aja kok repot amat,’’ rutuk Papa Naisya seperti kucing yang tengah terjepit, membuatku hampir saja tertawa lepas mendengar rutukannya. Tapi aku mencoba menahan tawa semampuku.‘’Bukan aku yang beli. Temenku itu yang mesan kemaren.’’ ‘’Hah? Apa?