Share

Kesekian Kalinya

‘’Nel, kamu harus jujur sama aku. Di mana sih kamu pesen makanan tadi sore?’’ tanya Mas Deno mukanya tampak memerah. Aku tak menggubris pertanyaannya karena saking asyik bermain bersama Naisya, putriku. 

‘’Nel! Kok kamu nggak dengerin, Mas!’’ Seru Mas Deno, suaranya mulai terdengar kesal. Aku menoleh sejenak.

‘’Apaan sih, Mas? Orang lagi sibuk main dengan Naisya juga!’’ sahutku ketus. Tanganku sibuk menyusun mainan Naisya agar terlihat menarik dipandangi oleh Naisya. 

‘’Apa salahnya sih menjawab pertanyaan doang,’’ sungut lelaki yang masih berstatus sebagai suamiku itu.

‘’Kamu aneh-aneh aja sih, Mas. Ya, di warung nasilah aku beli. Masa di toko emas,’’ sahutku seketika.

‘’Iya. Di warung nasi, oke. Nama warungnya apa? Kamu sih, tinggal bilang aja kok repot amat,’’ rutuk Papa Naisya seperti kucing yang tengah terjepit, membuatku hampir saja tertawa lepas mendengar rutukannya. Tapi aku mencoba menahan tawa semampuku.

‘’Bukan aku yang beli. Temenku itu yang mesan kemaren.’’ 

‘’Hah? Apa? Temen kamu?’’ Dia terperanjat kaget dan matanya melotot. 

‘’Iya, temenku. Kenapa sih, Mas?’’

‘’Jangan-jangan kamu dekat dengan temenku lagi. Ayoo ngaku!’’ serangku seketika.

‘’Rasain tuh kamu, Mas!’’ batinku sembari terkekeh.

‘’A—aku kenal dengan temenmu? E—enggaklah, emang siapa sih nama temenmu itu?’’ Wajah Mas Deno begitu kaget dan seperti tengah menyembunyikan sesuatu dariku. Bagaimana kalau aku buat dia lebih kaget lagi. Dia pasti tak akan mau mengakui pengkhianatannya kok. 

‘’Ahh! Aku nggak mau gegabah. Mainnya tuh pelan-pelan aja.’’

‘’Elsa, nama temenku. Mas kenal Elsa?’’

‘’E—enggak,’’ sahutnya cepat, secepatnya dia menggeleng dan memalingkan muka. Entah apa yang tengah ada di pikiran lelaki pengkhianat itu.

‘’Kamu nggak boleh lagi mesen menu yang begituan!’’ ketusnya kemudian.

‘’Lah, kok begitu? Masakannya enak banget loh, Mas. Kok kamu aja yang nggak suka. Aneh deh!’’ 

‘’Atau lidahmu tebal kali ya? Ngga tahu mana rasa yang enak,’’ tambahku yang sedang menahan tawa.

Hahah! Aku yakin semua menu itu tak asing lagi bagi rasa lidah dan pemandangannya. Secara kan si pelakor itu setiap hari membawa Mas Deno makan di luar. Masih saja dia berusaha membohongiku. Membohongi untuk kesekian kalinya. Aku ini bukan wanita bodoh dan wanita yang bisa kamu khianati terus-menerus. Aku bukan Nelda yang kamu kenal dulu lagi, Mas.

‘’Pokoknya aku nggak suka menu itu! Kamu yang suka, aku nggak suka. Jangan kamu ulangi lagi mesen menu itu!’’ ketus Mas Deno. Sangat kelihatan urat lehernya saking menahan amarah padaku dan melangkah seketika ke luar dari kamar, pintu dibantingnya dengan keras.

‘’Astaghfirullah! Dari sana aja udah kelihatan aneh sikapmu, Mas,’’ lirihku pelan dan mengelus punggung Naisya, dia tampak kaget dengan bunyi banting pintu barusan. 

‘’Minum dulu, Sayang!’’ Aku menyuguhkan botol yang berisi air minum kepada putriku dan dia meraihnya lantas meneguk hingga tandas. Aku tersenyum menatapinya.

‘’Anak satu-satunya Mama nih.’’ Aku meraih kembali botol yang kosong lantas mengecup keningnya, dia tampak tersenyum memandangiku. 

‘’Karena kamu Mama jadi sekuat ini, Nak,’’ gumamku seketika. 

Ya, karena Naisya aku bisa sekuat ini. Sebenarnya hatiku begitu rapuh, hatiku teriris setelah mengetahui pengkhianatan suamiku kepadaku. Laki-laki yang selama ini kupercaya sepenuhnya, ternyata seperti itu kelakuannya. Seharusnya aku menyisakan sedikit ketidakpercayaan dan rasa was-wasku terhadap suamiku. Semuanya telah kuberikan pada Mas Deno dan aku menemaninya sedari nol, sebelum dia naik jabatan. Bahkan sebelum dia mendapat kerja yang layak.

Ternyata setelah dia naik jabatan, kelakuannya pun meningkat dan dengan beraninya dia bermain dengan wanita lain di belakangku, bahkan sudah 4 tahun lamanya dan tak pernah terbongkar, baru sekaranglah semuanya terbongkar. Terdengar olehku langkah kaki menuju kamar. Aku yakin itu adalah langkah kaki si lelaki pengkhianat itu. Nah, benar kan apa yang kupikirkan. Dia bergegas memasuki kamar dan meraih kunci mobil yang tergantung di lemari. 

‘’Ke mana dia malam begini?’’ Mataku terus saja sedikit meliriknya.

‘’Nel, aku mau pergi dulu. Temenku ngajak nongkrong di luar,’’ pamit suamiku. Kukira dia tak kan meminta izin sama sekali kepadaku. 

‘’Oke, Mas. Tapi jangan pulang larut malam,’’ sahutku dan kembali fokus bermain bersama Naisya. Dia tak menjawab malah bergegas melangkah ke luar dari kamar. 

‘’Apa bener kamu cuma nongkrong dengan temenmu saja, Mas? Atau nongkrong dengan selingkuhanmu itu?’’ gumamku tersenyum sinis. Aku tahu apa yang harus kulakukan untuk membuktikan dia nongkrong dengan teman kantornya atau dia nongkrong dengan selingkuhannya itu. Aku bergegas meraih benda pipih.

Berdering?

‘’Assalamua’alaikum, Nel! Tumben kamu nelpon malem begini.’’

‘’Wa’alaikumussalam. Mas Deno di tempat kamu nggak, Ndra?’’ Andra adalah teman dekatnya Mas Deno, sekaligus teman kantornya.

‘’Enggak tuh, emangnya Deno belum pulang?’’

‘’Atau kamu ngajak Mas Deno nongkrong malem ini?’’ tanyaku yang tak menjawab pertanyaannya.

‘’Enggaklah, aku aja lagi di rumah mertuaku nih.’’

Allah! Lalu dengan siapa Mas Deno nongkrong? Aku semakin merasa curiga. 

‘’Ya udah, makasih banyak ya, Ndra. Jangan bilang ke Mas Deno kalo aku nyariin dia.’’ Aku segara memutuskan sambungan telepon. 

Aduuh! Siapa lagi yang akan aku hubungi untuk mencari kebenaran ini. Apakah dia memang benaran nongkrong dengan temannya atau tidak.

Andi? Ya, Andi juga teman dekatnya Mas Deno, sekaligus teman kantornya. Kucoba menghubungi nomor Andi.

‘’Assalamua’alaikum. Ada apa, Nel?’’

‘’Wa’alaikumussalam, Ndi. Kamu sama Mas Deno nggak? Atau janjian nongkrong dengan dia malem ini gitu?’’

‘’Enggak, Nel. Kebetulan aku lagi main sama anakku nih. Nggak bisa keluar. Emang si Deno nggak di rumah?’’

Jleb! Aku semakin curiga dan yakin kalau suamiku nongkrongnya sama si pelakor itu. 

‘’Ya udah, makasih banyak ya, Ndi? Jangan bilang kalo aku nyariin Mas Deno.’’ Aku segera memutuskan telepon dan menghela napas kasar. 

Kupandangi Naisya mulai menguap. Segera kubereskan mainan yang tergeletak di depannya, lantas membaringkan Naisya di sebelahku dan menepuk pelan pantatnya. Tak lama kemudian dia pun terlelap. Hatiku sungguh tak tenang malam ini. Bagaimana kalau aku tanya saja sekalian kepada wanita itu? Apa aku akan kuat jika terbukti suamiku  nongkrong dengan selingkuhannya? Ya, aku pasti kuat untuk mencari kebenaran ini. Bergegas kuraih kartu baru di bawah kasur. Lalu segera mengganti kartu ponselku dengan kartu rahasia, kartu khusus menghubungi si pelakor. 

‘’Selamat malam, Mba! Mba, aku mau nanya nih. Mas Deno sama Mba sekarang nggak? Aku cuman mau memastikan aja.’’

Aku memberanikan diri mengirimi pesan ke pelakor itu. Tampak centang dua, tetapi belum berwarna biru. Itu pertanda belum direadnya. Aku sungguh mencemaskan suamiku.

P sedang mengetik? 

Hatiku semakin tak tenang saat ini. Entah kenapa dadaku terasa sesak ketika dia sedang mengetikan pesan.

‘’Selamat malam! Iya, Mel. Masmu lagi sama aku nih. Dia manja banget tahu nggak, nggak bisa jauh dari aku.’’

Jleb! Lemas lunglai tubuhku ini seakan-akan tulang belulangku lepas begitu saja. Air mataku berhasil lolos, dadaku terasa sesak membunjah menahan rasa sakit dan ubun-ubunku terasa memanas.

‘’Ya Allah! Ternyata benar dugaanku. Sudah kesekian kalinya aku dibohongi. Bodoh banget aku jadi wanita.’’ Aku menyeka air mata dengan kasar. Kubiarkan benda pipih itu tergeletak di ranjang. 

‘’Emang kenapa, Mel? Istrinya nyariin Mas Deno ya? Bilang aja nggak tahu atau kamu bilang sama aku juga nggak apa-apa kali ya. Supaya dia sadar, kalo dia nggak menarik lagi di mata Mas Deno.’’

Allah! Kuatkan aku. Jangan biarkan aku jadi wanita yang tak berdaya dan mudah rapuh. Air mata terus saja membasahi pipiku dan dadaku terasa kian sesak.

‘’Nggak, Mba. Aku penasaran aja. Udah dulu ya. Jangan dibilangin kalo aku sedang nyariin Mas Deno.’’ Tanganku bergetar hebat mengetik pesan balasannya. Segera kukirimkan dan bergegas mengganti kartuku dengan kartu lama kembali.

‘’Apa kurangnya aku coba?’’ ucapku lirih di sela isakan tangisku.

Air mata tak dapat lagi kubendung. Hatiku ini terasa ditusuk ribuan belati berkali-kali. Sebenarnya aku tak patut menangisi lelaki pengkhianat seperti dia, tetapi hatiku begitu teriris dengan semua pengkhianatan yang dilakukannya terhadapku, yang tak kusangka sedikit pun dia akan mengkhianatiku. Ternyata aku salah selama ini. Lelaki yang bersikap manis dan romantis belum tentu tak berkhianat di belakang kita. Terkadang itu hanya sebagai untuk menutupi kesalahan dan pengkhianatannya saja agar tak kita ketahui.

Aku sungguh tak habis pikir. Kenapa hatinya semudah itu berpindah kepada wanita lain, kenapa hatinya bisa berpaling? Apakah kekuranganku selama ini? Bahkan sebelum aku mengetahui semua kebusukannya, seleranya selalu aku buatkan dan apa pun kesukaannya selalu kusediakan. Aku pun selalu berdandan, menantinya pulang bekerja dari kantor dengan berdandan cantik dan menyambutnya.  Terus di mana kurangnya aku? Aku benar-benar tak habis pikir. Secantik apakah si pelakor itu? Sampai suamiku tergila-gila dan berpaling dariku. 

Kepalaku makin berdenyut rasanya dan pikiran begitu kalud. Suara di luar sana membuyarkan lamunanku.

‘’Bu, Ibu nggak makan malem? Udah Bibi siapkan nih.’’ 

‘’Astaghfirullah! Ternyata aku belum makan sama sekali. Baru tadi sore makan dengan menu pesanan si Pelakor itu.’’ Aku menghembuskan napas pelan dan mengusap air mata. 

‘’Eh, iya, Bi. Aku lagi nggak ada selera,’’ sahutku seadanya. Ya, memang itu yang kurasakan saat ini. Selera makanku kandas begitu saja. 

‘’Ibu sakit? Bibi bawa ke rumah sakit, ya?’’ 

‘’Nggak, Bi.’’ Aku menggeleng cepat.

‘’Bibi masuk ya?’’ Bibi Sum bergegas memasuki kamarku yang tak dikunci.

‘’Kenapa mata Ibu sembab?’’ Bibi Sum tampak terperanjat kaget memandangi kedua netraku. Aku menunduk seketika.

‘’Nggak ada, Bi.’’

‘’Jangan bohongi Bibi. Ceritalah, Bu.’’ Bibi Sum mendekatiku.

Membuat dadaku terasa membuncah. Ingin rasanya menceritakan semua yang tengah kurasakan pada Bibi agar pikiranku sedikit tenang dan  beban pikiranku lebih ringan. Ingin rasanya memeluk wanita yang selama ini aku anggap sebagai ganti orang tuaku, hanya dia kini yang aku punya.

‘’Ba—Bapak selingkuh, Bi.’’ Akhirnya ucapanku keluar juga. Sontak membuat Bibi Sum kaget dan membekap mulutnya seketika. 

‘’A—apa? Ibu beneran?’’ Matanya melotot. Aku hanya mampu menganggukkan kepala. Tangisanku tak dapat dibendung lagi. Langsung kupeluk Bibi Sum dengan erat dan mengeluarkan rasa sakit hatiku semuanya dengan menangis histeris. 

‘’Ya Allah, menangislah, Bu. Biar hati Ibu plong. Bibi merasakan apa yang Ibu rasakan. Bibi yakin Ibu pasti kuat,’’ lirihnya mengelus punggungku.  

‘’Nggak habis pikir dengan Bapak, kok teganya menduakan Ibu. Apa kurangnya Ibu coba? Cantik, sholehah, baik, pinter masak, punya Naisya, dan selalu memanjakan selera Bapak. Lah, apalagi coba?’’ 

‘’Itulah, Bi. Aku juga nggak habis pikir. Apa yang membuat Bapak bermain di belakangku.’’ Aku melepas pelukan pelan lantas menatap Bibi Sum yang syok sedari tadi wajahnya dengan semua pengakuanku. 

‘’Tapi, Bibi harus janji ya? Menutupi semua ini, jangan sampe tahu Bapak kalo aku udah mengetahui semua tentang perselingkuhannya yang selama 4 tahun itu.’’ Aku memegang jemari Bibi Sum sembari menghapus air mataku. Sontak kembali membuat mata Bibi sempurna membulat.

‘’4 Tahun?’’ ulangnya kembali dengan mata melotot saking kagetnya. Aku kembali membalas dengan anggukan. Kembali aku seka air mata yang selalu menetes.

‘’Ya Allah, jadi sudah 4 tahun Bapak berselingkuh baru sekarang Ibu tahu?’’ Aku pun kembali mengangguk. 

‘’Bibi nggak tahu harus bilang apa. Tapi Bibi yakin, Ibu pasti kuat dan jangan paksakan diri kalo Ibu memang nggak bisa bersama Bapak. Jangan lupa selalu berdo’a sama Allah ya, Bu? Minta yang terbaik kepada-Nya. Ini demi Naisya, Ibu harus kuat.’’ Bibi Sum meraih jemariku dan memberikan kekuatan untukku. Aku menghela napas kasar.

‘’InsyaaAllah, Bi. Do’akan aku selalu ya, supaya tetap kuat. Makasih banyak Bibi udah mendengarkan semua curhatanku,’’ ucapku dengan suara parau. 

‘’Bibi akan selalu bantu dengan do’a dan selalu support Ibu. Pokoknya apapun yang ingin Ibu ceritain, ceritain aja ke Bibi ya? Jangan sungkan.’’ Aku hanya menyahut dengan anggukan.

‘’Ya udah, Ibu istirahatlah! Selagi Naisya tertidur pulas.’’ Bibi Sum menepuk pundakku pelan dan memberikan senyum penyemangat. Aku mengangguk. Bibi Sum pun bergegas melangkah ke luar dari kamarku. Teringat kembali olehku Mas Deno. Membuat aku kembali terisak.

‘’Ngapain aja kamu sama selingkuhanmu itu, Mas. Jam segini masih belum pulang.’’

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status