“Richard,” kataku pelan.Kurasakah salah satu sisi ranjangku melesak turun sebelum selimutku di tarik pelan. Aku mencoba mempertahankannya selama beberapa saat, namun gagal saat Richard malah mengangkat tubuhku dan mendudukkannya di depannya tepat.“Apa yang kau lakukan!” seruku kaget saat wajahku tiba - tiba sudah berada di depannya.“Morning, you look beautiful as usual,” sapanya pelan dengan alis terangkat karena melihatku memalingkan wajah darinya. “Hei, ada apa?”Ada apa?! Aku baru bangun! Aku belum cuci muka! Siapa yang tahu ada apa di wajahku?! Tidak peka sama sekali!“Ada apa ke sini?” Aku menggeleng, menyembunyikan wajahku dengan berpura - pura menyisir ramb
Richard'sAku memaki dalam hati karena dua alasan yang berbeda. Pertama karena aku ceroboh tak memikirkan apa yang keluar dari mulutku, dan yang kedua karena ekspresi memohon yang kulihat di wajah Mira membua pikiranku berkelana liar. Aku mengutuki reaksi tubuhku yang terlalu jujur dan mendamba.Keadaan Madame Louisa adalah sesuatu yang amat rahasia. Hanya sedikit dari kami yang mengetahuinya. Kunjungan oleh keluarga pun dibatasi. Aku sudah bersumpah untuk tak menyebarkan informasi ini pada orang - orang yang tak berkepentingan meskipun nyawa adalah taruhannya. Namun dengan hanya satu pertanyaan dan ekspresi mengiba dari Mira, semuanya keluar begitu saja dari mulutku.Gadis ini amat berbahaya bagiku. Namun selayaknya ngengat dan api, aku tak bisa menjauh dari Mira. Semua tentangnya seolah menjadi candu bagiku.
“Mira. Maafkan aku.”Kalimat yang diucapkan Richard tadi pagi terus saja terngiang di kepalaku dengan gaung tak menyenangkan yang membuat kepalaku menjadi pening. Sekarang sudah jam sebelas malam, dan aku sama sekali belum mengantuk. Mataku masih terbuka lebar tanpa ada tanda - tanda untuk mengakhiri hari dan beristirahat. Padahal besok aku harus bersiap untuk kelas pagi bersama JJ, bertemu dengan Granny Louisa, ijin yang entah bagaimana akhirnya kudapatkan dari Richard dan Daddy, sebelum sore harinya harus bersiap untuk jamuan minum teh barsama para putri bangsawan di rumah Mademoiselle Viella. Semoga aku tak salah mengingat namanya. Dia adalah putri Grand Duke satu - satunya, dan merupakan salah seorang yang berpengarih di kerajaan dan pemerintahan. Aku ingat JJ dan Richard bilang aku harus terlihat baik di depannya.Sesuatu yang tak kumengerti ka
“Anda mengerti, Mademoiselle?”Aku tersenyum kecil dan mengangguk pada JJ yyang duduk di depanku. “Kau sudah mengatakannya… sekitar tiga hingga lima kali sejak pertama kali kau memberikan list nama ini padaku beberapa hari yang lalu. Ri…” Aku berdehem saat tenggorokanku mendadak tercekat saat mengucapkan nama itu, aku mengedikpan mataku bberapa kali untuk mengembalikan fokusku. “Richard juga sudah memberitahuku siapa saja yang harus aku waspadai di sana. Jangan khawatir, aku memiliki ingatan yang kuat.”“Maafkan aku, Mademoiselle. Saya hanya mengkhawatirkan Anda.”Wajahku sedikit mengeras saat aku mendengar kalimat maaf JJ. Rasanya seperti ada sesuatu yang meremas dadaku dan membantingnya ke tanah hingga membuat nafasku menjadi sesak. Sekilas aku melirik ke arah kananku di mana Richard berdiri dengan siaga mengawalku. Tak ada kalimat sapa dan basa basi hari ini darinya. Kemarin pun, setelah kejadian itu, dia langsung beranjak berdiri dan mengatakan keperluannya datang mencariku denga
"Mereka?" Aku bertanya dengan alis berkerut. Mereka ini siapa lagi? Bukankah Putra Mahkota sudah diamankan dan diawasi agar selalu jauh dari istana?"Banyak yang menginginkan kehancuran kita." Hanya Itu saja penjelasan dari Granny Louisa sebelum berpaling pada Corrine dan berkata dengan nada yang lebih serius. Ada peringatan juga di dalamnya. "Terutama kau, Corry. Kau harus semakin waspada dengan circle pertemanan yang kau punya di sekitar istana. Jangan mudah percaya meskipun itu dengan orang yang kau anggap paling dekat denganmu."Corrine seperti sedikit kaget mendengar peringatan tersebut. Sesaat, kukira dia akan menyanggah, namun sesaat kemudian, dia mengangguk. Senyum lebar kembali terpulas di bibirnya."Aku tahu, Granny. Granny tak perlu khawatir berlebihan. Aku bisa menjaga diriku sendiri." Lalu dia mendesah seolah - olah sedang kesal. "Lagipula, Mama pun sudah melarangku untuk melibatkan diri dalam acara - acara non formal kerajaan yang dia rasa tak penting. Bisa Granny bayan
Richard menggeleng dengan wajah prihatin, menjawab pertanyaanku. Pasti wajahku saat ini terlihat menyedihkan dan putus asa sekali. Pertama kali harus menghadiri acara kebangsawanan setelah aku pindah ke istana, dan aku harus menghadirinya sendirian tanpa pendamping! “Aku akan berada di sana bersama dengan para mengawal yang lain.” Dia menunjuk pada satu ruang terbuka dengan jendela besar di depannya di mana aku bisa melihat beberapa pria dengan busana yang mirip dengan yang Richard kenakan duduk dan berdiri. Ada yang saling bercengkerama dengan suara rendah, ada pula yang hanya diam saja sambil memperhatikan. "Lalu aku? Aku akan sendirian di…." "Hei, chill." Chill?! Di saat seperti ini? Apa dia bercanda?! "Corrine tak bisa datang, tapi ada Lyn di dalam. Setidaknya ada satu orang yang kau kenal di sana, okay?
"Mungkin ini waktunya kau menyerah dan melepaskan pujaan hatimu." Pujaan hati? Lyn sedang curhat tentang orang yang dia taksir? Aku tersenyum kecil membayangkannya. Mungkin aku bisa mendekatinya dengan ini? Lagipula, aku harus berada di sini karena aku tak bisa ke mana - mana saat ini. Akan terasa aneh jika aku mendadak keluar dari bilik ini dan menyapa mereka, bukan? "Apakah menyerah ada dalam kamusku? Aku sudah menunggu Richard amat lama. Aku menunggu kegilaannya akan Arlaine mereda. Saat dia patah hati karena pertunangan kakakku, aku menghiburnya. Aku nyaris bersorak girang saat Arlaine pergi, akhirnya aku bisa memiliki Richard untukku sendiri. Tapi Nona kecil itu sudah terlanjur datang dan menyita segalanya." Jeda sebentar. "Dibandingkan Arlaine, Mira bukanlah tandingan. Aku hanya perlu bersabar sebentar lagi, dan dia akan kembali padaku. Seperti yang seh
Richard'sAda hal yang harus kulakukan malam ini atas perintah Pak Tua. Hal yang cukup penting dan rahasia. Namun, aku tak bisa berkonsentrasi dengan baik. Selalu saja pikiranku kembali dan hanya kembali pada Mira; bibirnya yang bergetar, kedua matanya yang berkaca - kaca dan memancarkan kesedihan dan dadanya yang naik turun karena tarikan nafasnya yang tak beraturan. Semua itu adalah gambaran yang kudapat sebelum Mira mendorongku kuat dan membanting pintu kamar mandi di depan wajahku.Dan tak berhenti sampai di situ, aku malah dengan pengecutnya pergi dari sana dan menghindari Mira untuk makan malam. Ya, aku belum menemuinya lagi sejak tadi petang. Aku menelan ludah gusar dan sekali lagi mengusak rambutku yang sudah sedikit panjang akhir - akhir ini. Berusaha mengenyahkan Mira sebentar dari kepalaku karena aku harus menyelesaikan apa yang menjadi tugasku sekarang. Ponsel yang kuletakkan di meja nakas kini berdering. Dari tempatku yang sedang bersandar di kepala ranjang dengan hanya