“Ada apa, Mira?” Aku bertanya karena sejak aku masuk, dia hanya melihatku sekilas saja. Dia bahkan berbicara tanpa menoleh padaku. Saat dia berbicara, dia akan menatap lawan bicaranya intense dengan mata indahnya itu. “Anything wrong?”
“No, nothing. Tidak apa - apa." Dia menggeleng. Matanya masih menerawang ke luar jendela. Lalu dia menunjuk baki yang masih kubawa dan akan kutaruh di samping tempat tidurnya. "Terima kasih, Richard.”
“Untuk?”
“Itu." Dia menunjuk pada baki makanan yang masih berada di tanganku. "Dan Terima kasih karena sudah menjagaku.”
“Tidak perlu, itu memag sudah tugasku, ingat?”
***
“Tidak perlu, itu tugasku, ingat?”
Benar. Baginya, aku hanya sebatas tugas. Mungkin jika aku beruntung, aku bisa menjadi teman, dan jika mungkin dia tertarik lebih jauh, dia bisa bermain - main sebentar denganku seperti ciuman saat itu, aku yakin, baginya itu hanya sekedar bonus. Sama sekali bukan hal yang serius, seperti yang aku
Untuk pertama kalinya seumur hidupku, akhirnya aku merasakan juga dimarahi oleh Daddy. Marah yang benar - benar marah. Dia merepet tentang aku yang tidak boleh pesimis, tak boleh putus harapan harus percaya bahwa aku akan sembuh dan segala macam lainnya. Dia memberiku alasan untuk sembuh dari a hingga z dan mehakinkanku bahwa aku akan segera sembuh. Meskipun aku sempat murung, sedikit takut dan kembali menangis saat dia mengomel, tapi dalam hati, Aku senang sekali. Amat sangat. Meskipun aku masih mempertahankan raut wajahku yang murung, bahkan sesekali masih sesunggukan sisa menangis tadi, di dalam hati aku sedang menari bersuka cita. Rasanya kali ini aku benar - benar punya Ayah. Ayah sungguhan, bukan cuma sosok yang hanya ku panggil Daddy. Ini adalah sosok yang benar - benar membuatku ada di dunia ini. Selama ini, aku memang merasa, meskipun hubungan kami kian dekat, tapi masih ada jarak yang tersisa antara aku dan Daddy. Bahkan setelah penculikan itu, entah
"Kenapa Putra Mahkota menculikku?" Segera setelah kalimat tanya tersebut terlontar, wajah Daddy yang awalnya rileks berubah tegang seketika. Perubahannya terlihat amat jelas sehingga tidak mungkin aku tak menyadarinya. Ada apa? Kenapa reaksinya seperti itu? Apa kali ini pertanyaanku terlalu sudah untuk dijawab? Walaupun hampir mustahil memang jika seorang Putra Mahkota menginginkan sesuatu dariku. Aku yang hanya seorang Mira Kirana. Aku punya apa memangnya yang dia tidak punya? Aku tidak punya apa - apa. Keluarga? Aku bahkan baru tau aku punya keluarga komplit setelah sembilan belas tahun berlalu. Itupun setelah Mama meninggal, jadi setelah yakin aku adalah seorang anak tanpa Ayah, sekarang aku adalah seorang piatu. Anak tanpa Ibu. Harta? Tahta? Ya Ampun, membayangkan saja sudah terasa menggelikan.
Keadaanku membaik dengan cepat. Tidak terlalu cepat, tapi dengan semua keterbatasan yang aku punya secara tiba - tiba saat ini, menurutku itu sebuah prestasi. Yang lambat itu adalah kembalinya kebebasanku. Sejak insiden penculikan yang ternyata sudah berlalu hampir sebulan, aku sekarang bahkan tidak diijinkan untuk melakukan latihan rutinku di luar pagar mansion. Awalnya masih boleh, di malam hari dengan penjagaan yang ketat. Aku sampai risih sendiri karena harus berlari dengan tak hanya satu, tapi kadang sampai tiga bodyguard yang mengawal. Tapi sekarang keluar gerbang bahkan tidak diijinkan lagi. Aku juga tidak diperbolehkan bertemu dengan Sonia, padahal rumahnya bahkan tak terlalu jauh dari mansion. Dia sudah pulang dari Cebu, dan saat dia datang ke mansion, dia tidak diperbolehkan bertemu denganku! Dan yang paling parah, akses yang kumiliki ke dunia luar semuanya diminta kembali. I have no phone no internet, nothing. Selain pengawal tambahan yang ditempatkan Daddy di rum
Sudah lewat waktu makan malam. Sedari tadi Brigitte dan beberapa pengawal lainnya yang ada di rumah sibuk berusaha untuk ‘membangunkanku’. Yap, mereka mengira aku sedang tertidur. Nyatanya, aku sama sekali tak tidur. Aku mendengar mereka yang mondar mandir di depan pintu kamarku yang sengaja kukunci dari dalam.Aku hanya sedang duduk di atas ranjangku memeluk lulut, dengan semua lampu kamar terpadam, dengan gorden dan jendela terbuka. Sedang memandang nyalang pada pepohonan dan langit luar yang mulai menggelap karena senja sudah lama pergi.Ingatanku masih memutar apa yang kudengar tadi siang. Kalau Daddy adalah pewaris kerajaan yang sah, lalu aku…? Ya Tuhan, dari mana semua mata rentai ini tersambung. Kenapa jadi sampai sejaun ini? Tapi seandainya itu tidak benar, tentu saja tidak akan disiarkan di saluran berita nasional kan? Iya, kan? Kala
RichardMira akhirnya tertidur. Aku menemaninya sampai nafasnya berubah teraratur menjadi satu - satu. Sudah lewat beberapa saat sejak dia tertidur dan aku masih terus memeluknya. Belum ingin melepasnya.Tubuh mungilnya ringan sekali, sehingga aku nyaris tak merasa jika sedang menahan beban.Sejak aku masuk ke kamar ini, selain kalimat 'kenapa harus aku' nya, dia sama sekali tidak berkata apapun lagi. Hanya menangis tersedu dalam diam hingga kemudian tertidur begini.Khawatir dan bingung. Itu yang kurasakan. Dia kenapa lagi? Apakah sakit? Tapi saat aku akan membawanya ke rumah sakit, dia menggeleng dan malah mendorongku menjauh. Jadi aku mengalah. Mungkin dia memang tidak sakit. Tapi lalu apa?"Dia tidur? Dia belum maka
Richard'sMelihatnya menangis seperti ini membuat dadaku sendiri sesak. Dia sudah tahu. Entah dari mana tapi dia tahu tentang hal yang kami usahakan untuk sembunyikan rapat - rapat ini, tapi akhirnya hari ini dia tau.Bukan karena… kami hanya ingin melindunginya. menyembunyikan lebih lama sampai keadaan benar - benar dalam kuasa kami dan dia sudah lebih stabil dan kuat. Lihat dia sekarang. Rapuh, terlihat kecil saat dia meringkuk di tengah ranjangnya, dengan bahu terguncang keras dan kedua tangan menutup wajahnya. Isakan pilu terdengar menyakitkan keluar dari bibirnya.Kukepalkan tanganku yang berada di atas paha. Berusaha menahan diri agar tak merengkuhnya ke dalam pelukanku. Tuhan tahu aku amat berusaha saat ini.Tapi isakannya yang semakin kencang membuat
Raja yang sebelumnya berkuasa, suami Ratu saat ini yang sudah mangkat bertahun - tahun lamanya, adalah merupakan anak dari keturunan kedua raja terdahulu. Putra mahkota dari raja terdahulu saat itu menolak menjadi raja dan memutuskan keluar dari istana karena tidak diijinkan memilih jalan hidupnya sendiri. Mengakibatkan tahta yang seharusnya dipikulnya jatuh pada pundak adik laki - lakinya.Putra Raja yang tertua, saat itu memiliki seorang kekasih, yang sayangnya gadis tersebut tidak mendapatkan restu dari sang Ibunda Ratu yang berkuasa, karena latar belakang keluarganya. Padahal saat itu si gadis tengah hamil. Si gadis hanya perempuan biasa tanpa gelar bangsawan, dan lagi, sebatang kara tanpa tahu siapa orang tuanya. Sistem hierarki pada masa itu masih amat kolot dan ketat.Karena tidak ingin menggugurkan kandungannya, si gadis yang ternyata adalah teman baik
Jadwal operasiku sudah ditentukan. Seminggu lagi dari sekarang aku akan menjalani pemeriksaan dan jika semuanya oke, mungkin dua atau tiga hari berikutnya aku akan masuk ruang operasi.Awalnya aku tak masalah dengan hal ini. Kapan saja jadwal operasinya, silakan saja. Secara mental, aku siap.Tapi setelah berita ini sampai di telingaku, aku jadi shock dan terguncang. Dokter menganjurkanku untuk tetap melakukan latihan rutin ringan agak kondisiku tetap fit. Tapi aku kembali melemah. Bukan collapse yang mengkhawatirkan seperti sebelumnya, hanya saja rasa kecewa, shock dan tak percaya kini mempengaruhi keadaan tubuhku dan membuat ku jadi lemah.Aku tak ingin makan, tak ingin bergerak, tak ingin bertemu siapapun.Daddy sudah datang padaku dan menjelaskan keadaann