Share

Tragedi Bulan Merah

"Tak!"

"Aarghhh!" seekor ular berbisa mematuk lelaki yang sedang bergerak liar di atas tubuh Mawar. Lelaki itu langsung bangkit, mengurai penyatuan mereka dan mengerang memegangi lukanya.

"Ulo Weling! Ah, Kang! sampean dipatuk Ulo Weling!"

Mereka berdelapan sibuk dengan dia yang baru saja dipatuk ular berbisa. Mawar segera menggunakan kesempatan itu untuk meraih pakaiannya lantas mengenakannya dengan cepat. Tubuh yang lelah dan remuk dia paksakan melangkah. Jalannya tertatih-tatih karena bagian inti tubuhnya terkoyak habis, bersamaan dengan harga dirinya yang lebur tanpa sisa.

"Robek bajunya, ikat sekitar lukanya dengan itu!"

"Kakiku panas! Hah.. hahh.. hahh.. aku ndak bisa bernafas, Kang! Hkkkhh!!" Lelaki tadi mengejang, matanya terbelalak seiring dengan nafasnya yang satu-satu.

Kepanikan membuat mereka terlambat mengambil tindakan. "Ini pasti gara-gara sumpah si perempuan iblis itu!" umpatan dari mereka kembali terdengar.

"Dimana dia!?"

"Lha, bukannya tadi di... Lha kok ilang!?"

"Ayo cari dia, dia sebab utama atas apa yang menimpa Pramono!"

"Ahhh, Pramono begini karena dipatuk ulo, Kang!" sanggah salah satunya.

"Koe ndak ingat toh? Sebelum itu, perempuan setan itu sempat menyumpahi kita mati! Ayo kita buat sumpah itu kembali padanya sebelum sampai ke kita,"

Para lelaki itu berpencar, meninggalkan Pramono sendirian dalam keadaan sekarat.

"Hiks hiks hikh! aku ndak mau mati," lirih Mawar sambil menahan nyeri yang merajai tubuhnya. Darah mengalir, merembes di sela-sela rok selututnya.

Drap Drap Drap

Dari kejauhan sana, terdengar suara derap langkah ramai yang kian mendekat. Mawar menoleh ke belakang, dia gemetaran hebat. Semakin keras usahanya menyeret langkahnya yang tertatih demi menyelamatkan diri.

Sreeeeeet!!! "Aaakhhhh!" Mawar meronta, sementara seorang lelaki menarik rambutnya tanpa ampun. Diseretnya tubuh Mawar ke arah tebing yang tak jauh di depan sana.

Sementara itu, di desa sebelah...

"Duh Gusti, aku ketiduran! Jam berapa ini sekarang!?" seru seorang pria paruh baya sembari menepuk keningnya. Dia menatap langit yang sudah menggelap pekat, juga suasana sekitar yang sudah sepi. Dia segera turun dari amben bambu yang sengaja diletakkan di teras rumah. Pria bernama Mbah Karso itu menurunkan sepasang kakinya, lalu mulai memasang sandal jepit yang sebenarnya sudah tak layak pakai.

"Niatnya mau istirahat sebentar selesai bersihkan rumah dan pekarangan, eh malah ketiduran. Kasian Mawar, dia pasti sudah menunggu aku di rumah," gumamnya dengan pikiran terbayang wajah cucu semata wayangnya. Dia segera meraih pincuk daun jati berisi makanan yang Tuan Rumah berikan pada Mbah Karso, lalu menyalakan obor yang dia bawa kemudian melangkah pergi menembus kebun mahoni yang terbentang di depan sana.

"Alhamdulillah, Juragan Sutris bawakan makanan bungkus. Mawar pasti suka, ini makanan mewah yang bahkan belum tentu bisa aku belikan meski setahun sekali. Aku jadi ndak sabar untuk cepat sampai rumah," gumamnya sambil terus menyeret langkahnya dalam gelap.

"Wis sepi, sepertinya ini wis tengah malam. Oh walah, maafkan Si Mbah yo Nduk! Sampean pasti menunggu dengan cemas," Seru Mbah Karso sambil sesekali mengelap peluh yang membanjiri pelipisnya. Dia mempercepat laju langkahnya, lalu berbelok di belokan depan sana, mengambil jalan pintas melewati perkebunan kopi di bawah tebing.

Malam begitu dingin mencekam, suara nyanyian binatang malam mengiringi langkah Mbah Karso yang lebar-lebar. Sesekali, desau angin membuat dedaunan bergemerisik. Tiba-tiba, kilat petir menyambar-nyambar pertanda akan segera turun hujan. Mbah Karso berjalan setengah berlari membelah kegelapan.

"Aaaarkhhhh!!! Tolong!" suara teriakan terdengar pilu menusuk gendang telinga Mbah Karso. Mbah Karso sontak mengehentikan langkahnya, lalu memutar badan mencari sumber suara.

"Duh Gusti, suara apa barusan itu? Apa suara memedi?" Gumamnya sambil memicingkan mata memindai sekitar. "Halah, wis pura-pura ndak dengar saja!" sambungnya lalu melanjutkan langkah. Namun lagi-lagi, suara meminta tolong kembali terdengar.

"Aaaarkhhhh!! Mbah, tolong!!" Teriakan itu terdengar semakin jelas. Mbah Karso yang berada di dekat tebing menoleh ke atas, ke arah dimana sumber suara berasal. Pasang matanya memicing, dia menajamkan pendengarannya.

**Brughhh!!!**

Seseorang terjatuh tepat di depan mata Mbah Karso. Tubuhnya mendarat tepat di atas bekas pohon tumbang yang ujungnya runcing. Mbah Karso diam mematung, tubuh rentanya gemetaran hebat, degup jantungnya semakin menggila tak terkendali. Dia mendekat, menyoroti wajah ayu yang terpercik darah itu dengan seksama. Mendadak, pasang mata tua itu memanas. Bungkusan daun jati berisi nasi, telur dan ayam balado di tangannya itu jatuh terserak.

"Nduk..." gumamnya dengan suara bergetar lirih. "Ndukkkkk!!! Mawar!" Teriaknya parau. Mbah Karso mendongak, melihat ke atas tebing. Bulan merah seakan bersembunyi di baliknya. Bayang-bayang beberapa orang terlihat, sebelum akhirnya menghilang ditelan gelap malam.

Mbah Karso kembali mengalihkan pandangannya ke arah dara jelita itu. "Mbah.. me-reka... ja-hat.. pe-mer-kosa! me-re-ka meng-harap ke-matian-ku, Mbah.." lirih Mawar dengan terbata-bata menahan sakit tak berperi. Tangan putih pucatnya terulur, pasang mata merah itu menatap nanar pada Mbah Karso, satu-satunya orang di dunia ini yang bersedia menerima hadirnya.

"Siapa, Nduk!? Siapa yang tega berbuat sekeji ini, siapa!?" tanya Mbah Karso setengah berteriak.

"Wa-warga.. de-sa, khhkkh.. khhkhh!" Mawar sekarat, dadanya naik turun, pasang matanya melotot tajam, tubuhnya mengejang.

"Uhuk uhuk!" Semburan darah keluar dari mulutnya. Beberapa saat kemudian, tubuhnya melemas. Mata itu pejam begitu saja. Tangan yang semula berada dalam genggaman Mbah Karso kini jatuh terkulai. Mbah Karso berteriak, menangis meraung-raung, tak terima atas apa yang menimpa Mawar, cucunya.

"Aaaaaaargkkkkhhh!! Mawar!!!" serunya dengan suara parau.

**Brughhh!**

Mbah Karso jatuh bersimpuh, menangisi tubuh yang tak lagi bergerak di hadapannya. Masih segar dalam ingatannya, setiap jengkal kenangan manis yang dia miliki bersama.

"Nduk, kenapa dunia begitu ndak adil untuk sampean? Selama hidup, sampean jauh dari kata bahagia, kenapa bahkan di penghujung kehidupanpun, yang menghantar sampean adalah nestapa?

Katakan, Nduk! Gimana lagi cara si Mbahmu ini bersabar pada takdir!? Cuma sampean yang Mbah punya, namun takdir merenggut sampean paksa dengan cara yang hina!" seru Mbah Karso dengan bahu berguncang. Tangisnya pilu menyayat hati.

Burung hantu mengepakkan sayapnya terbang mendekat, bertengger tepat di samping tubuh yang tergeletak bersimbah darah. Kepalanya memutar, menatap lekat ke arah Mawar yang kini tak lagi mekar karena kehidupan meninggalkannya.

"Ayo kita pulang, Nduk.. Mbah gendong yo?" gumamnya. Pria renta itu mulai memposisikan diri. Dia mengangkat tubuh Mawar dengan susah payah. "Hiks hiks, sampean abot Nduk! Sampean wis gede. (Kamu berat Nduk, kamu sudah besar.)" ujarnya dengan lutut bergetar menahan beban.

Brugh! Dia terjatuh bersimpuh, dengan Mawar di pangkuan. "Sayangnya, sampean cuma bertumbuh dewasa, tapi ndak bisa sampai menua." Mbah Karso meratap sembari berusaha bangkit, lalu mulai melangkah tertatih-tatih membelah kegelapan malam.

"Tenanglah, Cah Ayu. Mbah bakal cari siapa dalang dibalik semua ini. Mbah bakal balaskan semuanya, ndak peduli apapun caranya!" gumam Mbah Karso di sela nafasnya yang terengah-engah karena penyakit asmanya yang seringkali kambuh.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status