Ningsih mendengar perkataan sang adik dengan terharu. Tak terasa buliran air mata menetes dari kedua pelupuk mata. Ia balas menggenggam erat jari jemari Wayan Suri lalu mengusap-usap dengan penuh kasih.
Ningsih merasa berterima kasih dengan apa yang sudah dilakukan oleh sang adik. Tindakan nekad Wayan Suri demi keselamatan keluarga besar mereka. Segala tindakan apa pun di atas bumi selalu ada berefek samping, baik positif maupun negatif.
Apalagi ini adalah ilmu hitam, pasti bagi para penganutnya, tindakan Wayan Suri adalah bentuk pembangkangan pada junjungan sesembahan mereka Ratu Calon Arang. Mereka akan jengkel dan timbul dendam pada garis keturunan yang berusaha memusnahkan ilmu warisan tersebut.
Tindakan Wayan Suri adalah imbas dari rasa jenuh dan kalut, pasti juga dirasakan oleh anggota keluarga uang yang lain. Ningsih merasa bangga dengan tindakan yang telah dilakukan sang adik dan akan kasih support.
Wanita keturunan Jawa itu berjanji pada ad
Pak Lana sangat paham dengan pemikiran kedua wanita tersebut. Pria hitam manis itu tahu, baik Wayan Suri maupun Ningsih tak ingin membuat malu Ni Kesumasari. Namun, memang tak ada cara lain lagi untuk mengatasi segala kemelut yang tejadi akibat dari ilmu leak yang telah melekat.“Bli, ngerti, maksud kalian baik. Coba ajak diskusi Bang Deni, siapa tau punya solusi,” kata Pak Lana kemudian.“Menurut Bli Yan, masih mau bertahankah Bang Deni, saat tahu segalanya?”“Coba ngomong pakai bahasa yang halus. Nanti Bli Yan bantu memberi penjelasan sedikit. Ayo, kita turun!”Kakak beradik itu pun akhirnya bisa tersenyum setelah mendapat dukungan mantan sepupu baik hati. Mereka turun dari mobil lalu beranjak masuk rumah sakit. Setiap langkah tergiring doa di sepanjang koridor panjang dengan ruang perawatan di sisi kanan dan kiri.Pak Lana dalam hati ikut berdoa bagi keselamatan Ni Kesumasari. Cinta pertamanya yang harus berak
“Tyang bersedia dirukiah,” ucap Ni Kesumasari sembari tersenyum ke arah adik-adiknya.“Demi Allah, Tuhan yang tyang sembah, dengan ikhlas dan atas izin Allah tyang ingin cabut ilmu. Ningsih, Suri tolong bantu Mbok Yan, ya,” ucap Ni Kesumasari dengan terisak-isak tampak sekali rasa penyesalan dari raut wajah wanita asli Bali itu.“Alhamdulillah,” sahut Ningsih.“Mbok, ampura. Tapi ... risikonya ....” Wayan Suri tak mampu melanjutkan kata-katanya. Ia jadi serba salah, padahal hal itu yang terpenting harus diketahui si mbok. (Ampura: maaf)“Kenapa gak dilanjut? Risiko apaan, Suri?” tanya Ni Kesumasari seketika.“Mbok, mohon maaf. Kalo ilmu itu dicabut otomatis keistimewaan yang didapat dari ilmu itu pun lenyap,” sahut Ningsih berusaha menjelaskan.“Maksudmu?”“Gini, Sayang. Begitu ilmu dicabut, kamu akan jadi seperti asalnya. Badan dan kesegaran tub
“Terserah kalian aja. Yang penting, jangan ada korban lagi dan ilmu itu harus enyah dari keluarga besar kita,”ucap Pak Lana sembari geleng-geleng.Bertiga membahas langkah apa saja yang harus dilakukan untuk menyingkirkan ilmu leak dari silsilah keluarga besar. Sebenarnya, keluarga Pak Lana bukan termasuk keluarga besar keturunan Dadong Canangsari, berhubung proses penitisan ilmu telah dirusak oleh Ni Kesumasari, akhirnya ilmu bisa ke mana saja tanpa diketahui jejaknya.Hal tersebut bisa jadi ancaman bagi semua orang yang terhubung secara garis keluarga maupun tidak.Tak lama kemudian, Pak Lana berpamitan kepada keduanya akan ke toilet. Ningsih membuka laman facebook lalu memperlihatkan kepada sang adik.“Lalu ini siapa, Suri?”“Entar tyang beresin Mbok.”“Berarti, kamu udah tau, siapa dia?”“Ini jiwa murni Mbok Yan yang tersisih dari tubuhnya sekarang.”“Pake tubu
“Cang gedeg jak ci! Cang sube ngomong. Pesu! Pesu! Sing nyak pesu. Alih tongos len!”(“Saya marah pada kamu! Saya sudah ngomong. Keluar! Keluar! Tak mau keluar. Cari tempat lain!”Susuk magis telah habis terbakar bersama lantunan mantra terucap dari mulut Wayan Suri. Kepulan asap kehitaman keluar dari kepala Ni Kesumasari. Mata wanita itu terpejam dan dari mulutnya terdengar rintih kesakitan.“Bang Deni, Mbok Ning laksanakan tugas kalian. Tyang bantu pegang Mbok Yan,” ucap Wayan Suri sambil duduk di samping tubuh Ni Kesumasari yang pingsan. Bang Deni dan Ningsih bergantian ambil wudu lalu bersiap di dekat pembaringan.“Bismillāhir raḥmānir raḥīm ....”Bang Deni dan Ningsih membaca ayat-ayat Al-Quran berbarengan. Tubuh Ni Kesumasari yang pingsan terlihat bergerak, menggeliat.
Bang Deni sangat berharap Ni Kesumasari tak jadi dioperasi. Tak jauh beda harapan calon sepupunya—Ningsih—memperkirakan bahwa gumpalan darah kehitaman dengan tampilan aneh yang keluar barusan adalah penyakit atau apa pun itu, beberapa hari terakhir telah menggerogoti tubuh Mbok Yan.Kini, mereka tinggal menunggu wanita bergamis putih yang sedang terbaring lemah hingga siuman. Di saat semua orang sedang asik dengan pikiran masing-masing, tiba-tiba dikejutkan bunyi dering dari ponsel Wayan Suri.Ia pun segera mengambil benda pipih itu dari meja. Di layar ponsel tertera sebuah nomor kontak yang ia hubungi sesaat sebelum sembahyang tadi. Wanita berparas khas Bali ini tak segera mengangkat panggilan masuk tersebut. Tampak sekali, keraguan di raut wajahnya.Wanita beralis tebal itu tahu persis bahwa roh wanita yang ditelepon tadi telah menyatu ke dalam tubuh Ni Kesumasari yang sedang terbaring lemah. Ia sibuk berpi
“Oh, ya? Vitamin apaan? Heh!” balas Wayan Suri menyambar alat tersebut. Begitu jarum suntik itu berhasil direbut, seketika perawat itu lenyap bersamaan dengan datangnya asap putih dan angin keras yang berembus. Ningsih segera mendekap tubuh Ni Kesumasari. Bang Deni yang menyaksikan hal barusan langsung beristighfar. Sedangkan Wayan Suri masih berdiri di tempat semula sambil mematahkan alat itu. “Benar-benar setan jahanam. Masih aja gangguin lagi,”ucap Wayan Suri sembari melangkah mendekati meja lalu membakar jarum suntik di dalam wadah. “Itu tadi isi apaan?” tanya Bang Deni sambil melihat ke dalam wadah. “Itu racun, Bang. Untuk merogoh sukma. Bagian dari ilmu setan, bahaya buat Mbok Yan.” Bang Deni yang mendengar penjelasan dari Wayan Suri tampak terkejut. Pria ini sangat kagum dengan kelihaian wanita muda di sebelahnya. Ia makin kagum dengan kebersamaan keluarga
“Mbok, ‘sesuatu itu' udah di sini. Ngerasain, gak?” tanya Wayan Suri lirih, sambil menunjuk atas. Ia tak ingin sopir taksi mendengarnya“Iya, Mbok tau.”“Gimana, dong?” tanya wanita asli Bali itu dengan ekspresi panik.Ia tahu, terlalu berisiko jika melanjutkan perjalanan dengan taksi, meski tinggal beberapa meter saja. Wanita itu tak mau sopir taksi jadi korban. Lalu, dengan alasan apa mereka ke sopir tersebut agar bisa segera turun?“Pak, kami turun sini aja,” ucap Ningsih tiba-tiba.“Di depan, kan, udah turun, Mbok Gek,” balas sang sopir terkejut.“Gak papa, Pak. Biar gak ketauan orang rumah aja. Kami mau bikin surprise,” sahut Ningsih kemudian.Akhirnya, tanpa meninggalkan kecurigaan bagi sopir taksi, mereka turun. Saat kaki keduanya menginjak tanah dan taks
“Mek! Saya Ningsih, anak Meme dari Jawa. Saya sayang Meme. Tolong kembali ke alam sana. Meski kita beda agama, saya selalu berdoa untukmu.”Kerabat yang kesurupan itu mengangguk mendengar perkataan Ningsih. Ia mengusap tangan dan pipi Ningsih lalu tersenyum. Kakak beradik itu bergantian mencium tangan kerabat ini. Mereka tahu, yang ada di hadapan adalah kerabat yang dirasuki arwah Dadong Canangsari, sang meme.Mereka hanya reuni sesaat, sekadar mengenang kebersamaan yang tlah lewat, meski meminjam raga orang lain. Bertiga saling tatap lalu meneteskan air mata. Mereka saling merindu kebersamaan saat Dadong masih hidup. Kini, Ningsih dan memenya bisa bertemu, setelah sekian tahun terpisah di tanah seberang.Mereka baru tahu, rasa kehilangan yang menyakitkan adalah saat salah satu dari mereka pergi dan tak mungkin kembali karena kematian. Rindu yang mendesak tak bisa terlampiaskan karena jarak dan waktu bukan mi