Share

LEBIH BAIK KITA BERPISAH
LEBIH BAIK KITA BERPISAH
Author: Yazmin Aisyah

Bab 1

LEBIH BAIK KITA BERPISAH 1

"Ini kelima kalinya kamu menolak. Aku sudah nggak punya lagi alasan untuk Mama."

Lelaki di sampingku tak menoleh, sibuk melempar kerikil ke aliran sungai jernih yang merendam kaki kami. Gemerisik suara air dan anak-anak yang bermain di dalamnya timbul tenggelam di telinga. Aku menunggunya bicara.

"Bilang Mamamu, malam nanti aku lembur."

Aku menoleh dengan gerakan tiba-tiba, menghentikan gerakan tangannya yang kesekian puluh, yang akan dia lakukan. Sesaat lamanya kami saling tatap sebelum masing-masing memalingkan wajah.

"Aku nggak mau terus berbohong. Kalau kamu memang nggak punya niat serius untuk hubungan kita, lebih baik kita berpisah."

Waktu seakan membeku. Efek kata-kataku barusan tampak jelas diwajahnya. Hatiku perlahan berdebar. Lima tahun lamanya aku menunggu untuk sebuah kepastian darinya.

Tapi kemudian, dia tersenyum. Tangannya terulur, merapikan  ujung jilbabku yang melambai tertiup angin.

"Jangan ngambek sayang. Masa lima tahun kita pacaran dan kamu ingin berpisah hanya karena aku belum siap bertemu Mamamu."

Aku menelan ludah. Hanya. Rupanya dia menganggap ini hal sepele. Lima tahun bagi seorang wanita bukan waktu yang sebentar. Susah payah aku menjaga hati, menjaga diri dari banyak godaan. Bukankah wajar jika aku ingin sebuah kepastian? Kami telah lulus kuliah dan sama-sama punya pekerjaan yang menjanjikan. Apa lagi yang ditunggu?

"Baiklah…"

Aku menghela napas panjang, berdiri dan menepuk-nepuk celana longgar berwarna hitam yang kupakai untuk meluruhkan daun-daun yang jatuh di pangkuan. Sungai kecil dengan batu-batuan besar ini berada di sebuah kawasan wisata alam bernama Wira Garden. Bukit kecil dengan rumput Jepang, rumpun bambu yang dirawat dengan baik, pohon-pohon hijau, dan yang teristimewa adalah tenda-tenda sewaan yang berada di pinggir sungai. Para pengunjung bisa menyewanya untuk merasakan sensasi kemping dengan musik percikan air yang memenangkan.

"Aku hanya bisa memberimu waktu satu minggu untuk memutuskan, apakah kita akan terus atau putus. Ini sudah terlalu lama."

Aku lalu berbalik. Jonas terkejut, dia bangkit dari duduknya dan meraih tanganku dari belakang. 

"Senja, jangan begitu. Semuanya bisa dibicarakan."

Aku memandangnya tanpa senyum, lalu melepas tanganku yang dipegangnya.

"Bicara? Lalu yang kita lakukan tadi? Kemarin, dan kemarinnya itu apa?"

Jonas menghela napas. 

"Aku… aku masih belum bisa. Jika aku datang ke rumahmu kita pasti akan disuruh segera menikah kan?"

Aku mengerutkan dahi dengan heran.

"Memang itu tujuannya. Lalu kenapa? Apa kamu pikir hubungan kita ini hanya main-main?"

Jonas tampak berpikir sesaat, lalu senyum mengembang di bibirnya.

"Baiklah kalau begitu. Aku akan datang ke rumahmu malam minggu depan."

Aku menghembuskan napas lega diam-diam. Mungkin pada akhirnya, aku akan dapat membungkam mulut para sepupu yang tahu bahwa aku dan Jonas telah berhubungan terlalu lama.

"Tapi ada syaratnya…"

Suara Jonas menggantung. Senyumku pudar seketika.

"Nanti malam, kita check in. Aku ingin merasakan semalam bersamamu sebelum memutuskan menikahimu."

Rasanya bagai ditampar di depan orang banyak. Kaget, malu dan marah. Aku sama sekali tak menyangka kalimat itulah yang akan keluar dari mulutnya. Kutahan sakit di dada yang tiba-tiba terasa sesak.

"Apa maksudmu?"

"Selama ini kita pacaran. Tapi menyentuhmu seperti sesuatu yang amat mahal bagiku. Apalagi melakukan hal-hal seperti pasangan kekasih lainnya."

Wajahku merah padam. Ini memang salahku, tak bisa menolak saat cinta hadir di hatiku untuknya. Tapi aku tetap menjaga diri. Pacaran bagiku, artinya menjaga hati dari lelaki lain, berkomitmen bahwa hubungan ini akan bermuara pada sebuah pernikahan.

Tapi rupanya dia tak berpikir seperti itu.

"Jadi, itu yang kau inginkan dariku?"

"Ya. Hubungan kita ini tidak normal seperti orang pacaran, Senja. Aku ingin tahu lebih dulu, apa kau sebenarnya masih perawan."

Plak!

Aku tak lagi dapat menahan diriku untuk menamparnya. Tak kusangka, begitu rendah dia memandangku selama ini. Dan nilai hubungan kami baginya, ternyata hanya sebatas kontak fisik.

"Kalau begitu lupakan Jonas. Tak ada lagi yang bisa kita pertahankan dari hubungan ini. Prinsip kita berbeda, dan karena itu, lebih baik kita berpisah."

***

Aku dan Jonas bertemu di tahun pertama masa kuliah. Berada di Fakultas yang sama, berbagi ruang yang sama. Aku yang tak pernah mengenal lelaki sebelumnya, tiba-tiba tersentuh oleh caranya memperhatikanku. Hingga di tahun kedua, saat dia menyatakan cinta, aku tak sanggup menolak. Itulah kesalahan terbesar dalam hidupku. Aku terjerat pada cinta yang terlalu dalam, cinta yang tak punya tujuan, hingga terlupa bahwa waktu terus berjalan dan tahu-tahu saja, usiaku sudah cukup matang untuk menikah. 

"Senja, Mama sudah tua. Kalau sudah ada lelaki yang serius denganmu, suruh dia temui Mama."

Ucapan itu membuatku galau berhari-hari lamanya. Lalu ingatanku melayang, mengingat interaksiku dengan Jonas, seseorang yang mengaku mencintaiku tanpa syarat.

"Jangan. Tolong jangan. Aku akan memberikan semuanya padamu saat kita sudah menikah."

Aku ingat pernah mengatakan hal itu padanya saat dia hendak menci-umku. Saat itu, aku berulang tahun dan dia memberi surprise yang manis di kampus. Dia terdiam sejenak, lalu tersenyum dan meminta maaf.

Lalu, beberapa kali Valentin, dia mengajakku ikut pergi dengannya. Ada acara yang diadakan oleh teman-teman kami di hari merah jambu itu. Tapi lagi-lagi aku menolak. Jonas akhirnya pergi sendiri dan aku menjalani hari seperti biasa karena bagiku tak ada yang istimewa.

Ah, kenapa baru kini kusadari bahwa kami berbeda? Dan kenapa aku bertahan dengannya sekian lama? Lalu apa yang membuatnya juga masih terus menunggu hingga tahun kelima akhirnya terlewati?

***

"Senja, kamu dan Jonas putus?"

Evelyn menarik kursinya ke meja ku. Aku mengalihkan pandangan dari layar laptop.

"Ini."

Dia mengeluarkan selembar kartu undangan, dan meletakkannya di atas meja.

"Dua minggu lagi Jonas menikah."

Aku nyaris kehilangan kata-kata. Seminggu telah berlalu sejak keputusan di Wira Garden waktu itu. Jonas sama sekali tak berniat memperbaiki hubungan kami, atau bahkan sekedar meminta maaf. Aku dan dia masih bertemu setiap hari karena kami satu kantor. Tapi sejak saat itu, kami sama sama bertingkah seperti orang yang tak saling kenal. Dan kini tiba-tiba saja, dia menyebar undangan pernikahan. Hebat sekali.

"Aku kira akan melihat namamu di sini. Tadi aku hampir saja marah karena berpikir kau menikah tanpa bilang-bilang padaku."

Aku tertawa kecil, meski hatiku rasanya perih.

"Kami sudah putus seminggu yang lalu."

"Seminggu yang lalu. Dan tahu-tahu dia akan menikah dua minggu lagi. Ini benar-benar gila."

"Ssstt…"

Aku memberi isyarat pada Evelyn agar diam, karena orang yang kami bicarakan kini tengah berjalan menuju mejaku. Senyumnya lebar, seperti tak merasa bahwa dia menyakitiku selama ini. Di letakkannya selembar kartu undangan di mejaku.

"Aku akan menikah dua minggu lagi, Senja. Jangan lupa datang."

Aku menatapnya. Tersenyum. Mungkin dia kira aku tak akan sanggup datang dan melihatnya menikah. Benar, aku masih mencintainya. Masih sangat mencintainya. Tapi prinsip dan harga diriku berada di atas segalanya.

"Aku akan datang."

***

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Supriyonosusanto
bagus banget
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
gitu senja dtng aja dikira qm gk sanggup menghadiri pernikahan nya gitu
goodnovel comment avatar
Muhammad Zamzami
keren sangat, manteuap sangat oi
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status