Gadis itu masih nyaman bergelung di bawah selimut. Sinar mentari yang masuk melalui celah gorden tidak mengganggunya sama sekali. Namun, semakin lama sinar itu mengusik mata indahnya. Seakan memintannya untuk segera membuka kedua matanya. Perlahan kedua mata itu terbuka, dahinya mengkerut karena sinar mentari yang mengusik penglihatannya. Ia masih terdiam dan mengedipkan matanya berkali-kali. Mencoba untuk mengingat apa yang terjadi semalam.
Tiba-tiba ia terkejut begitu menyadari jika ini bukanlah kamarnya. Kamar ini terlihat maskulin dan beraroma mint bercampur dengan pinus, khas seperti kamar laki-laki. Tunggu! Laki-laki? Dirinya berada di kamar laki-laki? Gadis itu langsung melompat turun dari kasur, karena terburu-buru kakinya tidak sengaja tersandung selimut. Hingga tubuhnya berakhir mengenaskan di lantai.
“Aduh, kakiku!” seru Lily. Tepat sekali! Gadis itu Lily.
Bunyi yang ditimbulkan karena ulah Lily, mengusik ketenangan Bara yang sedang
Setelah kekacauan yang terjadi di pagi hari tadi. Ah, tidak! Bagi Bara ini menguntungkan. Lelaki itu tanpa perlu susah payah untuk memperkenalkan kekasihnya pada sang ibu. Meskipun itu dengan cara yang tidak baik. Tapi, yang terpenting momy bisa menerima Lily dengan tangan terbuka. Ingat! restu ibu itu penting!Jika momy sudah setuju, pasti Dady juga akan setuju. Senang rasanya ia bisa mendapaatkan restu dari kedua orang tuanya. Lelaki itu sejak pagi terus saja memamerkan senyumnya. Hingga membuat seorang gadis yang duduk di kursi penumpang mengernyit heran dengan tingkah lakunya. Lihatlah, bahkan saat menyetir pun Bara masih saja tersenyum tidak jelas.“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Lily. Iya benar sekali! Seorang perempuan itu tentu saja Lily. Kekasih seorang lelaki yang saat ini sedang tersenyum tidak jelas.“Tentu saja aku sehat little girl,” sahut Bara dengan menolehkan kepalanya ke arah kekasihn
Bi Asih seketika langsung lemas mendemgar perkataan dari Bara. Wanita paruh baya itu menangis dengan apa yang terjadi terhadap anak majikannya itu. Ia sama sekali tidak menyangka jika dibalik senyuman itu menyimpan sejuta kesedihan yang mendalam. Gadis cantik seperti anak majikannya itu harus mengalami hal yang pahit . Bahkan tanpa adanya dukungan dari keluarga.“Sejak kapan mbak Lily mengidap penyakit itu?” tanya Bi Asih dengan kepala menunduk. Ia tidak sanggup harus menatap mata kekasih anak majikannya itu.“Sebenarnya penyakit yang diderita Lily adalah penyakit keturunan dan Lily baru mengetahuinya saat berumur 18 tahun,” papar Bara.“Itu sudah lama sekali,” ujar Bi Asih.Bi Asih tiba-tiba teringat akan suatu hal. Semenjak ia ikut bekerja di keluarga ini, tidak ada yang memiliki riwayat penyakit jantung seperti yang diderita Lily. Hal itu ia ungkapkan kepada Bara, “Aoa bibi yakin?” tanya Bara dengan sedik
Seorang gadis sejak tadi berjalan bolak-balik dengan gusar di dalam kamarnya. Telepon genggamnya tidak terlepas dari pandangannya. Rasanya hati ingin menelepon seseorang di sana. Tapi, lagi-lagi ego mengalahkan semuanya. Akhirnya setelah berpikir keras, gadis itu mengalah dan menelepon seseorang itu.Nada dering mulai terdengar saat ia memencet nomer seseorang itu.. Menunggu lama, tapi tetap tidak ada jawaban. “Argh! Lama-lama aku bisa gila!” teriak Lily dengan mengacak-acak rambutnya. Sejak tadi gadis itulah yang berjalan dengan gusar menunggu kabar dari kekasih. Harusnya sekarang kekasihya itu sudah mengabarinya. Lily bukannya posesif, tapi lelaki itu sendiri yang menjanjikan akan mengabarinya jika sudah selesai rapat.Kalau begini, Lily bisa overthinking dengan kekasihnya itu. “Sudahlah biarkan saja!” kesal Lily. Gadis itu kemudian membaringkan tubuhnya di atas kasur. Hari sudah semakin malam, lebih baik ia tidur dan tidak memikirkan
Dany berjalan dengan cepat menuju ke unit apartemen Bara sambil sesekali melihat ke belakang. Berharap tidak ada yang mengikutinya. Begitu sampai di depan pintu unit apartemen Bara, ia langsung menekan pascode unit apartemen bosnya itu. Setelah terbuka ia langsung masuk ke dalam dan menutup pintu dengan cepat.“Apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Bara. Pemilik kamar apartemen itu merasa heran dengan perilaku sekertarisnya yang seperti dikejar seseorang.Sedangkan Dany yang mendengar itu langsung terkejut mendengar suara Bara. Rasanya jantungnya seakan ingin lepas dari tubuhnya. Belum juga ia bernapas lega karena ingin menghindari kekasih sang bos, sekarang justru dikagetkan dengan suara si bos. Dany mencoba bernapas dengan pelan-pelan. Suara hembusan napas terdengar nyaring di dalam apartemen itu.Setelah dirasa cukup, Dany mulai menceritakan kenapa ia berjalan dengan terburu-buru ke unit apartemen Bara. “Aku tahu bos semalam dirimu bertemu de
Bara langsung menghempas tangan Kiara yang seenaknya saja memegang tangannya. Lily yang sudah terlanjur kecewa segera berbalik dan berjalan menjauh dari unit apartemen Bara. Tentu saja Bara tidak akan tinggal diam. Lelaki itu berlari mengejar pujaan hatinya. Jangan sampai hubungannya berantakan karena masalah ini.Beruntung Lily tidak pergi jauh. Gadis itu pergi ke taman yang ada di belakang apartemen. Bara langsung memeluk Lily dari belakang. Lily meronta di dalam pelukan Bara. Ia masih kecewa dengan Bara dan ingin menyendiri. Namun, kekuatan Bara jauh lebih besar dibanding dirinya. Hingga akhirnya Lily menyerah dan pasrah berada dipelukan Bara.‘Maaf,” lirih Bara dengan menenggelamkan wajahnya di bahu Lily.Lily diam tidak berkutip mendengar perkataan Bara. Ia bingung ingin berkata apa. Air matanya masih saja membasahi pipinya. “Aku mohon jangan menangis, aku minta maaf,” gumam Bara pelan. Hati lelaki itu sakit melihat kekasihnya menete
Hari ini Lily masih belum beranjak dari kasurnya. Padahal matahari sudah menjulang tinggi. Tandanya hari sudah mulai siang. Bukan tanpa alasan ia masih berada di kamarnya, karena sejak kemarin fisik dan pikirannya terkuras habis. Sekarang ia berbaring tidak berdaya di kasurnya.Untungnya ia tadi sudah meminta izin pada Aunty Sera untuk tidak masuk kerja hari ini. Sungguh ia tidak sanggup jika harus berangkat kerja. Sekedar berjalan untuk pergi ke kamar mandi saja kepalanya sudah pusing. Jika dipaksakan ia bisa pingsan di kantor dan itu tidak boleh terjadi. Lily tidak ingin merepotkan orang lain.Tubuhnya yang semakin lemas membuatnya tidak bisa bergerak lebih leluasa. Ia kembali membaringkan tubuhnya dan mulai tertidur. Bagaimana tubuhnya tidak lemas jika sejak tadi ia belum makan apa pun. Lily terlalu malas untuk membuat makanan. Padahal sekarang zaman sudah modern dan bisa memesan makanan lewat online. Tapi, entah mengapa ia malas walau hanya sekedar memesan lewat te
Seorang perempuan sedang berlari tergesa-gesa di koridor rumah saki. Terlihat juga seorang laki-laki yang mengikuti perempuan itu dari belakang. Mereka menghiraukan orang-orang yang menatap dengan aneh. Namun, ada juga yang memaklumi karena pasti ada sesuatu yang membuat mereka berlari seperti itu. Mereka berhenti di ruang UGD, di sana terlihat Bi Asih yang duduk di kursi depan ruangan tersebut.“Bi, bagaimana keadaan ibu?” tanya Lily dengan gusar. Keringat membasahi dahi Lily setelah berlari menuju ke UGD. Bi Asih yang menelepon Lily tadi mengabari jika ibunya terpeleset di kamar mandi. Parahnya kepala ibunya terbentur wastafel sampai berdarah. Hal itu yang membuat Lily khawatir dan takut jika terjadi sesuatu terhadap ibunya.“Ibu sudah ditangani oleh dokter dan bibi disuruh menunggu di sini,” balas Bi Asih.Lily menghembuskan napas dengan lega, setidaknya ibunya sudah ditangani oleh pihak medis. Sekarang ia juga ikut duduk di samping Bi
Suasana di dalam restoran itu sangat ramai berbeda dengan meja yang ditempati oleh Lily dan Bara. Keheningan tercipta diantara keduanya setelah Kiara yang kebetulan sedang berada di sana ikut makan di meja mereka. Sebenarnya Lily tidak keberatan, meskipun di dalam hatinya ia sedikit tidak rela jika waktu berduanya dengan sang kekasih diganggu. Apalagi yang mengganggu adalah Kiara yang merupakan perempuan masa lalu kekasihnya.Tidak ingin dianggap sebagai kekasih yang agresf dan posesif, ia mencoba untuk acuh dengan keberadaan Kiara. Jujur saja ini bukan sifatnya sama sekali. Entahlah semenjak Bara menjadi kekasihnya sifat itu muncul begitu saja. Ia hanya tidak ingin kehilangan Bara. Tidak bisa dibayangkan hidupnya tanpa Bara, pasti hambar.“Maaf, jika aku menganggu kalian,” ujar Kiara dengan wajah menyesal. Baiklah ia keterlaluan! Lily bisa melihat raut wajah Kiara yang tulus. Seperti benar-benar menyesal karena menganggu waktunya dengan sang kekasih. Hati