Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku berani bersuara. Aku harus berontak, karena aku tak bisa dibiarkan terus tersiksa seperti ini.
"Kenapa Lisha nggak pernah disayang Ma? Apa Lisha anak haram?" tanyaku dengan lirih, berharap hati orang tuaku luluh. Kalau aku anak mereka, karena keiginan mereka aku dilahirkan ke dunia. Aku tak pernah meminta untuk dilahirkan ke dunia, jika tahu hidupku hanya akan membuat orang di sekitarku benci dan selalu pembawa sial.
"Nggak usah banyak tanya! Jangan panggil aku mama!" teriakan Mama semakin membuatku hancur. Aku sempat melirik ke arah Papa yang memalingkan wajahnya. Tubuhku semakin bergetar, jika memang kehadiranku tak bisa diharapkan siapapun, lebih baik aku tidak hidup di dunia ini. Aku mengepalkan tanganku, rasa untuk bunuh diri begitu besar. Jika orang beranggapan bahwa orang bunuh diri adalah orang pengecut, kalian salah besar. Orang yang bunuh diri adalah pemberani yang mengambil keputusan saat ia memutuskan nyawanya sendiri, bagaimana saat ia terjun dari gedung tertinggi, saat ia meloncat dari jembatan tertinggi. Seseorang yang bunuh diri adalah orang yang pemberani. Yang bilang pengecut, mereka yang sesungguhnya pengecut, mereka tak tahu beban seperti apa yang mereka pikul. Ya, bagi agama bunuh diri tidak dibenarkan tapi kita harus menarik benang dari akar permasalahan semua ini.
"Tapi, Mama nggak pernah jahat sama Meisha. Kenapa harus Lisha? Kenapa Ma?" Aku mendesak mama untuk menjawab. Tapi aku kembali mendapat tamparan di pipiku.
Bahkan, Mama langsung menarik kepalaku ke tembok dan membantingnya berkali-kali membuatku meringis sakit. Aku tidak tahu, ada iblis berwujud orang tua di depanku.
"A-ampun Ma."
"Mati kau anak sial!" kata Mama setelah membanting kepalaku dengan keras. Mama menganggap kepalaku adalah bola dan berharap kali ini, kepalaku langsung pecah. Ya Tuhan, bagaimana mungkin Kau beri orang tua seperti ini padaku?
Aku menahan tangisku. Seorang Lisha tak boleh terlihat lemah di hadapan para iblis ini. Mulai detik ini, aku menganggap mereka iblis. Mereka bukan orang tuaku lagi.
Aku menutup mataku, memikirkan harus melakukan apa setelah ini. Bunuh diri? Kabur? Jika bunuh diri, maka semuanya selesai. Apa bisa dikata seperti itu? Jika aku mati, semua orang akan bersenang dengan kepergianku, karena nyatanya aku pembawa sial dalam hidup semua orang. Jika kabur, aku harus kabur kemana? Terkadang sudah kondisi seperti ini, tapi bodohnya aku sempat memikirkan bagaimana sekolahku. Walau aku bukan siswa yang berprestasi tapi aku suka sekolah, aku ingin menjadi seorang yang terpelajar.
Aku menarik napas panjang, terlalu banyak berpikir.
Aku langsung berlari ke kamarku. Dan masih mendengar orang tuaku bertengkar.
"Mama harusnya jangan terlalu keras. Lisha masih terlalu keras Ma. Lisha masih terlalu kecil."
"Papa jangan menyalahkan Mama. Semua gara-gara Papa, kalau bukan Papa semua nggak akan kayak gini!" Aku langsung mengunci pintu. Jika di novel-novel anak yang dibenci karena mereka membunuh saudara mereka, maka aku bukan seorang kriminal yang membunuh orang. Aku bukan psikopat berdarah dingin yang siap menghabiskan nyawa orang. Aku hanya anak kecil yang haus perhatian dan kasih sayang.
Aku langsung mengganti baju, dan ingin berbuat sesuatu yang menyenangkan malam ini.
Kubuka laci nakas yang memang sengaja menyimpan beling disana, dan juga ada pisau lipat yang lumayan keras, dan jika menusuk tepat di ulu hati maka aku bisa merenggangkan nyawa sekarang. Begitu mudahnya nyawa hilang?
Sebelum membuat hal yang menyenangkan, aku meneguk obat tidur dengan banyak kali. Karena setelah ini, aku ingin tidur sampai tak sadarkan diri. Aku ingin mati!
Aku mengunyah obat itu seperti mengunyah permen dan mengaca, aku hanya memakai dalaman sekarang. Bra berwarna coklat dan panties berwarna hitam. Tubuh kurusku terlihat di depan kaca semakin menyedihkan.
Aku tersenyum culas, orang yang disakiti banyak kali, maka ia akan tumbuh menjadi orang yang kejam, tanpa hati, dan tidak berperasaan sama sekali. Apa aku bisa begitu? Masa depan aku akan menjadi orang yang kejam? Walau aku sendiri meragukan nyawaku panjang, karena memikirkan menghabiskan nyawa sendiri semacam ada sesuatu yang menjanjikan disana.
Tuhan benci orang bunuh diri, harusnya Tuhan bisa mencegah orang-orang yang depresi. Jika manusia hanya bisa bicara tanpa tahu masalah dan beban mental seperti apa yang kamu pikul, cukup ambil tisu yang berbalut luka yang bernanah dan sumpal mulut mereka. Karena banyak orang bisa bicara, tanpa mau tahu cerita aslinya. Setelah dipikir hidup begitu kejam dan tak adil sama sekali. Siapa bilang hidup itu adil? Satu-satunya yang bisa kita bisa hadapi dengan ketikadailan dunia adalah menerima semuanya.
Berkali-kali aku bisa menerima diriku dibenci semua orang. Tapi terkadang aku hanya anak kecil yang bisa mengeluh, kenapa? Apa artinya aku kurang bersyukur?
Aku memungut, dua bahan yang bikin senang dan terduduk di atas ranjang.
Aku memeriksa lenganku yang banyak bekas garis-garis. Jika kalian depresi cobalah untuk melakukan hal ini rasanya sangat menyenangkan. Aku mulai mencoret dari bagian kiri menyayat hingga kanan dan melihat darah segar langsung keluar. Aku tersenyum. Kalian penasaran rasanya sakit? Tidak! Rasanya gatal, membuatku ingin menancapkan lebih dalam dan mengahasilkan luka yang lebih dalam dan darah yang banyak. Kalau boleh, darahku sampai satu liter keluar malam ini, aku bisa kehabisan darah dan mati sekarang.
"Ah, enak sekali." gumanku. Ponsel sialan berbunyi. Aku lupa, kalau ponselku belum kuperiksa saat terkena hujan tadi. Dengan sisa kesadaran dan kegilaan membuatku harus memeriksa ponselku. Masih aman, hanya layarnya berembun dan menurut mitos aku harus meletakan dalam beras. Besok mungkin aku bisa melakukan hal ini.
+6283185780006
Hey, udah tidur? Langsung tidur ya. Goodnite. Have a sweet dream. π―π―π―π―.
Aku tidak tahan untuk memutar bola mataku. Si norak, kenapa ia harus repot-repot memberi pesan padaku? Tapi senyumku terbit sendiri, dia baik, dia hangat. Dia mampu mengalihkan perhatianku dari kejamnya hidup yang aku rasakan.
Aku melihat lenganku yang terasa gatal, tapi jari-jariku lebih gatal untuk membalas pesan itu.
DelishaMara : π΄π΄π΄.
+6283184780006
Goodnight sweetyπ―π―π―. Mau aku jemput besok?
DelishaMara : Jangan! π€¬π€¬π€¬
+6283184780006
Kenawhy? Biar kamu nggak susah cari angkot.
DelishaMara : No thanks! π΄π΄π΄
Dan nyatanya aku mengantuk sekarang. Aku langsung membuang pisau dan beling tadi, jika aku membutuhkannya aku akan mencari sendiri.
Aku mencoba menutup mataku, tapi masih terpikirkan oleh pesan tadi. Kenapa laki-laki itu begitu baik padaku? Aku bisa melihat, jika ia tulus padaku. Tapi, kita tidak benar-benar tahu topengnya, apalagi aku hanya mengenalnya atau melihatnya beberapa kali. Bukan bertahun-tahun. Bahkan, orang yang sudah saling percaya selama bertahun-tahun saja masih bisa dikhianati. Apalagi, aku baru mengenalnya, dan ia begitu baik. Apa ia memang tulus atau ada maksud dari semua ini? Dan bagaimana aku membuktikannya?
Aku jadi frustasi memikirkan ini. Bagaimana cara membuktikan, dan bagaimana para iblis ini berhenti membenci diriku. Karena aku juga mulai benci pada mereka sekarang.
Mulai sekarang, Delisha Makara tidak akan memaafkan para iblis itu alias orang tua setan yang membuat hidupku hanya sengsara di dunia ini.
Camkan baik-baik dari seorang anak kecil yang haus perhatian dan kasih sayang.
___________________________"Pagi ini dingin bangat. Kamu harusnya pakai jaket atau sweater." Aku tak menghiraukan ocehan jelek itu dan langsung naik ke atas motornya.
Semalaman aku bertukar pesan bersama cowok ini.
"Aku lupa lagi nama kamu." Akuku jujur padanya, cowok tinggi itu berbalik padaku yang siap memasukan helm dalam kepalanya
Aku suka dengan wanginya, wangi tubuhnya menyenangkan."Ayden baby."
"Ewhhhh..." Aku mencibir kesal. Dasar norak dan alay.
Akhirnya Ayden mulai melajukan motornya. Semalaman kami memang tidak tidur, aku dan dia saling bertukar pesan sampai subuh hari. Saat pukul 4.37 ia menyuruhku mandi dan pergi sekolah pagi buta. Dan kedengarannya sangat menggirukan, pergi ke sekolah saat masih pukul 6. Aku pun, langsung mandi. Dan sekarang, belum genap jam dan kami sudah menuju sekolah, di saat yang lain mungkin masih bergumul dengan selimut.
"Peluk aja kalau dingin." Aku tersenyum dan memeluk cowok itu. Punggungnya juga membuat nyaman. Aku menutup mata dan menghirup aroma tubuhnya yang wangi. Jalanan juga masih lengang, kecuali para pedagang di pasar yang mau berjualan di pasar dengan membawa barang dagangan dan ibu-ibu yang mau masak.
Cowok itu melajukan motornya dengan pelan, lagian mau buru-buru ke sekolah juga pasti pagar sekolah belum dibuka.
"Kamu ngantuk nggak?"
"Uhmm. Sedikit."
"Mau tidur?"
"Kan kita mau sekolah?"
"Masuk jam 8. Kita punya waktu 2 jam untuk tidur." Mataku langsung terasa berat. Benar juga, lagian aku bodoh sekali kenapa tak tidur semalaman padahal sudah meneguk obat tidur dan berakhir begadang, chatting tak jelas dengan tak ada ujungnya.
Cowok itu membelokan motornya ke rumah panjang yang berjejeran. Kos-kosan? Aku melihat sekeliling, dan kos masih pada tutup. Mungkin semua orang masih tidur.
"Ini rumah siapa?"
"Rumah orang?"
"Hey, kenapa harus di rumah orang?"
"Ayo."
"Ahhhhh..." Aku langsung terpekik kaget saat cowok itu langsung mengendong tubuhku. Dia mengira tubuhku nangka busuk. Hufh... Sialan!
Cowok itu, langsung membuka pintu warna coklat yang terbuat dari kayu keras, aku menduga dari kayu jati.
Kos itu terasa sempit. Walau kamar dan rumahku seperti neraka, tapi kamarku lebih baik dari kamar kos ini. Dalamnya sempit dan terasa sumpek? Mungkin karena tidak ditinggali.
Aku melihat ada dispenser, ada kasur kecil, dan kamar mandi di dalam, yang setelah kuintip sangat sempit. Ada TV begitu kecil, ada printer. Ada kipas berdiri berwana hijau.
Cowok itu membuka jaketnya dan dia memakai seragam sekolah. Kukira, ia mau bolos. Aku selalu suudzon padanya, padahal ia tidak jahat.
Cowok itu menghidupkan kipasnya.
"Kamu udah sarapan?" Aku menggeleng. Alasan aku berangkat pagi buta karena tak ingin melihat wajah para iblis itu yang membuatku secepatnya ingin mengakhiri nyawaku sendiri.
"Yaudah, aku beli sarapan dulu. Tidur aja."
"Aku ikut?" Aku menawarkan diri setelah melihat keadaan sekeliling kamar kos yang sedikit horor. Keadannya membuat tak nyaman.
"Tunggu aja, nggak lama kok. Paling beli bubur ayam di depan gang." Aku mengangguk, mencoba memegang kasur tipis tersebut.
Aku merebahkan tubuhku, rasanya tulangku remuk semua padahal tidak ada perkejaan berat yang kulakukan. Mungkin karena telalu banyak pikiran yang membuat banyak menguras energi.
Aku mencoba menutup mataku, dan mengingat wajah para iblis dan senyum kebahagiaan di wajah Mereka dan saat mereka tertawa bahagia ketika melihat aku pergi dari kehidupan mereka selamanya. Benar, tergambar jelas mereka ingin aku mati!
Aku mengepalkan tanganku. Walau di luar udara dingin menusuk, sekarang keadaan kos yang sempit membuat tuhuhku berkeringat. Atau karena memikirkan para iblis itu membuatku tak nyaman. Jika sudah besar, aku takkan pernah mengenal mereka. Mungkin, aku akan hidup sendiri mengungsi di suatu tempat yang nyaman dan semua orang di masa lalu dan yang tak ada yang mengenalku di tempat baru. Astaga aku masih terlalu kecil untuk memikirkan itu.
Lelah sendiri, aku memilih untuk memikirkan hal yang indah. Hanya dengan berkhayal aku bisa menemukan kebahagiaan dan juga ketenangan dalam hidupku. Dan berharap di ujung dunia sana, atau ada satu tempat yang menjanjikan dunia yang indah padaku, tanpa para iblis tersebut.
_________________________Kepalaku terasa sangat berat, sepertinya aku tertidur sangat pulas, dan tak sadar si cowok itu—ingatkan aku kalau namanya Ayden. Kalau Ayden itu sudah pulang atau belum, dan sekarang perutku melilit meminta makan.
Aku membuka mata perlahan agar meyakinkan para pembaca seperti di novel-novel.
Dan melihat Ayden yang hanya memakai kaos berwarna coklat dan terlihat dia memakai kalung. Perasan kemarin, aku tidak menjumpai ia memakai kalung. Oh, kenapa aku harus memikirkan sampai sana.
"Udah bangun?"
"Jam berapa sekarang? Ayo ke sekolah."
"Iya sekolah. Orang sekolah udah pada pulang."
"What?" Aku langsung melotokan mataku, dengan meloncat dari tempat tidur, memeriksa ponsel melihat jam.
"Astaga! Kenapa nggak bilang?" tanyaku panik. Walau bukan anak teladan, tapi aku jarang dan anti tidak masuk sekolah. Saat bolos satu hari saja, aku merasa ada yang kurang dan sepertti melakukan sebuah dosa besar. Aku tidak bisa.
"Kamu pulas bangat. Tuh buburnya udah dingin bangat, aku juga udah beli makan siang." Aku hanya mengembuskan napas pasrah. Mau bagaimana lagi, terpaksa absenku harusnya ada kata A disana, padahal aku ingin semuanya titik.
Ayden menyodorkan sebotol air mineral. Aku butuh minun, mungkin obat tidur semalam baru bekerja sekarang, hingga aku tak sadarkan diri.
Aku terduduk di kasur tipis tersebut dan menunguknya hingga tingga sedikit.
"Berarti kamu nggak sekolah juga."
"Nggak sayang. Nanti kalau aku pergi, kamu diculik gimana?" Aku hanya memandang Ayden sinis sambil memutar tutup botol menutup kembali.
"Aku beli soup. Butuh yang berkuah biar sedap." Aku mengangguk dan tanpa malu membuka kotak makan tersebut. Cowok ini sangat perhatian, dan saat bersamanya aku yakin aku tidak akan pernah merasakan kelaparan dibanding bersama para iblis.
Aku membuka makananku dan kami makan dalam diam, dengan sangat lahap bahkan aku juga menghabiskan bubur ayam yang sudah dingin. Sayang mubazir.
"Badan kecil, tapi makan banyak." komentar cowok itu sambil mencubit pipiku. Aku hanya mendesis kesal sambil memasukan bubur dalam mulut sambil bersandar. Karena perutku mau meledak saking kenyang. Di rumah aku jarang merasa kenyang seperti ini, karena aku makan dalam keadaan terburu-buru, membuat lambung juga bekerja ektra karena aku mengunyah tidak halus.
Setelah menurunkan semua makanan dalam perut, aku merasa lega sekarang. Dan sekarang apa yang bisa kulakukan?
Aku membuka ponselku dan bermain game. Tidur lagi? Huh... Kenapa tidur selalu menjadi opsi yang menggiurkan ya?
Aku berbaring lagi, sambil bermain ponsel.
Tiba-tiba cowok itu juga berbaring di sampingku membuat kasur tipis dan kecil tersebut tak muat, jadi kami hanya sempit-sempitan.
Aku menjadi gugup dan tak leluasa untuk bermain ponsel, akhirnya aku memilih untuk meletakan ponselku dan mendengarkan detak jantung Ayden dan milikku yang bertalu-talu begitu cepat. Berada di dekatnya membuatku selalu deg-degan. Tentu dia bukan hantu.
"Unghhh... Nggak bisa napas." Aku berontak, karena Ayden memelukku dengan begitu erat, membuatku kesulitan bernapas, tapi dari jarak sedekat ini, aku bisa mencium aroma tubuhnya.
Ayden mengelus rambutku dan melonggarkan pelukannya. Tangannya bermain di wajahku, sekarang hidungku ia menarik dengan gemas, sekarang jari-jarinya menjalar di bibirku. Ia membuka bibirku, aku hanya menutup mataku tak berani membuka mata.
"Buka matanya." pinta Ayden. Dengan jantung yang berdegup kencang aku berani membuka mataku, cowok itu sudah mengukung tubuhku di bawah, wajahnya diturunkan tepat di depan wajahku. Dan aku bisa merasakn napasnya. Aku bahkan suka dengan napasnya.
Ia menempelkan bibirnya, jantungku rasanya mau copot. Aku meremas kasur tipis itu.
"Cium boleh?" Aku menggeleng, tapi saat aku merasakan lidahnya sudah menggoda bibirku minta diemut. Dia pernah menciumku sebelumnya. Dia pernah mengambil first kiss dan sekarang second kiss?
Saat aku mengeluh, lidahnya langsung menerobos tanpa permisi dan menghujani dengan lumatan lembut dan terasa makin terburu-buru di ujungnya membuatku ingin membalasnya. Aku membuka mulutku semakin lembar, menyambut lidahnya dan kembali menyerang dirinya. Ah... Ciuman begitu memabukan.
Ayden bangun, terpaksa aku harus bangun. Aku langsung duduk di pangkuannya dan tanpa sadar memeluk dirinya dengan seerat mungkin dan saling melumat. Lumatannya terasa manis dan bikin candu, aku merasa seperti tak ingin melepaskan ciuman ini.
Ayden semakin meremas rambutku. Aku yakin, setelah ini rambutku akan terasa sangat berantakan.
"Eumh..." Bukan sengaja, aku tanpa sadar mengeluarkan kata itu. Ciuman kali ini terasa lebih dalam, lebih panas, dan lebih intim dari sebelumnya yang masih was-was. Sekarang aku tak perlu khawatir karena kami berada dalam ruangan tertutup, tak perlu takut ketahuan orang lain.
Ayden kembali menidurkan tubuhku, ciuman itu semakin terasa liar dan terkendali, jika boleh jujur aku tak ingin berhenti. Rasanya ingin terus melanjutkan hingga nanti.
"Kamu mau buka baju?" bisik Ayden. Aku yang kembali disadarkan hanya menggeleng. Tapi tangan nakal cowok itu sekarang meremas buah dadaku yang baru tumbuh. Apa aku bisa berhenti dari ini?
Tapi aku tidak munafik, aku menginginkan lebih dan tak ingin kegiatan panas ini berhenti.
Bahkan, ciuaman Ayden sudah tak di bibirku, aku tak peduli. Aku hanya menutup mataku dan merapatkan pahaku, karena merasa perih di bawah sana.
Ada apa ini? Rasanya perutku digelitik.
__________________________Haduh kebablasan anak orangπ€π€. Nggak mau baca emakππππ.
Kenakalan remaja biasanya seperti ini, berawal dari cium atas sampai cium bawah.
See youπππππ. Kenakalan mereka akan semakin terlihat nanti π₯π₯π₯π₯.
"Bisa-bisanya, udah sebulan tapi tak berhasil juga." Jovan menghisap rokoknya karena kesal. Pemburuannya tak membuahkan hasil. Si perek kecil itu susah sekali ditemukan. Ayden yang bersama rombongan memilih diam, karena ia yang selalu menyelamatkan gadis itu dari rencana busuk Jovan dan kawan-kawan.Apa Ayden tulus? Kita lihat saja nanti. Ayden memilih pura-pura menggigit roti. Selama ini Jovan dan kawan-kawan tak tahu, jika ia sengaja tak berkumpul atau pura-pura izin karena ingin terus bersama Delisha. Bersama gadis itu seperti menjadi candunya. Saat melihat tatapan polos, tapi menyimpan banyak luka di dalam. Ayden bisa melihatnya, bukan berarti ia cenayang atau seorang psikolog handal, Ayden hanya bisa melihat melalui mata itu, mata itu mengatakan segalanya.Ayden merenggakan jari-jarinya, diam-diam ia merindukan gadis itu. Ayden senang saat melihat bagaimana Delisha melotot padanya, bagaimana ekspresi Delisha yang membuatnya selalu gem
Aku menutup mataku, menggigit bibirku menikmati rasa asing yang nikmat menyerangku dari berbagai arah. Kenapa aku baru tahu, kalau bermain seperti ini rasanya luar biasa? Ya Tuhan, biasakah aku merasakan ini untuk selamanya?"Enak?" tanya Ayden. Aku hanya mengeluh, tak berani membuka mataku. Ini rasanya seperti surga. Diibaratkan makanan juga, makanan kalah enaknya karena ini seperti makanan paling lezat sedunia. Aku memeluk belakang Ayden, mencium aroma tubuhnya yang lama-lama berubah bercampur dengan keringatnya, tapi masih menjadi bau yang enak dicium."Nggak sakit 'kan?" Aku menggeleng, dan tak bisa bicara lagi, saat Ayden dengan brutal mencium bibirku dan juga miliknya di bawah sana semakin dalam memompa miliku, aku merasa sesak dan penuh. Kupu-kupu semakin berterbangan dan aku merasa seperti ingin meledak ke awan. Ini bukan tentang rasa asin, manis atau gurih, ini tentang bagaimana semua rasa nikmat disatukan dan membuat kita tak bisa mengatasi semua
"Lisha." Aku menoleh pada Meisha yang mengintip di balik pintu. Kenapa dia? Aku memalingkan wajahku lagi malas berhubungan dengan orang-orang ini. Entah kenapa, aku ingin sepenuhnya bergantung hidup pada Ayden. Tapi dia saja masih remaja sepertiku. Coba saja dia sudah bekerja, aku dengan senang hati tinggal di rumahnya."Woi setan! Dipanggil." teriak Meisha dengan gondok. Tapi aku tetap mengabaikan dirinya. Memangnya dia siapa?"Woi sial!"Aku mengurat dadaku, saat Meisha langsung menendang pintu. Dia memang tak pernah tahu sopan santun! Meisha juga sangat kurang ajar padaku, padahal aku lebih tua darinya. Semua karena para iblis itu mengajarkan untuk anak kesayangan mereka jadi kurang ajar dan tidak tahu cara menghargai orang lain. Mereka bahkan menganggaapku binatang. Aku meremas bajuku, betapa hidupku tak berguna seperti ini. Bahkan, hidup nyamuk lebih bermartabat dariku."Woi sial! Minta nomor HP." Aku mengangkat wajahku dan menata
"Makan?" Aku menggeleng. Sudah seminggu aku terkurung dalam sangkar emas Oma. Harusnya aku merayakan bisa terbebas dari para iblis, tapi aku mengkhawatirkan sekolahku. Sedari dulu, walau bukan orang yang berprestasi aku selalu mengutamakan pendidikan. Aku ingin menjadi orang yang terpelajar dan terdidik agar bisa dihargai orang ketika menginjak usia dewasa."Oma ... Lisha mau sekolah.""Pulihkan diri dulu. Kamu tak bisa terus bersama para iblis itu. Atau mau pindah sekolah." Aku tahu, Oma sangat mengkhawatirkan kesehatan mentalku. Tapi aku sebenarnya ingin meyakinkan Oma bahwa aku baik-baik saja."Oma ... Lisha sebentar lulus sekolah. Saat masuk SMA, Lisha bisa pindah kesini. Sekarang mau pindah nanggung, Lisha hitungan bulan sudah tamat.""Bagaimana kalau mereka masih jahat sama kamu?" Aku terdiam, aku tahu tak ada jaminan untukku selamat dari Mama. Mama pasti akan menyimpan dendam lebih padaku, tapi aku juga harus sekolah. Sekolah ta
Masa remaja adalah masa untuk mengenal jati diri. Dan adalah masa percobaan. Banyak hal di sekitar yang membuat para remaja penasaran dan coba-coba. Jika, tidak dibekali dengan ilmu yang cukup atau diberi edukasi yang baik tentu mereka akan terjerumus dan masa remaja yang seharusnya disiapkan demi masa depan seolah tergerus dan tak ada masa depan yang menjanjikan di sana.Seks edukasi itu sangat penting. Dan para orang tua sebisa mungkin mendengarkan anak-anak mereka saat mereka mengadu menjalani pelecehan seksual. Bukan malah tutup mulut, karena pelaku adalah keluarga dan akhirnya membuat anak trauma hingga dewasa.Delisha benar-benar tak tahu, jika masa depannya telah direnggut paksa. Bagaimana ia tak tahu, jika masa depannya bisa hancur hanya karena semua kepolosannya. Ketika dengan suka cita Delisha menyerahkan dirinya pada Ayden. Padahal Ayden juga begitu muda, belum mengerti apa itu bertanggung jawab jika seandainya ia hamil. Bahkan Delisha tak mengerti
Dari kecil Delisha meragukan Tuhan. Dan sekarang, Delisha masih mempertanyakan Yang Maha Kuasa. Bagaimana mungkin ia diberi cobaan bertubi-tubi yang seolah tak ada habisnya. Menangis juga rasanya percuma, semuanya sudah terjadi.Delisha diam! Lebih baik malaikat maut mencabut nyawanya sekarang. Gadis itu hanya bisa terdiam dalam waktu yang tak bisa ia katakan. Terdiam dalam waktu yang lama. Walau langkah pertama yang Delisha lakukan adalah ingin pergi ke toko buku. Delisha ingin membeli buku tentang kehamilan, entah kenapa gara-gara perkataan manusia laknat itu Delisha langsung sadar dan membuka matanya tentang apa yang terjadi padanya selama ini. Menyesal, kata itu seolah tak layak untuk dirinya, ia juga yang bodoh jadi memang Delisha harus menghapus kata menyesal dalam kamus hidupnya.Delisha berjalan kaki siang ini ke toko buku yang berjarak satu kilo. Walau tubuhnya belum begitu sehat, tapi Delisha terus berjalan karena ujian dalam hidupnya lebih berat se
Aku merasa seperti banyak kegelapan menyelimuti hidupku. Suara-suara asing yang berlari dalam kepalaku membuatku pusing, aku takut, aku ingin berlari sejauh mungkin dari sini. Aku tak tahu, apa yang menimpa hidupku sebenarnya.Aku bisa menetralkan napasku, ketika membuka mata dan melihat Ayden berhenti di sebuah rumah besar walau dari luar terlihat menyeramkan. Selama perjalanan aku sudah menduga ada yang tak beres di sini."Aku nggak mau turun!" Aku jadi merajuk. Bukan merajuk-merajuk manja, tapi aku memang tak mau turun dan masuk dalam rumah sarang hantu tersebut, aku yakin di dalamnya banyak penghuni."Ayo turun! Dua jam kita pergi sejauh ini." Aku hanya menggeleng dan memeluk lututku sendiri. Tak mau turun demi apapun, aku ingin hidup tenang walau hidupku selalu dipenuhi dengan bencana, setidaknya aku tidak mengundang bencana yang lain."Aku mau pulang!""Lisha ... Aku masih manggil baik-baik, jangan sampai aku main kas
Tak kehabisan akal.Makhluk hidup mempunyai insting yang luar biasa untuk bertahan hidup, karena kejamnya seleksi alam yang jahat, membuat mereka melakukan apa saja untuk bertahan hidup. Seperti para binatang liar yang hidup di Africa bagaimana mereka bertahan hidup, di tengah tanah gersang yang luas dan tetap bertahan hidup. Beruntunglah bagi binatang yang mempunyai kekuatan, kecepatan atau tubuhnya besar. Kita sering melihat bagaimana rusa yang malang tak tenang minum air di pinggir sungai karena bisa dimakan buaya secepat mungkin atau saat mereka tengah berjalan santai di tengah lapangan gersang tanpa sadar tubuh mereka telah terserat oleh singa yang buas dan berkuasa.Delisha menarik napas panjang. Melihat dirinya di cermin, ia beruntung mempunyai insting yang begitu tajam bagaimana bertahan dengan kondisinya yang seperti sekarang. Gadis itu menarik bungkusan pembalut, dan menatap nanar benda tersebut. Jika, tidak ia hanya perlu memakai setiap bulan dan t