Dengan cekatan, Athan menangkap tubuh Acasha dan melihat raut keterkejutan di paras cantik sang wanita. Pupil matanya bergetar dan melebar sempurna. Gurat wajahnya tampak tegang, menyiratkan ketidakpercayaan dan ketakutan di saat yang sama.
"T-Tuan, apa Anda melihatnya?" cetus Acasha tergagap. Pandangannya lurus menatap lukisan sepasang kekasih di hadapannya."Melihat apa?" balas Athan datar. Jarak yang cukup dekat membuat Athan menghidu aroma tubuh Acasha yang memikat."Itu ... matanya ...." Acasha masih menatap lukisan itu dengan wajah tercengang."Bukankah sangat indah?" sahut Athan semakin memangkas jarak. Harum khas tubuh seorang manusia yang diselubungi aroma parfum bunga Gardenia di hadapannya begitu menggoda dan membangkitkan gairah.Kening Acasha berkerut dan mendadak berpaling pada Athan. "Apa Tuan sungguh melihatnya?"Namun, respon yang diperlihatkan Athan justru tidak sesuai dengan harapan Acasha. Bukannya memasang ekspresi terkejut sepertiJemarinya mengetuk-ketuk kaki sambil terus berpikir. "Tapi, apa, ya? Kalau memang rahasia, seharusnya dia tidak sengaja memancingku untuk mencari tahu. Kalau seperti ini 'kan aku jadi pusing," keluhnya disusul desahan napas panjang."Tapi, yang lebih aneh lagi, kenapa tadi aku pingsan? Mana kepala sakit banget kayak mau pecah." Acasha mendadak terdiam saat berusaha mengingat dan melihat pecahan ingatan abstrak melesat begitu saja di pikirannya. "Ugh ... apaan, sih? Bikin pusing saja," cetusnya menggelengkan kepala dengan cepat.Ia pun kembali termangu sampai tiba-tiba terdengar suara bergemuruh dari dalam perutnya. Acasha mendesah pelan, lalu memegangi perutnya yang mulai merasa lapar. Ia lantas melihat ke arah jam dinding. Waktu sudah menunjuk pukul satu siang."Haruskah aku ke dapur sekarang? Hah ... tapi aku malas," ujarnya merasa enggan untuk beranjak dari posisi nyamannya itu. Tetapi, lagi-lagi cacing di perutnya menyuarakan protes lebih lantang. "Huft .... Oke,
Acasha menarik fokusnya dari buku. Pandangannya pun berpaling dan mempertajam pendengarannya untuk mencari asal suara tersebut.Hening.Acasha pun berkedip dan mengedikkan bahu. Ia bersiap untuk membaca kembali buku yang sempat ia letakkan di pangkuannya. Namun, baru sebaris kalimat dibacanya, suara itu terdengar lagi, bahkan lebih berisik.Bruk bruk srek bruk.Dengan kerutan di dahi, Acasha bangkit dari duduknya. Ia melangkah pelan menyusuri dinding sekaligus rak buku. Ia mendekati suara berisik tersebut sambil menenteng buku di tangan."Suara apa, sih? Lagi baca juga," batinnya penasaran.Semakin Acasha melangkah mendekati asal suara tersebut, semakin jelas pula suara itu terdengar. Detak jantung Acasha terasa melambat seiring rasa waspada yang semakin kuat.Ia tiba di ujung dinding yang menjadi rak buku tersebut, tapi ia belum melihat apa pun di sana selain beberapa buku yang berserak di lantai. Dengan kerutan yang semakin bertambah, Acasha berj
Brak. Ceklek.Acasha langsung mengunci pintu rapat-rapat setelah membantingnya dengan keras. Napasnya tersengal-sengal, degup jantung memburu, keringatnya bercucuran dan membulir di pelipis setelah berlari secepat mungkin yang ia bisa demi menjauh dari perpustakaan, tempat di mana ia memergoki seorang vampir menghisap darah dari mangsanya, seorang manusia.Acasha lantas menjauhi pintu, melangkah kebingungan tak tentu arah. Ketakutan dan kegelisahan dalam benak bercampur menjadi satu, membuatnya tak bisa berpikir jernih tentang apa yang harus ia lakukan sekarang. Apakah dia harus sembunyi? Harus. Lalu, di mana?Ia hampir menarik selimut ketika terlintas pikiran untuk berlindung dan bergelung di sana. Namun, dengan cepat ia berpindah menuju lemari dan membukanya. Sayangnya, percuma jika ia bisa masuk dan bersembunyi di dalam sana, tapi tak bisa menguncinya dari dalam.Ia pun menoleh ke kanan, teringat dengan sebuah pintu lain yang dapat dikunci dari dalam. Tanpa me
Byurr!Karena tarikan yang terlalu kuat dan tangan yang masih licin oleh busa sabun, mereka berdua pun tercebur ke dalam bathub. Acasha sontak memberontak dalam kepanikan. Namun karena terlalu panik, ia tak kunjung berhasil beranjak dari sana dan malah tergelincir oleh licinnya permukaan bathub, Demian, dan busa sabun."Acasha, hei, tenanglah," ujar Demian berusaha menenangkan perempuan yang seolah kehilangan keseimbangan dan titik tumpu. Namun, Acasha terus bergerak dengan limbung. Mau tak mau, Demian langsung mendekap Acasha dari belakang. "Tenanglah, Acasha. Tenanglah."Suara berat yang sangat dikenalnya, terdengar jelas dan sangat dekat di telinga. Dalam hitungan detik, Acasha mulai menemukan kembali fokusnya. Ia pun terdiam dan menatap jauh ke dalam air. Di sana ada sepasang kakinya dan ada sepasang kaki yang lain.Detik berikutnya, fokusnya lantas berpindah pada gelenyar aneh yang merayap di sepanjang punggung, lengan, dan lengan polosnya. Ada lapisan epide
Mendengar jawaban tak terduga dari Demian, Acasha langsung kehabisan kata. Ia hanya mengeratkan rahang sambil menahan gejolak dalam dada yang semakin menggebu-gebu."K-Kalau begitu, aku saja yang pergi. Aku akan menunggu sampai kamu selesai," ucap Acasha bersiap-siap bangun.Baru pinggangnya bergerak naik, Demian sudah kembali melingkarkan tangan di sana dan menahannya. "Di sini saja. Kita berendam bersama saja.""Demian, tolong, lepaskan," pinta Acasha memegangi lengan yang semakin erat itu."Kenapa? Bukankah tadi kamu memintaku untuk tidak meninggalkanmu? Kenapa sekarang malah kamu yang mau meninggalkanku?" balas Demian tepat sasaran.Deg!Tubuh Acasha membeku. "Bukannya tadi kamu tidak dengar?" tanyanya ragu-ragu."Sedikit. Di sini saja, ya," ucap Demian berbisik di telinga Acasha.Merasakan embusan napas Demian menyentuh daun telinganya, bulu roma Acasha meremang. Bola matanya bergerak gelisah tak tentu arah."Bagaimana ini? Aku harus
Selepas Bedros pergi, Orion langsung membawa Gretta berdiri di samping ranjang. Ia meminta Gretta berdiri membelakanginya, kemudian mendorongnya ke depan hingga sebagian tubuhnya telungkup di atas ranjang. Tanpa melepaskan ikatan di pergelangan tangan Gretta, Orion menahan tangan tersebut ke atas dengan sebelah tangannya dan langsung meluncurkan torpedonya, menembus medan pertempuran.Tanpa letih dan tanpa ampun, Orion melepaskan setengah dari kekuatannya agar medan pertempuran yang mudah rapuh itu tidak lekas hancur.Tanpa mampu melawan, Gretta hanya bisa berusaha untuk menarik napas sebanyak-banyaknya dan terkadang membenamkan wajah ke dalam empuknya ranjang. Gempuran demi gempuran terus menghajar wilayah kekuasaannya yang tak lagi memiliki benteng perlindungan.Gretta hanya bisa mengaduh, merintih, dan mengerang merasakan perpaduan antara kesakitan dan kenikmatan yang membombardir dirinya. Tubuh yang sudah tak seratus persen miliknya itu sudah dikuasai oleh Orion R
Sekitar empat puluh menit kemudian setelah pemesanan, ponsel Demian berdering. Ia pun menerima panggilan tersebut yang ternyata dari pos pengamanan."Ya?" sahut Demian menerima panggilan tersebut.Setelah mendengar kalimat di seberang, Demian menoleh ke arah kasur, di mana Acasha kini mengawasi dirinya. "Tolong, bawa ke sini. Aku sedang tidak bisa pergi dari kamar sekarang." Setelah itu, panggilan pun terputus.Demian meletakkan ponselnya di atas nakas, lalu menoleh pada Acasha. Acasha tersenyum dari sana."Sudah sampai?" tanya Acasha dengan mata berbinar."Sebentar lagi," sahut Demian menahan senyum karena melihat ekspresi Acasha yang menggemaskan.Acasha mengangguk senang. Ia pun mulai merapikan diri dan beranjak dari ranjang menuju sofa di dekat Demian. Ia duduk di sana sambil memandang ke luar jendela.Tak berapa lama, terdengar suara pintu diketuk.Tok tok tok."Biar aku yang membukanya." Demian bergegas menuju pintu dan menerima pes
Acasha bangun dari posisi tidurnya ke posisi duduk. "Tuan Athan?" sapanya ragu-ragu. Kemunculan Athan di pagi hari ini sungguh di luar ekspektasi.Athan mengangkat wajahnya dari buku dan beralih menatap Acasha. "Ah, Acasha. Apa aku membangunkanmu?"" T-Tidak, kok. Eum, ini memang waktunya saya bangun," jawab Acasha sangat gugup. Sebisa mungkin, ia menghindari kontak mata dengan Athan. "Syukurlah kalau begitu," balas Athan, sangat tenang.Ingin sekali, Acasha bergegas bangkit dan lari dari sana. Tapi, tubuhnya seperti terkunci, seakan ada magnet tak kasat mata yang menarik tubuhnya sangat kuat agar tetap melekat erat dengan ranjang."Eum, kalau boleh tahu, apa yang Tuan lakukan di sini? Apa Tuan ingin bertemu Demian? Oh, pasti dia sedang mandi, ya? Jadi, Tuan menunggu di sini," celoteh Acasha harapa-harap cemas. Ia tidak ingin menjadi alasan kedatangan Athan kemari.Mendengar ucapan Acasha, seketika Athan menutup buku dan berdiri. Ia mendekati Acasha sambil