Ketika mata Arumi terpejam, indera pendengarannya aktif. Arumi mendengar keluh kesah Randika yang dia ungkapkan kepada Minora. Baik pernyataan cinta, juga rasa penasaran tentang seberapa besar amarah kekasihnya. Dan Arumi bersyukur bisa mendengarnya. Dia bisa tahu, seberapa besar cinta dan keseriusan Randika padanya.
Musim telah berganti dari musim gugur menjadi musim dingin. Dan musim dingin kali ini berbeda dari tahun sebelumnya. Musim dingin tahun lalu, dia menangis karena kehilangan kedua orang tuanya. Namun, tahun ini, dia tersenyum menyambut kehidupan barunya.
"Kau seharusnya makan Sayang pipi mu terlihat kurus."
Arumi menampilkan wajah cemberut, dia mengeratkan pelukan kekasihnya. "Aku lapar," ucapnya pelan.
Randika menatap jam tangannya, jam menunjukan sudah lewat tengah malam. Dia yakin para pelayan juga sudah tidur. Dia berfikir sejenak, mungkin saja Minora belum tidur. Randika berg
"Kau ingin membuatnya sendiri Tuan?" "Jika bisa, aku tidak akan membangunkanmu bodoh!" "Baiklah, pertama-tama kita akan membuatkan telur." Sejenak dia menoleh ke arah tuannya. "Telur apa yang di inginkan Nona?" "Telur apa? dia hanya mengatakan nasi goreng tidak dengan telurnya." "Jadi intinya kau tidak tahu telur apa yang di sukai calon istrimu?" tanya Minora dengan nada mengejek. Tidak tahu apa yang harus dia katakan, Randika menggunakan kekuasaannya dan menekan Minora agar diam. "Tutup mulutmu dan lanjutkan pekerjaanmu atau gajimu akan aku potong." Minora memelototi Randika. "Dasar penjajah." "Aku akan membantu menggoreng telurnya, tapi kau harus tetap memperhatikannya jangan sampai gosong," ucapnya yang di sanggupi oleh pelayan cerewet itu. Randika memecahkan telur dengan hati-hati ke dalam wajan. D
Malam itu berakhir dengan Arumi yang kembali tertidur setelah makan. Keduanya menghabiskan waktu menonton drama televisi hingga akhirnya mata Arumi lelah dan terlelap di pelukan kekasihnya. Randika memperbaiki posisi tudur kekasihnya lalu menyelimutinya dengan selimut tebal. Yang terakhir, dan selalu tidak terlewatkan. Pria dengan manik hitam itu memberikan kecupan pada bibir kekasihnya, cukup lama hingga membuat Arumi melenguh lalu bertukar posisi membelakangi Randika. "Kita akan melewati sepanjang malam bersama saat sudah menikah nanti. Tetapi, lihatlah. Kau bahkan sudah membelakangiku sekarang. Aaaah, kau sangat tidak Romantis." Pria itu hanya tersenyum melihat tingkah kekasihnya. Randika menahan napas sesaat ketika menutup pintu, dia takut suara pintu yang dia tutup terdengar oleh Arumi. Berhasil menutup pintu tanpa suara, Randika malah di kagetkan dengan suara yang tiba-tiba muncul. "Aku
Seorang pria dengan hoddi hitam dan topi berjalan menelusuri gang-gang kecil yang sempit. Sambil merokok pria itu melangkah dengan waspada tenggelam di antara gedung-gedung pencakar langit menuju sebuah perumahan kumuh yang gelap. Tidak ada cukup matahari yang masuk ke sana, hanya tersinari lampu-lampu juga di ramaikan dengan lalu lalangnya orang-orang dengan tingkat sosial yang cukup. "Evanya." "Hallo Damian." "Apa kau baik-baik saja?" tanya pria bertopi hitam yang duduk sambil menghembuskan asap dari sisa rokok di tangannya. "No! aku sangat menderita di sini, di mana pun ada banyak nyamuk." "Kau harus bisa terbiasa Evanya." "Bisakah kau memindahkanku ke tempat yang lebih baik, atau aku kembali saja ke apartemenku." "Tidak Evanya, jangan melakukan itu, Randika akan menangkap kita berdua jika kau melakukan hal bodoh lagi." "Lantas aku harus bagaimana, tempat kumuh ini membuat ku hampir gila." Damian membuang pun
Akhirnya Evanya keluar dari persembunyian saat gelap mulai pekat. Jarum jam menunjukan pukul 10 malam, perempuan dengan pakian serba hitam itu berjalan dengan sangat hati-hati. Lirikan matanya tajam melihat keadaan agar tetap aman untuknya.Beberapa menit menelusuri lorong gelap akhirnya dia sampai di depan jalan, terlihat ada mobil hitam dengan semua kaca tertutup sedang menunggunya di sana. Evanya melambaikan tangan membuat pria yang ada di dalam mobil menurunkan kaca jendela. Secepat kilat, dia berlari kecil dan masuk ke dalam mobil, berharap jika tidak ada siapapun yang melihat mereka."Ayo jalan.""Apa ada yang melihatmu?" Damian melirik ke arah spion memeriksa sekali lagi bahwa keadaan sekitar aman dari jangkauan Randika dan kawanannya."Ku harap tidak.""Apa yang akan kita lakukan ini akan sangat beresiko Evanya, apa kau siap?""Aku siap!" 
"Apa kau baik-baik saja?""Aku merasakan mual."Tangan Randika mengelus pelan pada punggung Arumi yang terus saja merasa mual. "Apa yang kau makan pagi ini?""Tidak ada, hanya segelas susu."Randika berfikir sejenak, lalu kembali menatap Arumi dengan tatapan serius. "Sayang, jangan-jangan kau ....""Apa? Kau pikir aku hamil?" Arumi melempar serbet yang dia gunakan untuk mengelap mulutnya ke arah Randika. "Jangan konyol, kita tidak pernah melakukannya."Pria bermata hitam itu tertawa dengan keras. "Aku hanya bercanda Sayang. Kau sangat serius dengan wajah tegang mu itu.""Jangan bercanda dengan hal seperti itu, aku tidak menyukainya. Bagaimana kalau ada yang mendengarnya, mereka akan mengira kalau aku benar-benar hamil.""Tenang saja. Bukankah aku akan menikahimu.""Oh God." Arumi memijat keningnya
"Hei, sedang apa kau di samping mobilku," ujar seorang pria menatap kaget saat seorang wanita yang berpenampilan seperti orang gila berdiri mengendap-endap di dekat mobilnya."Hei! Kau!"Wanita yang bersembunyi itu mengangkat kepala, menatap ke arah pria yang berdiri di depannya."Kecilkan suaramu Brian, ini aku.""What!" Pria bermata biru itu mengerutkan kening. "Kau mengenalku?""Dasar bodoh! Ini aku, Evanya," teriak Evanya dengan wajah kesal.Dia melepaskan wik yang dia kenakan agar rambut pirangnya terlihat. Evanya mengikuti ide Damian untuk berpenampilan seperti orang gila agar tidak ada yang mengenalinya. Dan benar saja, Brian bahkan tidak mengenalnya sama sekali."Evanya!"Mata Brian hampir saja terjatuh melihat penampilan sahabatnya. "Kau mirip dengan orang gila!"Sedetik setelah mengatakan itu, Brian berfikir sejenak. "Tunggu ...." Mata pria itu berkeliaran kemana-mana. Dia dengan cepat menarik Evanya masuk ke d
"Bonne nuit Chérie. (Selamat malam Sayang.)" "Bonne nuit aussi Bébé, (Selamat malam juga Sayang,)" ucap Arumi mengakhiri percakapan. Tidak lupa dia memberikan ciuman singkat di pipi pria dambaannya lalu mengucapkan kalimat pemanis. "Je vous aime. (Aku mencintaimu.)" Randika tersenyum manis. Namun, sedetik setelahnya kembali muram. "Hei, ada apa dengan wajahmu? Kenapa kau malah bersedih?" "Aku akan merindukanmu." Dahi Arumi berkerut. "Bukankah kita hanya berpisah untuk tidur?" "Tapi aku tidak sabar menanti pagi Sayang." "Oh Tuhan Randika!" Arumi berucap di ikuti lemparan bantal yang mengenai kepala kekasihnya. "Keluarlah, jangan menggombal di jam seperti ini." "Apa aku tidak boleh tidur di sini?" tanya Randika dengan wajah memelas. "No! Keluarlah! Kita akan bertemu besok." Randika memasang wajah sedih lagi. "Itu terlalu lama Sayang, aku ingin tidur dengan memelukmu malam ini." "No, Randika!
"Berapa tamu yang akan hadir Tuan?""Entahlah, aku lupa. Bukankah semua undangan kau yang sebarkan?""Semua undangan di atur oleh Nyonya Jenny, Tuan.""Begitukah.""Oui monsieur."Randika mengangguk-ngangguk, dia duduk di salah satu kursi tamu yang di sediakan. "Aku sangat gelisah.""Evanya?""Aku takut Arumi akan tahu jika wanita itu masih berkeliaran, entah apa yang harus aku katakan padanya jika Evanya tiba-tiba muncul besok.""Apa aku perlu melakukan sesuatu padanya?""Jangan! Biarkan saja. Bukankah dia hanya ingin mengatakan selamat tinggal. Jika kita mengusiknya sekarang, dia akan kabur dan bersembunyi lagi.""Tapi Tuan, dia bersama Damian. Apa kau tidak takut jika mereka melukai Arumi atau menghancurkan acara pernikahanmu?""Itu bagianmu."&n