Betapa besar keyakinan Aqilla dalam mengalahkan Tanu yang saat ini tiba-tiba kehilangan kekuatannya.
Burung elang itu melesat bagaikan busur panah yang mendekati sasarannya. Namun laju cepatnya masih dapat terlihat. Sebab burung itu sudah mengeluarkan semua kekuatan untuk bertahan dari serangan Tanu. Andai saja kekuatannya masih utuh, mungkin siapapun tak bisa melihat kecepatan yang dimiliki perwujudan pusaka berupa burung itu.
Di saat Aqilla meluncur dengan cepat, Tanu melihat percikan halilintar silih berganti seakan menyelimuti tubuh burung itu.
"Bagaimana ini, jangan-jangan burung itu akan memakai jurus pamungkas miliknya. Jurus kilat dewa pencabut nyawa," gumam Tanu dalam batinnya.
Jurus pamungkas ini memiliki beberapa keunggulan tersendiri jika dibandingkan dengan jurus Aqilla lainnnya. Siapa pun lawan Aqilla yang terkena jurus ini, pasti akan berakhir dengan kematian. Namun jurus ini pernah ditaklukan oleh seorang bocah yang dikenal
Suasana di gubuk tua yang Tanu buat, saat ini terasa begitu sesak. Hal itu dikarenakan Seno datang bersama tiga lelaki yang masih tak sadarkan diri. Dua diantaranya ialah Utar dan Jiro, kemudian satu lelaki lainnya bernama Andar. Selain tiga lelaki tersebut, Seno pun berhasil menemukan dua wanita desa yang bernama Mei dan Wina. Mengapa hanya lima orang?Kemana yang lainnya? Bukankah anggota pasukan desa tersebut berjumlah dua puluh orang? Ya, anggota pasukan desa memang berjumlah dua puluh orang, tapi hanya lima orang saja yang bisa dibawa Seno. Lima belas orang lainnya dinyatakan telah meninggal dunia. Saat Seno mendapati mereka, keadaan tubuh lima belas anggota pasukan desa tersebut, banyak mengalami cedera. Seperti patah tulang, tubuh berlumur darah dan warna kulit yang sudah nampak membiru. "Kek, mengapa kau melakukan semua ini?" tanya Seno. Pria itu menuduh Tanu sebagai penyebab dari kematian teman-temannya. "Jangan tanya
"Jika semua yang dikatakan kakek itu benar. Berarti dalam waktu dekat ini akan terjadi peperangan besar!" tutur Seno, kemudian ia menghampiri Tanu yang tengah berdiri di pintu masuk."Hmp, begitu ya. Dari mana kau mengetahui berita itu?" tanya Tanu."Dari kitab Kasyapi.""Hah! Apa kau bilang? Kasyapi!" sontak saja Tanu terkejut mendengar nama Kayapi. Itu merupakan kitab yang sedang dicarinya. Karena dalam kitab itu terdapat penjelasan kitab Azura yang masih sulit dimengerti.Sungguh beruntung orang yang memiliki kedua kitab ini, sebab kitab tersebut tidak mempunyai salinan. Dengan kata lain hanya ada satu di dunia."Berarti kau ....""Benar, aku merupakan keturunan dari orang yang sedang kakek ceritakan. Kemudian aku diberitahukan tanda-tanda akan terjadinya peperangan besar. Yaitu disaat satu kitab yang dipisahkan bertemu kembali."Perbincangan Tanu dan Seno terus berlangsung dari mulai terbit matahari, hingga menjelang s
"Guru! Guru!"Suara teriakan seorang pria, seakan mengguncang se-isi hutan.Saat ini hari sudah gelap gulita, karena tempat sang Surya telah digantikan oleh bulan sabit.Di gubuk sederhana yang dibangun oleh Tanu, saat ini nampak dipenuhi isak tangis. Entah apa yang sedang terjadi.Namun di sisi lain hutan gerbang kematian, seorang bocah terlihat sedang asik bermain di tengah malam.Tunggu!Bermain di tengah malam?Bukankan itu hal tak lazim?Ya, itu memang tak lazim. Tapi bocah yang sedang asik bermain itu tak lain ialah Sadarga Sae. Si bocah 11 tahun yang sudah menelusuri hutan selama beberapa hari terakhir.Saat ini Sadarga sedang bermain kejar-kejaran dengan Pusi, si kucing putih yang ditemuinya beberapa waktu lalu.Ternyata sesaat setelah kepergiannya dari Tanu, bocah itu langsung bertemu dengan Pusi. Akhirnya mereka selalu bersama kemana pun mereka pergi."Hei, Pusi. Apa kau sudah lelah?" tanya
Setelah menangkap ikan untuk dibawa pada Tanu, Sadarga langsung bergegas melanjutkan perjalanannya."Kakek, apa yang sebenarnya terjadi padamu? Mengapa bayangan wajahmu terus melintas di benak ku," gumam Sadarga. Sembari berlari bocah itu terus melamun. Rasa khawatir teramat sangat seperti mengganggunya.Setelah perjalanan yang cukup jauh. Akhirnya Sadarga tiba di tempat Tanu berada.Suasana kala itu seakan canggung tanpa kata, terlihat tiga pria dewasa sedang diam hendak menyalakan api pada tumpukan kayu dan ranting.Selain itu, Sadarga melihat dua wanita yang tak asing baginya.Sadarga bingung seribu bahasa, apa yang harus ia katakan pada orang-orang di depannya. Sebab bocah itu telah menyapa beberapa kali, tapi ia tak mendapat tanggapan sedikit pun.Walau Sadarga mengenal orang-orang di hadapannya, tapi entah mengapa. Mereka seperti baru bertemu."Paman, mengapa kalian terlihat sedih?" tanya Sadarga yang ke-sekian kalinya. Meski pu
"Aku hanya melakukan semua yang dipinta Pusi!" cakap Sadarga dengan penuh keyakinan, sembari menatap kucing putih.Utar yang mendengar pernyataan seorang bocah di hadapannya, merasa sedikit bimbang. Sebab dalam benaknya juga terpikir hal yang sama dengan Jiro. Apakah benar Sadarga bisa berbicara dengan kucing?"Haha. Apa kau tahu maksud dari perkatakan?" sanggah Jiro terbahak menertawakan adiknya.Ini cukup membingungkan, Utar di hadapkan permasalahan pada keputusannya sendiri. Di satu sisi ingin membela Sadarga, tapi di sisi lain ia ragu pada bocah di depannya. Sebab Sadarga selalu melibatkan Pusi, seakan tidak mau tahu dengan apa yang diperbuatnya."Entahlah, aku hanya mencoba memberikan kepercayaan saja padanya!" tegas Utar. "Kalian terlihat seperti anak kecil, apa tak sebaiknya kita diam, lalu menyaksikan apa yang akan terjadi?"Tiba-tiba suara wanita terdengar dari arah pintu."Hei bocah, cepatlah lakukan sesuatu. Semaumu da
"Hei bocah, berani sekali kau mencuri benda itu"! hardik Jiro pada Sadarga.Walau pun merasa tersentak, Sadarga mencoba berkata yang sebenarnya,"Ti-tidak. Sudah ku bilang, benda ini keluar dari mulut kakek ku!" Saat ini sebuah wadah cincin yang terbuat dari emas, berada di genggaman Sadarga. Hampir semua pendekar tingkat menengah mengetahui rupa cincin itu."Sudahlah. Aku pun mempunyai benda itu!" celetuk Mei,"Tapi, untuk mendapatkannya bukanlah hal yang mudah. Bahkan nyawaku hampir menjadi taruhannya untuk menebus benda kecil itu!" lanjut Mei, kemudian ia mengambil wadah cincin itu dari balik jubah yang menutupi pakaian besinya."Tunggu! Apa munkin yang di pegang bocah itu, cincin Semar. Jika benar berati ia ...." bisik Wina pada Mei yang berada di sampingnya."Entahlah, aku pun tak mengerti. Bukankah kita harus menjalani beberapa ujian untuk mendapatkan benda itu.""Ya, atau mungkin ... bocah ini memiliki kemampuan tersembunyi
Sadarga dan Tanu terus berbincang tak tahu waktu. Mungkin mereka sedang melepas rindu.Jiro yang melihat wadah cincin terjatuh, berniat ingin mencurinya. Sebab ia belum memiliki benda itu, walau pun tingkat kependekarannya sudah cukup tinggi, tapi kepribadian yang dimilikinya belum layak mendapatkan wadah cincin itu.Ya, kependekaran di masa ini bukan hanya dilihat dari kemampuan bertarung saja. Tapi pengendalian diri harus di perhitungkan juga jika ingin menjadi pendekar sejati dan berada di jalur yang benar.Wadah cincin ini seakan menjadi tanda, bahwa pemiliknya memiliki kepribadian baik dan berkemampuan khusus. Jadi tak semua pendekar tingkat menengah bisa memiliki wadah cincin tersebut atau para pendekar sering menyebutnya cincin Semar.Dari namanya pun setiap pendekar menengah, telah mengetahui jika cincin Semar merupakan tanda penghargaan dari seorang guru. Nama itu berasal dari kata 'samar' artinya setiap pendekar dituntut supaya menyamarkan kemam
Sontak saja Mei terkejut, sebab ia tak percaya jika kakek tua di hadapannya membicarakan kitab legenda yang di cari para pendekar."Siapa sebenarnya kakek ini? Mengapa pengetahuannya begitu luas?" gumam Mei dalam batinnya.Ya, tingkat pengetahuan seseorang saat ini sangat di perhitungkan di kalangan pendekar tingkat menengah sampai tingkat terakhir. Hal itu dikarenakan para pendekar tingkat awal belum di berikan pengetahuan tentang keberadaan kitab pusaka.*"Kakek! Jika boleh tahu, dari mana asalmu dan seberapa dalam pengetahuanmu tentang kitab itu?" lanjut Mei, meluapkan rasa penasarannya."Maaf nona! Bagiku, perlu banyak waktu untuk menjelaskan semua pertanyaanmu. Namun, saat ini waktu luang kita hanya sedikit. Mungkin lain kali saja aku bicara panjang lebar denganmu," pungkas Tanu."Me-mangnya kenapa?" timpal Mei.Sayang sekali. Belum sempat memberitahu dari mana asalnya dan siapa dia sebenarnya, Tanu tiba-tiba bergegas pergi. Dengan