Share

Bab 12

Rina menoleh, menatap sengit Teguh. Kemudian, dia berkata dengan jengkel, "Teguh, kamu cumam bocah miskin dari gunung, bisakah berhenti membual?"

Teguh tertegun sejenak. "Aku serius," ujarnya tak berdaya.

"Hehehe ..."

Rina mencibir. Kemudian, berbalik dan bergegas naik ke lantai dua.

Sejak melihat Teguh ketakutan dengan mata kepalanya sendiri hari ini, kesan baik yang tersisa di hati Rina untuk Teguh ikut sirna.

Menurut Rina, berbicara dengan Teguh hanya membuang-buang waktunya saja.

Sore harinya.

Rina tidak pergi ke kantor karena sudah membuat janji untuk bertemu dengan sahabatnya, Shinta.

Shinta punya banyak teman dari berbagai kalangan. Rina memutuskan untuk minta bantuan Shinta.

Teguh juga pergi keluar rumah.

Dia pergi ke kediaman keluarga Yulianto untuk bertemu Yoga. Teguh ingin meminta koin peringatan revolusi.

Yoga adalah seorang veteran pensiunan sersan. Dia memiliki koin yang melambangkan makna revolusi.

Koin ini adalah kunci bagi keluarga Yulianto untuk bisa memenangkan tender Menara Jayandara.

Setelah mendapatkan koin peringatan revolusi tersebut, Teguh meninggalkan kediaman keluarga Yulianto. Dia menghubungi Pak Dhika, walikota Kota Senggigi, "Pak Dhika, apa kamu sibuk?"

"Raja Serigala, apa ada perintah untukku?"

"Tiga jam lagi, datanglah sendiri ke Klinik Obat Husada."

"Baik."

Setelah mendapatkan konfirmasi dari Dhika, Teguh menutup teleponnya. Kemudian, dia menghentikan taksi dan langsung pergi ke Klinik Obat Husada.

Melihat Teguh datang ke Klinik Obat Husada, Hanum yang sedang memeriksa pembukuan langsung berlari menghampiri Teguh. Dia menyapa Teguh dengan manis, "Tabib Kromo."

Lantaran tidak melihat sosok Pak Husada, Teguh pun langsung bertanya, "Nona Hanum, di mana kakekmu?"

"Kakek pergi ke rumah sakit lapangan."

"Tabib Kromo, kalau ada sesuatu, katakan saja padaku. Aku juga bisa membantumu," timpal Hanum.

"Aku ingin mengambil beberapa bahan obat untuk dimurnikan." Teguh menyebutkan beberapa nama bahan obat.

"Serahkan saja padaku."

Hanum bergegas pergi untuk mempersiapkan. Kemudian, dia sendiri juga membantu Teguh.

Tiga jam berlalu, Teguh berhasil membuat beberapa pil berwarna hitam pekat.

Aroma obat yang aneh langsung menyebar memenuhi udara. Baunya yang sengat membuat Hanum untuk tidak menghirupnya. "Tabib Kromo, apa khasiat pil milikmu ini?"

"Ini suplemen yang bisa mengobati luka akibat senjata api dan senjata tajam." Teguh memutar-mutar pil hitam tersebut. Senyuman puas tersungging di sudut mulutnya.

"Tabib Kromo, terluka?" Hanum seketika gugup.

"Bukan aku."

Teguh menjawab dengan acuh tak acuh, "Bawahanku pernah menderita luka tembak. Aku secara khusus meramu pil ini untuknya."

"Tabib Kromo, sudah pernah jadi prajurit?"

"Ya."

"Kalau begitu, bawahanmu itu ..." Hanum sangat penasaran.

Teguh baru berusia 28 atau 29 tahun. Bagaimana mungkin dia bisa menjadi seorang pejabat militer di usia semuda itu?

Pada saat yang bersamaan, terdengar derap langkah kaki.

Seseorang berjalan sampai ke pintu ruang pemurnian obat. Dia mengetuk pintu yang setengah terbuka dengan lembut.

Begitu menoleh ke belakang, Hanum langsung terkejut.

Orang itu ternyata Dhika, walikota Kota Senggigi.

Dhika tersenyum tipis dan berkata, "Akulah bawahannya."

Jeder!

Kata-kata Dhika bagaikan guntur yang menggema di telinga Hanum untuk waktu yang lama.

Pak Dhika, walikota Kota Senggigi, pemimpin besar yang berkuasa di satu wilayah ini ternyata bawahan Teguh!

Hanum menatap Teguh dengan tidak percaya.

Rasa penasarannya semakin menjadi-jadi.

Kehidupan luar biasa macam apa yang sebenarnya dijalani Tabib Kromo ini?

Melihat Hanum yang termangu-mangu, Teguh langsung mengingatkannya, "Nona Hanum, maukah kamu membuat sepoci teh hangat untuk menjamu Pak Dhika?"

"Ah!"

"Maafkan aku."

"Pak Dhika, mohon tunggu sebentar. Saya akan segera membuatkan teh untuk Anda."

Setelah Hanum meninggalkan ruang pemurnian obat, barulah Dhika menghampiri Teguh dan berkata dengan hormat, "Raja Serigala, ada perlu apa mencariku?"

"Aku lihat luka lamamu belum sembuh. Jadi, aku memurnikan beberapa pil untukmu."

"Terima kasih, Raja Serigala."

Dhika menerima pil itu dengan kedua tangannya. Tiba-tiba saja, dia terharu.

Keterampilan medis Raja Serigala tidak ada bandingannya di dunia ini.

Dengan pil yang dimurnikan oleh Raja Serigala ini, penyakit yang telah mengganggunya selama bertahun-tahun ini pasti akan sembuh total.

Setelah menyerahkan pil itu kepada Dhika, Teguh mengubah topik pembicaraan mereka. "Pak Dhika, aku dengar proyek Menara Jayandara belum diputuskan?"

"Benar."

Setelah terdiam sejenak, Dhika pun berterus-terang, "Keluarga Yulianto dan keluarga Casugraha sedang bersaing untuk mendapatkan proyek tersebut. Saat ini belum ada keputusan tentang siapa yang akan bertanggung jawab."

"Pak Dhika, aku punya hadiah untukmu. Ini dari keluarga Yulianto."

Teguh mengeluarkan koin peringatan revolusi dan meletakkannya di tangan Dhika. "Koin ini milik Yoga Yulianto, kakek keluarga Yulianto. Yoga dulunya adalah seorang sersan yang luar biasa."

Melihat koin revolusi tergeletak di telapak tangannya dan mendengar apa yang dikatakan Teguh, Dhika pun tiba-tiba menyadarinya. "Raja Serigala, aku mengerti."

"Aku akan memerintahkan orang-orang di bawahku. Proyek Menara Jayandara akan ditangani oleh keluarga Yulianto!"

"Ya."

Teguh menimpalinya dan kemudian berkata, "Ada satu hal lagi. Aku dengar besok kamu akan mengadakan perjamuan makan malam untuk memperingati ulang tahunmu. keluarga Yulianto juga ingin menghadirinya. Kamu atur saja."

"Sepele itu, nanti aku akan memberi tahu penjaga pintu. Keluarga Yulianto tidak perlu undangan untuk menghadiri pestaku."

Setelah berpikir sejenak, Dhika melanjutkan bertanya dengan hati-hati, "Raja Serigala, aku tahu kalau waktumu sangat berharga. Tapi, apa kamu berkenan untuk menghadiri pesta ulang tahunku?"

"Kamu bisa mengirim mobil untuk menjemputku besok."

Teguh tidak menolak. Lagi pula, sekarang dia sedang menganggur. Jadi, sesekali datang juga tidak apa-apa.

Dhika menjadi sangat antusias.

Suatu kehormatan besar dalam hidup Dhika, Raja Serigala bisa datang ke pesta ulang tahunnya.

Pada saat itu, dia bisa pamer di depan rekan-rekan seperjuangannya dulu.

Setelah meminum teh buatan Hanum, Teguh tidak lagi berlama-lama. Dia bersiap menumpang mobil Dhika dan meninggalkan Klinik Obat Husada.

Dengan hormat, Dhika mengundang Teguh untuk masuk ke dalam mobil.

Adegan ini mengejutkan semua orang yang lewat.

Walikota Kota Senggigi yang berkuasa di wilayahnya tersebut, ternyata bersikap sangat hormat kepada seorang pemuda.

Siapakah gerangan pemuda ini?

Setelah berpisah dengan Rina, Shinta kebetulan melewati Klinik Obat Husada dan melihat adegan tersebut dengan mata kepalanya sendiri.

"Ini ... bagaimana ini mungkin?"

"Bukankah dia bocah miskin yang berasal dari gunung itu?"

"Kenapa Pak Dhika memperlakukannya dengan begitu hormat?"

Shinta sangat terpukul. Dia menatap mobil Pak Dhika yang menghilang di ujung jalan dengan tidak percaya.

Butuh waktu lama bagi Shinta sebelum akhirnya kembali ke akal sehatnya.

Dengan sepatu hak tingginya, Shinta masuk ke dalam Klinik Obat Husada. Hal pertama yang dia tanyakan begitu membuka mulut adalah, "Permisi, bolehkah aku bertanya? Siapa pria barusan?"

Hanum baru saja duduk untuk memeriksa pembukuannya. Begitu mendengar seseorang bertanya, dia langsung mendongak dan menatap Shinta untuk sesaat. "Maksudmu, Tabib Kromo?" tanyanya polos.

"Tabib Kromo dulu pernah menjadi prajurit. Pak Dhika adalah mantan bawahannya."

"Mantan ... mantan bawahan ..."

Shinta terhuyung-huyung dan hampir jatuh ke lantai.

Bukankah Rina sudah menyelidiki informasi mengenai Teguh?

Jelas-jelas Teguh adalah seorang bocah miskin dari pegunungan tandus. Bagaimana dia bisa menjadi atasan Pak Dhika?

Tidak.

Tidak mungkin!

Shinta tidak bisa menerima kenyataan ini. Dengan gemetar, dia mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi nomor Rina.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status