Share

Lelaki Penyembuh Luka
Lelaki Penyembuh Luka
Penulis: Harumi

Bab. 1

Di bawah langit yang mendung seorang pria berpakaian serba hitam tengah berdiri di depan sebuah pusara. Wajahnya tampak sangat sedih tatapan matanya memancarkan luka yang begitu dalam. Kedua telapak tangannya mengepal dengan begitu kuat hingga otot di punggung tangannya menonjol dengan jelas.

            Air matanya luruh bersamaan dengan air hujan yang membasahi tanah, rasa sakit, kecewa, serta amarah menjadi satu. Si pria meraih sebucket bunga mawar putih dan meletakkannya di depan batu nisan sembari tersenyum pahit.

            Hujan turun begitu deras seorang pria datang dan memayunginya namun, sorot mata tajam itu seketika berbalik dan menghentikan langkah Sebastian. Emilio lebih memilih membiarkan air hujan membasahi seluruh tubuhnya.

            Sebastian tidak pernah mengerti dengan apa yang dirasakan oleh Bosnya itu. Ia hanya mematung sembari memegang payung hitam di samping sang bos.

            “Aku tidak ada di sana. Di saat aku pulang ke rumah tubuhmu sudah terbakar habis. Mereka tidak memberikan apa pun. Tetapi mereka merampas semuanya dariku. Dan sekarang tidak ada orang yang dapat aku percaya.”

            “Tuan Emilio, sudah waktunya kita kembali.”

            “Uhm,” Emilio mengganggukkan kepalanya dan beranjak pergi meninggalkan area pemakaman.

            Emilio berjalan begitu cepat hingga sebastian berusaha mengejarnya dan memayunginya dengan susah payah.

            “Sebastian, mengapa luka hati ini kian menganga seiring waktu?”

            Mendengar hal itu langkah kaki sebastian terhenti, ia tidak menyangka luka masa lalu itu kian menjerat dan menjebak Bosnya hingga sekarang. Tubuh sebastian mematung jika mengingat hal mengerikan itu.

            “Sebastian, cepatlah. Aku kedinginan,” teriak Emilio.

            “Ah iya,” suara itu menyadarkannya dari lamunan.

            Sebastian melajukan mobil Audi A8 meninggalkan area pemakaman membelah jalanan yang diguyur hujan. Tak banyak mobil yang melintas karena hujan yang begitu lebat. Emilio menyandarkan tubuhnya yang basah pada kepala kursi mobil.

            Emilio memejamkan kedua matanya berusaha meredam sedikit amarah yang tersisa di hatinya.

***

            Di sebuah restoran seorang wanita muda tengah bekerja begitu keras, restoran tempatnya bekerja sangatlah ramai karena jam pulang kantor. Banyak orang yang mampir ke restoran untuk makan maupun menghilangkan rasa penat setelah seharian bekerja.

            Peluh membasahi wajahnya yang cantik, dari raut wajahnya sudah menunjukkan bahwa dia sudah sangat kewalahan tetapi ia tidak bisa meninggalkan para pelanggan yang bergantian masuk ke restoran.

            “Elijah, kemarilah!” teriak seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah pemilik restoran tempatnya bekerja.

            “Baik Bos,” Elijah segera menghampirinya.

            “Cepat bersihkan panggangannya, tamu-tamu sudah menunggu.”

            Elijah menatap pada wajan pemanggang yang sudah menumpuk, ada rasa lelah yang tak terelakkan tetapi ia harus membersihkannya dengan segera. Dengan sedikit enggan ia menuju tempat pencucian lalu menggosok panggangan itu secara perlahan dan hati-hati.

            Waktu sudah menunjukkan pukul 22:00 malam tetapi Elijah belum juga menyelesaikan tugasnya. Keringat terus memenuhi dahinya. Rasa lelah itu semakin terasa di tubuhnya yang mungil.

            “Elijah, kenapa lama sekali? Para pelanggan sudah menunggu! Dasar tidak becus,” selesai berteriak bos pun pergi meninggalkan Elijah.

            Elijah sedikit sakit hati walau sebenarnya ia sudah terbiasa dengan makian seperti itu tetapi tetap saja itu sangat menyakitkan baginya. Elijah menangis dalam diamnya sembari terus menggosok wajan penggorengan yang sulit dibersihkan karena noda bumbu yang sudah mengering.

            Sesekali tangan kecilnya mengusap kasar pipi yang sudah basah oleh air matanya yang perlahan terus mengalir sambil terus menggosok wajan hingga semuanya selesai.

            Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 22:30 malam sudah waktunya ia pulang dan berganti sip dengan pegawai lain. Elijah bersiap untuk pulang dan seperti biasanya sebelum ia pulang ia akan membawa sisa makanan serta kopi instan untuk dibawa pulang olehnya.

            Elijah berjalan menuju stasiun terdekat untuk sampai ke rumahnya yang berada di pinggiran kota. Di dalam kereta Elijah berdiri dengan berpegangan pada hand strap sorot matanya begitu lelah dan kosong.

            Elijah turun dari kereta dan kembali berjalan menuju rumahnya yang tidak jauh dari stasiun kereta di mana ia turun. Lingkungan yang sepi tidak membuat Elijah gentar pulang di jam-jam seperti ini.

            Di sebuah rumah usang Elijah masuk ke dalam. Semuanya tampak gelap seakan tidak ada penerangan sedikit pun di dalam sana. Ia meletakkan tasnya di atas meja sedangkan dirinya meraih sebuah gelas dan mengambil dua sachet kopi lalu menuangkan air panas ke dalamnya dan membawanya ke meja.

            Elijah mengeluarkan makanan sisa yang dibawa olehnya dari restoran dan memakannya perlahan dengan sesekali meminum kopinya.

            “Jadi, setidaknya kau bisa makan. Mengapa tidak menghidupkan lampu?” seorang pria tengah duduk di dalam kegelapan tanpa dihiraukan oleh Elijah.

            “Kau berpura-pura tidak di rumah?”

            Mendengar hal itu, Elijah segera melemparkan segulung uang pada si pria yang kini telah menampakkan dirinya setelah lampu belajar dinyalakan.

            “Kau terus memberiku sedikit seperti ini. Apa maksudmu kau ingin sering menemuiku?”

            Elijah tidak menanggapi perkataan si pria, ia masih terus melanjutkan makan nya tanpa terganggu sedikitpun oleh kehadiran dirinya.

            “Kau bekerja di mana? Kau tidak bekerja?” si pria terus bertanya hingga membuat Elijah kesal.

            “Sudah ku bilang, aku sangat benci ketika orang mengganggu ruang pribadiku.”

            “Lagi, katakan padaku semua yang tidak kau suka.”

            “Mengajakku berbicara ketika sedang makan,” jawabnya.

            “Baiklah, aku hanya akan melakukan hal itu.”

            Si pria beranjak pergi meninggalkan rumah Elijah, sedangkan Elijah hanya termangu, entah apa yang dipikirkan olehnya. Perlahan kaca-kaca di dalam bola matanya luruh membasahi wajah lesu nya. Ia menangis tertahan setiap kali mengingat betapa pahit hidupnya sekarang.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Andi Ufriyanto
good ceritanya
goodnovel comment avatar
Muhamad Ikhsan
di awal udah nyesek gini.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status