Seorang perawat berlari menerobos kerumunan orang yang berada di depan kamar perawatan Mohzan. Dalam ruangan yang penuh sesak itu hanya tercium satu aroma saja yaitu aroma kesedihan.
Para petugas keamanan bahkan polisi tidak sanggup menahan massa yang datang bagaikan air bah yang membanjiri sebuah jurang. Ruangan bahkan halaman dan sampai ke jalan raya, orang datang berbondong-bondong dengan wajah penuh duka. Macet yang cukup panjang terjadi diruas jalan didepan rumah sakit itu.Tiada senda gurau, yang terdengar hanyalah isak dan tangis. Yang terlihat hanyalah air mata yang berderai bercucuran.
Para bapak dan ibu merasa kehilangan anaknya. Kakak kehilangan adiknya dan adik kehilangan kakaknya. Itulah yang tengah dirasakan sebagian besar penghuni bumi.“Tolong beri saya jalan...! Tolong beri saya jalan...!” Suster itu terus menerobos pekatnya kerumunan.Dengan susah payah perawat itu sampai diruang dokter. “Dokt“Mona... Monaaa...!!”“Coba lihat ini Mooon...!” Santi menggedor pintu kamar Ramona.Semenjak meninggalkan Jakarta kemarin, Ramona terlihat murung dan memilih mengurung diri di kamarnya.Santi dapat merasakan apa yang tengah dirasakan putrinya itu. Kenyataan yang ia lihat di rumah sakit dua hari yang lalu telah memukul semangatnya.Dengan mata kepala sendiri mereka berdua menyaksikan Khalista begitu akrab dengan keluarga Mohzan. Gadis itu juga memperlakukan Mohzan bagaikan kekasihnya.Selain itu, Danar juga nampak bersama mereka disana. Sepertinya hubungan baik sudah terjalin diantara dua keluarga itu. Tentu saja Ramona dan Santi mengira dua keluarga itu sudah terikat dan merestui hubungan Mohzan dengan Khalista.Ramona dengan lapang dada telah mengikhlaskan impiannya berpaling kepada Khalista. Namun disaat ia mulai bisa menerima kenyataan itu, beberapa jam yang lalu justru ia melihat kenyataan yang lebih membuat hatinya semakin
Mohzan sudah kembali berkumpul dengan keluarganya. Mama dan nenek serta adik-adiknya. Untuk sementara Mohzan meminta agar ia diberi waktu untuk berkumpul dulu dengan keluarganya. Dirinya belum mau ditemui awak media dari manapun.“Alhamdulillah Nak.. sekarang Mohzan sudah sehat kembali.” Desma menyendokkan nasi goreng ke piring Mohzan sebagai menu sarapan mereka pagi itu.Ibu Aisyah tersenyum memandangi cucunya. Ia tak putus-putusnya bersyukur karena Mohzan telah diberikan sebuah keajaiban dari tuhan.“Iya Ma, kita harus bersyukur dengan umur yang masih diberikan Allah kepada kita. Semoga kita bisa memanfaatkannya lebih baik lagi.” Jawab Mohzan sambil mengumpulkan nasi dalam sendok untuk suapan pertamanya.“Neeek... Nenek kok gak makan Nek. Dari tadi nenek mandangin Mohzan terus.” Mohzan menegur ibu Aisyah yang tidak bosan-bosannya memandang kearahnya.Sampai detik ini ibu Aisyah belum seutuhnya percaya kalau Mohzan masih hidup. Ibu Aisyah takut ini hanyalah seb
“Yuda senang banget abang pulang lagi..!” Yuda bergayut manja dilengan Mohzan.“Pasti Yuda pengen Abang beliin bakso lagi kaan...!” Mohzan menggoda adik terkecilnya itu.Arya, Jery dan Dika tersenyum simpul mendengar percakapan Mohzan dengan Yuda. Mereka sudah hafal tabiat Mohzan yang suka sekali mencandai adik-adik kecilnya.Yuda memang paling suka makan bakso.“Abang kok tahu aja sih Bang apa yang Yuda mau.” Jawab anak itu polos.“Hahahhaha...” Mohzan tidak dapat menahan geli hatinya. Ia tertawa terpingkal-pingkal.‘Ya udah kalau gitu Abang pulang dulu.” Jawab Mohzan pura-pura mau berdiri.“Kalau Abang pulang sekarang terus beli baksonya kapan Bang..?” Yuda tidak mau kalah. Ia terus memepet Mohzan.“Hahahhahaha...” Anak-anak yang lain ikut tertawa. Mereka sangat bahagia bisa berkumpul lagi dengan Mohzan.“Bang, pinjam kunci motor Bang..!&rdqu
Mohzan dan Arya berboncengan dengan sepeda motor. Tujuan mereka adalah rumah sakit tempat Chen dirawat. Kedua pemuda yang ganteng dan gagah itu melaju dengan kecepatan sedang.Mereka baru saja mendapat kabar kalau ada sedikit infeksi dilambung Chen pasca operasi untuk mengeluarkan peluru beberapa minggu lalu. Untuk itu Chen belum diperbolehkan pulang.Satu jam kemudian mereka berdua sudah sampai dirumah sakit dan segera memasuki gedung besar itu.Beberapa wartawan sibuk jeprat jepret dan mengajukan beberapa pertanyaan.“Halo Abang Mohzan, anda sudah terlihat pulih kembali.” Seorang wartawan menyapa dan nampaknya ingin memulai sebuah wawancara.“Seperti yang kita ketahui Tuan Junara dan keluarganya telah menghilang setelah memindah kuasakan semua hartanya kepada Alpan cucunya. Sepertinya ada yang janggal dalam kejadian ini. Kira-kira apa tanggapan anda Bang Mohzan..??”Mohzan dicegat dengan pertanyaan yang kini tengah menjadi tren
“Apa rencanamu hari ini Juna..?” Tuan Besar Sudarta sudah duduk disebuah kursi menghadap meja makan yang sangat sederhana.Ia tengah menyendok nasi putih yang ditemani tahu dan tempe goreng yang baru saja dihidangkan Tuan Junara dihadapannya.“Juna mau mencari pekerjaan Pa..! Sudah seminggu ini Juna hanya berdiam diri dirumah tanpa melakukan kegiatan apa-apa.” Jawab Tuan Junara sambil menenteng sebuah piring yang berisi menu sarapan mereka pagi itu.Tuan Junara menarik sebuah kursi lalu duduk berhadapan dengan Tuan Besar Sudarta. Mereka memulai aktivitas sarapan dengan bersemangat.“Bagus Juna...! Kita harus memulai kembali dari awal. Jatuh tidak akan membuat kita hancur dan rapuh.” Tuan Besar Sudarta terus memompa semangat putranya.Tiba-tiba..“Semua kesialan ini terjadi selalu dikarenakan si Desma itu. Kalau bukan karena kehadirannya dengan anak haramnya itu tentu sekarang kita tidak akan begini.”
“Maa...!” Mohzan mendekati Desma yang sedang duduk sendiri di sofa.“Iya, ada apa Nak..!” Desma menjawab panggilan putranya itu dengan lembut.“Bolehkah Mohzan menanyakan sesuatu kepada Mama..?” Mohzan menatap wajah ibunya itu setelah ia duduk disamping Desma.“Tentu boleh dong sayaang..! Mohzan mau bertanya apa..?”Desma bersiap untuk mendengarkan pertanyaan anaknya. Kalau Mohzan bertanya tentang siapa sebenarnya Tuan Junara, ia sudah siap untuk menjawabnya.“Apa betul Bapak Junara itu ayah kandung Mohzan Ma..?”Pertanyaan Mohzan tidak membuat Desma kaget. Ia sudah menduga bahwa pertanyaan inilah yang akan diajukan putranya kepadanya.Setelah menghela nafas panjang Desma bersiap menjawabnya."Iya Mohzan, Mas Junara adalah ayah kandungmu Nak. Mama tidak pernah menikah selain dengan Papamu Junara.” Jawab Desma mantap.Hatinya plong karena ia telah mengatakan yang ses
“Mohzan mohon maaf Buu..! Gara-gara menyelamatkan Mohzan Ibu harus kehilangan putra Ibu Pedro.” Mohzan menunduk menyalami dan mencium punggung tangan mama Pedro.“Tidak Nak..! Jangan bicara seperti itu. Pedro sekarang sudah bahagia bersama Bapa di syurga. Kita semua harus ikut bahagia.” Ujar mama Pedro mengusap bahu Mohzan yang masih mencium tangannya.Ibu itu malah tersenyum bahagia. Keyakinan yang ia miliki bisa melebur ego yang kebanyakan dimiliki manusia.Wajahnya yang berkulit hitam terlihat manis karena balutan budi yang kemilau. Hanya ketenangan yang ia tampilkan. Bukan keresahan apalagi kemarahan.“Mohzan berhutang nyawa kepada Pedro Bu.” Mohzan tergugu sedih. Ia terbayang kebersamaan yang ia lalui bersama Pedro disaat pemuda itu masih hidup.“Jangan bicara begitu Nak. Kehidupan dan kematian itu adalah kemauan tuhan. Sebagai manusia kita harus meyakini itu.” Kembali dengan senyum ikhlasnya ibu itu menja
Jeruji besi berwarna hitam pekat dan kokoh kini sudah menjadi pemandangan rutin Tuan Satya setiap hari.Hampir sebulan dirinya menempati kamar tahanan, dan kini ia tengah menunggu proses pengadilan.Tuan Satya tahu bahwa hukuman berat bahkan mungkin hukuman mati tengah menunggunya. Diluar sana terus dikumandangkan massa yang mengecam kekejaman dirinya, agar pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepadanya.Dirinya sudah dianggap benalu didunia ini. Ia sangat dibenci oleh masyarakat bumi.“Aku pantas menerima semua ini...! Aku pantas untuk dibenci..!” Tuan Satya bergumam sendiri dan menangis tergugu.Prilakunya yang sangat tidak baik selama ini telah memukul hatinya dalam sebuah rasa penyesalan yang dalam. Namun seperti kata pepatah, 'pikir itu pelita hati, sesal kemudian tiada berguna’. Dan Tuan Satya adalah salah satu contoh dari sekian banyak manusia yang tidak mempedomani pepatah lama yang penuh makna tersebut.“Saudara Satya...!