Saat Gallen merasa dirinya di ambang napas terakhir, dia membayangkan senyuman hangat ibunya. Selanjutnya, semua terlihat gelap. Gallen kehilangan kesadarannya.
Menyadari tubuh Gallen tak lagi bergerak, Codet dan anak buahnya serentak menghentikan serangan mereka. Salah satu anak buahnya berjongkok. Mendekatkan jari pada di bawah lubang hidung Gallen.
“Dia masih hidup, Bos!”
Codet mengibaskan tangan. “Tugas kita hanya memberinya pelajaran, bukan menghabisinya.”
“Tapi, Bos—”
“Apa kau lupa? Kali ini kita hanya diminta untuk melakukan tindak kekerasan, bukan pembunuhan!”
“Bagaimana kalau dia melaporkan kita setelah dia sadar?” tanya anak buahnya yang lain.
“Dia bahkan mungkin tidak mengenali dirinya sendiri saat bangun nanti. Apa kau pikir dia akan mengingat kita?”
Sebenarnya Codet sedikit kesal dengan keceriwisan dua anak buahnya itu. Akan tetapi, mengingat keduanya baru saja bergabung beberapa hari yang lalu, Codet berusaha menekan kekesalannya.
“Kalau kalian begitu mencemaskannya, kalian boleh tinggal untuk menemaninya.”
Mendengar saran Codet, wajah dua anak buahnya itu memucat. Mereka paham makna tersembunyi di balik kata-kata bernada datar yang dilontarkan Codet.
“Ti–tidak, Bos!”
Keduanya bergegas mengayun langkah panjang, menyusul Codet dan rekan-rekan mereka yang lain. Meninggalkan Gallen tanpa rasa belas kasihan.
Sementara itu, di kediaman keluarga besar Priambudi, Guntur mendorong Ara ke atas sofa di ruang tamu.
“Apa-apaan ini, Pa?!” tegur Nyonya Priambudi, menghambur untuk menahan kepala Ara yang nyaris membentur sandaran sofa dengan keras.
“Ini semua karena kamu terlalu memanjakannya!”
Suara Guntur menggelegar. Raut mukanya merah padam. Jantungnya ingin meledak saking kuatnya kemarahan yang menguasai hati dan pikirannya.
Dia tidak pernah menyangka anak gadis semata wayangnya akan berani melarikan diri dari rumah, tepat ketika dia sedang bersiap untuk menyambut kedatangan keluarga Gustav—salah satu pengusaha terkaya di kota itu.
“Lihat! Dia bahkan berani mempermalukan aku di hadapan Tuan Gustav.”
Guntur berpaling dan molotot pada Ara. “Apa kau ingin membuatku jatuh bangkrut?”
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Ara begitu kalimat Guntur berakhir.
Ara merasakan pipinya panas dan perih. Cap lima jari tercetak jelas papa kulitnya yang bening. Akan tetapi, hatinya jauh lebih sakit dari itu. Selama ini dia tumbuh dengan sendok perak di mulutnya. Dia tidak pernah menerima perlakuan kasar. Ini untuk pertama kalinya dia merasakan pukulan dari seseorang yang memanjakannya sedari kecil.
Silvana menjerit histeris mendapati kenyataan tak terduga tersebut. Dia bergegas mengecek kondisi Ara. Dielusnya pipi merah Ara.
“Sayang, apa ini sangat sakit?”
Ara tak menyahuti pertanyaan mamanya. Hanya air matanya yang terus meluruh. Di balik genangan kristal bening itu, tatapan penuh benci tertuju pada Guntur. Dengan tetap membungkam mulut, Ara melarikan diri dari ruang tamu.
“Ara!”
Ara tak menghiraukan panggilan Silvana. Dia terus berlari ke lantai atas. Masuk ke kamar dan membanting pintu dengan kekuatan penuh. Suaranya berdentum kencang hingga terdengar ke ruang tamu.
Silvana mendelik kepada Guntur. “Kalau terjadi sesuatu yang buruk pada Ara, aku tidak akan pernah memaafkanmu!”
“Dia tidak akan melakukan hal senekat itu!”
“Apa kau lupa? Saat kecil Ara pernah nekat melompat dari jendela hanya karena kau memaksanya untuk ikut les matematika,” semprot Silvana, dengan raut muka sedingin es. “Apa kau pikir dia tidak akan berani mengulanginya?”
Wajah merah padam Guntur berubah pucat seketika. Bagaimana mungkin dia melupakan kejadian mengerikan itu? Itu adalah saat-saat yang paling mengerikan dalam hidupnya. Dia nyaris kehilangan putri kesayangannya.
Untungnya, Ara hanya melompat dari lantai dua dan mendarat di atas kumpulan tanaman rambat yang sangat rimbun. Jika tidak, Ara pasti mengalami cedera lebih dari sekedar luka lecet.
“A-aku … aku terbawa emosi.” Guntur gugup. Peluh dingin mengucur di keningnya.
“Apa kau akan terus mematung di sana?” Silvana menginjak undakan tangga dengan jengkel, melihat Guntur dengan tatapan tajam.
Guntur tersadar dari linglungnya, lalu berlari mendua katak menyusul istrinya ke kamar Ara.
Silvana mengetuk pintu kamar Ara berulang kali sambil membujuk, “Ara, Sayang … buka pintunya dong. Mama mau bicara.”
Setelah berkali-kali rayuannya tak berhasil menggerakkan hati Ara untuk membuka pintu, Silvana mulai cemas. Ketukannya tak lagi pelan, tetapi berganti gedoran yang menggila.
“Ara! Buka pintunya sekarang!” Guntur ikut berteriak. Suaranya sedikit bergetar. Pikiran buruk membuat keringatnya kian mengalir deras.
“Papa jahat! Aku benci Papa!”
“Papa tahu papa salah,” bujuk Guntur. “Buka pintunya! Kita bisa bicara baik-baik.”
Hening. Diamnya Ara menimbulkan kecemasan yang lebih besar dalam diri Guntur dan istrinya. Keduanya saling lempar pandang. Detak jantung mereka bergemuruh.
***
Silvana menempelkan kuping ke daun pintu, mencoba menangkap suara dan gerakan dari dalam kamar Ara. “Dobrak pintunya, Pa!” Silvana tak mampu lagi menahan kekhawatirannya. Seperti telah dihipnotis, Guntur mengambil ancang-ancang. “Mundur!” Silvana menjauh dari pintu. Mulutnya komat-kamit, melafal doa semoga putrinya tidak melakukan hal-hal gila yang dapat membahayakan nyawa. Entah berapa kali Guntur menendang pintu sekuat tenaga. Kakinya terasa sakit. Akan tetapi, memikirkan keselamatan putrinya di dalam sana, Guntur mengabaikan semua rasa sakit yang dideritanya. Begitu pintu terbuka, Guntur merangsek masuk dan berlari ke jendela. Ara berdiri mematung di sana. Pandangannya jauh menjangkau cakrawala. Guntur membetot tangan Ara. “Jangan gila, Ara! Nyawamu lebih berharga daripada bajingan tak tahu malu itu!” Ara memandang papanya dengan sorot mata jengkel. “Siapa yang Papa sebut bajingan?” “Siapa lagi kalau bukan lelaki yan
“Menyelamatkan nyawa seseorang tidak perlu mempertimbangkan dia orang baik atau jahat. Itu tanggung jawab dia dengan Tuhan. Kita hanya perlu melakukan kewajiban kita sebagai sesama manusia.” Zahari mengelus kepala Bimo. “Percayalah! Tidak ada kebaikan yang sia-sia.” Meskipun Bimo tak sepenuhnya mengerti apa yang dikatakan kakeknya, dia tidak berani membantah. Terlebih ketika gerimis berganti titik hujan. Lebih baik secepatnya membawa lelaki asing itu ke rumah sakit. Keluar dari gang, Zahari mengembuskan napas kencang. Jalanan bermandikan genangan air. Tidak mungkin dia mengantar Gallen ke rumah sakit hanya dengan menggunakan gerobak tua miliknya. Kondisi lelaki itu pasti akan memburuk mengingat jarak yang lumayan jauh. Zahari mengedarkan pandangan berkeliling. Sebuah taksi melintas. Pemandangan itu secara refleks menggerakkan tangan keriput Zahari ke saku. Selembar uang dengan nominal dua puluh ribu lusuh kini berada di genggamannya. Helaan na
Zahari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia tidak mengenal Gallen. Bagaimana mungkin dia bisa menghubungi keluarganya? Akan tetapi, dia tidak berani untuk memberitahu perawat galak itu tentang kenyataan yang sebenarnya. Melihat Zahari diam saja, perawat itu berlalu dengan raut muka terlihat kesal. Hal yang dibencinya saat bertugas di ruang IGD adalah melayani pasien dari kalangan ekonomi kelas bawah. Kehadiran mereka hanya menyebabkan rumah sakit menderita kerugian. Sudah tak terhitung berapa banyak pasien yang kabur setelah mendapatkan tindakan dokter dan perawatan tanpa membayar. Benar-benar menjengkelkan! Berkaca dari pengalaman buruk tersebut, perawat itu memilih untuk tidak melaksanakan tugasnya dan pergi begitu saja. “Om harus menolong dia dulu sebelum pergi.” Bimo menarik tepi baju perawat itu. Dia memasang wajah memohon dengan bibir yang bergetar lantaran kedinginan. “Singkirkan tangan kotormu itu dari tubuhku!” Perawat it
Satu jam kemudian, di sebuah rumah tua, ponsel Falisha berdering nyaring. Falisha meraih benda pipih itu dengan gerakan malas. Dia baru saja pulang dari kampus. Tubuhnya sangat lelah. Seharusnya dia bisa pulang lebih awal kalau saja dosen yang mengajar mata kuliah terakhir tidak memundurkan jadwalnya. Suara Falisha terdengar lesu saat dia mengucap salam. Namun, beberapa detik kemudian dia terlonjak bangkit. “Apa? Rumah sakit? Ya. Aku segera ke sana.” Falisha melupakan rasa lelahnya dalam sekejap. Buru-buru dia mengganti pakaian basahnya, lalu berlari keluar. “Mau ke mana, Faly? Bukankah sekarang saatnya makan malam?” Teguran Ghifari mengerem langkah Falisha. Tangannya batal membuka pintu. “Maaf, Ayah. A–aku harus ke rumah sakit sekarang.” Falisha menjatuhkan pandangan ke lantai, tak berani menantang bola mata ayahnya. Dia takut lelaki itu akan membaca kecemasannya. “Rumah sakit? Apa kau merasa tidak sehat?” Ghif
“Semakin cepat Bapak menandatangani surat itu, semakin baik bagi kondisi kesehatan anak Bapak.” Teguran Hellen mengembalikan kesadaran Ghifari. Dia tidak punya pilihan selain menyetujui tindakan operasi untuk Gallen. Dia ingin Gallen tetap hidup, walaupun dia harus menjual organ tubuhnya untuk melunasi biaya pengobatan Gallen. Tanpa menunda lagi, Ghifari membubuhkan tanda tangannya pada lembaran kertas yang disodorkan perawat. Satu jam sudah waktu berlalu setelah Gallen selesai menjalani operasi. Kelopak matanya masih tertutup rapat. Falisha duduk di samping ranjang Gallen dengan perasaan gelisah. Berapa lama dia harus menunggu kakaknya itu sadar? Ghifari mengelus kepala Falisha. “Sebaiknya kau pulang dan istirahat. Percayalah, kakakmu akan baik-baik saja.” “Tapi, Ayah … dia sudah sangat lama tertidur. Bagaimana kalau—” “Hentikan omong kosong itu! Dia lelaki yang kuat. Pulanglah! Dia pasti lapar saat terbangun nanti.” G
Sebelum Gallen mampu mencerna rangkaian kalimat yang terlontar dari bibir kakek gurunya itu, sebuah tendangan berkekuatan penuh mendarat di perutnya. Gallen terlontar ke udara dan terbang jauh dengan jeritan melengking tinggi. Dia tak menyangka kakek gurunya akan tega melakukan hal sekejam itu kepadanya. Tendangan pada perutnya mengalirkan hawa yang menyebabkan seluruh uratnya menggeliat. Organ dalam tubuhnya seakan berlari ke sana kemari, tak tentu arah. Entah berapa jauh lagi dia melayang, melintasi bumantara. Sementara di atas ranjang rumah sakit, tubuh Gallen terguncang. Perutnya terangkat dari permukaan tempat tidur. “Kakak!” Falisha yang jatuh tertidur berteriak syok mendapati gerakan Gallen yang tiba-tiba. Wajah piasnya semakin pucat laksana selembar kertas basah. “Dokter! Tolong!” Falisha memekik panik. Saking cemasnya, dia berlari keluar untuk mencari pertolongan. Dia lupa bahwa dia hanya perlu menekan bel di sisi kepa
“Ah, eh … ya. Aku baik-baik saja.” Gallen gelagapan setelah mengumpulkan kembali segenap kesadarannya. Senyuman canggung menghias wajah pucatnya. Hellen memaksakan sudut bibirnya menjungkit naik, membentuk senyuman ramah, khas seorang dokter. “Apa yang Anda rasakan?” Gallen menggerakkan jari-jari tangan dan kakinya. Semua terasa normal. “Hanya sedikit pegal.” Hellen pindah ke sisi Gallen. “Itu wajar. Anda tidak sadarkan diri selama tiga minggu,” beritahunya sambil menempelkan stetoskop pada dada Gallen. ‘Selama itu?’ Melihat Hellen sedang berkonsentrasi mendengar detak jantungnya, Gallen menyimpan pertanyaan itu untuk diri sendiri. Ia tak menyangka serangan para preman bayaran itu bisa melumpuhkan dirinya untuk waktu yang cukup lama. “Jika tidak ada keluhan, Anda bisa pulang sore ini.” “Apa itu artinya kakak saya sungguh baik-baik saja, Dok?” Wajah Falisha berbinar cerah. Dia tidak mampu menyemb
Tiga orang anak buah Codet bergerak cepat melaksanakan perintah sang bos. “Ja–jangan, Bos .…” Ghifari merengek tak berdaya ketika kaki tangan Codet keluar dari kamar tidurnya. Salah satu dari mereka mengancakkan dokumen penting kepemilikan rumah dengan seringai penuh kemenangan sekaligus mengejek. Codet merampas dokumen di tangan anak buahnya dan membolak-balik berkas itu sekilas. “Bagus! Bos Besar pasti senang menerima ini,” kekehnya, merasa bangga atas kinerja gerak cepat anak buahnya. Perhatiannya berbalik kepada Ghifari. “Dasar bodoh! Kalau kau menyerahkan dokumen ini dari awal, aku tidak perlu menyiksamu.” Codet mengangkat kakinya dari dada Ghifari setelah memberikan tekanan memutar, membuat Ghifari semakin meringis. Begitu badannya bebas dari injakan penagih utang itu, Ghifari bergegas memburu Codet. Kedua tangannya melingkar pada betis Codet. Menahan langkah lelaki itu agar tidak pergi dari rumahnya. “Tolong, jan