POV ALEX
Sejujurnya aku tak tahu siapa sebenarnya diriku, bahkan siapa orang tuaku. Hanya orang-orang di sekitar memanggiku dengan nama Alex. Dari kecil aku hidup di jalanan, menurut orang yang menemukanku, mengasuhku dan bahkan saat umurku enam tahun dia menjualku. Saat aku bayi, dia menemukanku tergeletak begitu saja di emperan sebuah toko kelontong di pinggir jalan. Aku tak menyangkal akan kebaikannya yang sudah merawatku dari bayi, namun kadang aku merasa kesal dan marah bila ingat dia yang sudah memperjual belikanku seperti barang dagangan.Orang yang membeliku ternyata seorang bos sirkus, aku yang masih kecil dan tak tahu apa-apa saat itu. Mulai dipekerjakan untuk melakukan atraksi sirkus dan sering diperlakukan semena-mena. Di sirkus itu, aku sudah bisa mengendalikan elemen angin yaa walau saat itu aku hanya bisa berjalan di atas seutas tali yang dibentangkan, dengan melakukan keseimbangan dari elemen angin yang aku kuasai. Saat itu bahkan
Mohon dukungannya dengan cara berikan komentar berupa kritik dan saran, VOTE, atau kamu bisa menambahkan Novel ini ke dalam pustakamu. Terima kasih readear!
POV ALEX Malam semakin larut, kesunyian menemani setiap langkah kami. Aku, Tim dan Purple mengendap-endap memasuki sebuah gedung bertingkat di samping markas kepolisisan. Ini adalah langkah pertama The LMNTAL untuk mulai menentukan target perburuan. Aku tahu ini bersifat egois untuk anggota The LMNTAL yang lain tapi bagiku untuk menemukan orang yang sudah menembak mati saudaraku adalah suatu langkah awal yang harus kulakukan. Hal itu tentu saja atas hasil kesepakatan dengan semua anggota The LMNTAL yang ada. Ya, aku sudah menentukan siapa yang menjadi target pertama perburuan The LMNTAL, dia adalah orang yang sudah menembak mati Troya. Tim yang mempunyai keahlian sebagai heacker berhasil masuk ke salah satu server SDI, kami pun mendapat satu nama Powel Graham. Powel Graham, pria tinggi besar berumur 40 tahun, dia salah seorang yang terpilih untuk bisa masuk ke SDI dan menjadi salah satu komandan. Sudah seminggu
POV ANDRE Teman-teman di sekolah hampir semuanya mengenalku sebagai Andre anak si penjual bakso, ya itu tak aku pungkiri karena kedua orang tuaku atau lebih tepatnya berawal dari kakekku berprofesi sebagai penjual bakso yang sudah terkenal di kota kecil ini. Bisnis keluarga ini mungkin suatu hari nanti akan diwarisi kepadaku. Walau sejujurnya aku tak menginginkannya. Sejak memasuki usia remaja kedua orang tuaku sudah mulai memberikan aku tanggung jawab untuk ikut andil dalam bisnis keluarga, mulai dari belanja bahan baku, bumbu, memasak, bahkan kadang harus turun untuk melayani pelanggan di warung bakso kami. Sering juga aku merasa risih dengan ledekan teman-teman saat mereka memanggilku dengan embel-embel kata "Bang" saat memanggil namaku, tapi lama-lama aku menyadari kalau hal itu memang sudah menjadi label tersendiri dari keluargaku. Jadi buat apa aku merasa malu lagi, justru sekarang ada rasa bangga di hatiku. Hehehe... Selain dikenal
POV ANDRETumpukkan arsip masih berserakkan di depanku, yaa seharian ini aku disodorkan setumpuk dokumen untuk dibaaca dan dipelajari. Detektif Johan benar-benar membuatku belejar dan bekerja keras, tapi sedikitpun aku tak keberatan dengan semuanya ini. Aku bahkan banyak belajar dan memahami semua hal yang terjadi di sekelilingku ini. Ternyata tak semudah membuat bakso. Hahaha....Bekerja dengan detektif Johan ternyata bukan hanya untuk menyelidiki tentang keluarga van Bosch, tapi juga untuk kasus-kasus yang lain. Kantor detektif Johan, kini sudah menjadi ruang kerjaku sekaligus rumah kedua buatku. Dengan berada di sini, aku bisa secara rutin menengok kekasih hatiku yang masih saja terbaring di tempat tidurnya. Sesekali aku berdiri untuk meluruskan punggung yang pegal karena terlalu lama duduk.Kupandangi papan kerja yang sudah dipenuhi dengan klipingan berita kematian tragis. Ada beberapa yang ditandai
POV ANDREAku bingung saat semua orang melihat ke arahku, sambil menunduk aku melihat kearah kaki kananku dan mengangkatnya. Sial..., aku melihat sesuatu yang sangat diluar dugaan. Aku baru saja menginjak sebuah bola mata manusia. Ahhh..., ngapain juga ada bola mata berwarna putih kekuningan dengan leleran darah di bawah sana. HOOOEEEKK! Aku benar-benar tak bisa menahan lagi. Guncangan diperutku semakin kuat. Tanpa berpikir lagi aku langsung berlari ke arah wastafel yang berada dekat pintu kamar. Dengan sukses muntahanku keluar di sana."Ini bagaimana sih, tim forensik! Koq potongan tubuhnya nggak disatuin?" Terdengar suara inspektur James yang menegur anak buahnya.Setelah puas mengeluarkan rasa maluku ehh muntahanku, aku menatap cermin. Wajahku terlihat pucat namun ada yang lebih membuat wajahku bertambah pucat, aku melihat pantulan bayangan sebuah kepala yang terlepas dari tubuhnya dengan kedua bola
POV BALANCER Malam sudah menjadikan diri ini sosok yang penuh dengan dahaga akan aroma darah, rasa haus ini membuatku terus sibuk memburu nyawa para elemental maupun para pengikut Thomas yang sudah mengabdikan dirinya pada sosok iblis yang bernama Azrael. Ratusan nyawa sudah kurenggut dengan tangan ini tanpa ampun, karena memang sudah kewajibanku sebagai seorang Balancer. Kutukan yang terus melekat dalam jiwaku, membuatku hidup dalam waktu yang lama dalam kesendirian. Seandainya saja saat itu aku tak menghalangi Thomas meneguk air dari cawan suci, pasti permintaan itu tak akan terkabulkan. Tak akan ada para pengguna elemen dan tak ada Dark Lantern yang terus ingin menjadi pemusnah dari para elemental. Termasuk diriku. Ada satu hal yang masih bisa membuatku tersenyum saat ini, para pengguna elemen kini menyadari keberadaan mereka dan mulai membentuk kelompok yang bisa menjadi pertahanan mereka dalam menghadapi Dark Lantern. Aku
POV ANDRE Aku merasa hari-hari yang kulewati semakin berat, mulai dari rasa khawatir tentang keadaan Maria yang belum juga ada kemajuan hingga aktivitas ektrimku bersama detektif Johan. Kejadian kemarin sungguh membuatku berusaha keras mengatasi rasa mualku setelah kemarin menyaksikan bagaimana darah dan anggota tubuh manusia yang tercecer di hadapanku. Kejadian itu membuat selera makanku terganggu, belum lagi rasa malu yang aku dapat. Semua yang aku makan sebelum sampai di tempat kejadian terkuras habis, dimuntahkan semua. Bukan hanya satu kali aku muntah tapi setiap habis makan aku selalu teringat, apalagi bola mata itu...., hoekkk! Ahhh sungguh aku tak tahan, perutku seakan kembali dikocok dan makanan yang baru aku masukin ke perut pun terpaksa dikeluarkan lagi. Bahkan untuk beberapa hari aku masih terus seperti itu. Hari ini aku meminta libur pada detektif Johan, selain untuk menyegarkan pikiran aku pun ingin melupakan dulu keja
POV ANDRE Suasana warung baksoku sangat mendukung, pasalnya selama aku mengobrol dengan Puri belum ada pelanggan yang datang lagi. Ibuku hanya tersenyum dari jauh saat melihatku asyik ngobrol sama cewek berambut ungu ini. "Dre, ngomong-ngomong kamu sudah punya pacar?" tanya Puri, dia terlihat manis di mataku saat bertanya seperti itu. "Hmmm..., punya sih tapi...," jawabku menggantung ucapanku. Jujur aku bingung mau menjawabnya. "Tapi kenapa tuh? Cerita aja lah..., aku siap dengarin kok," kata Puri, sambil mulutnya sibuk mengunyah potongan somay. "Ceritanya panjang ....," jawabku sambil menahan senyum. Keliatan banget nih cewek pingin tahu tentang aku. "Ngak apa-apa aku banyak waktu kok," jawabnya. "Aku sudah lama pacaran dengan teman sekolahku, tapi beberapa waktu lalu dia mengungkapkan perasaan jujurnya padaku, aku sempat kaget dan tak ingin begitu saja melepaskan dia...." "Waah..., dia
POV ANDRE Sore ini aku sudah bersiap untuk mengunjungi Maria. Setengah dikejar hantu aku menjalankan motorku agar bisa sampai dengan cepat. Aku sudah berdiri di depan pintu rumah Detektif Johan, baru dua hari tidak datang ke rumah ini. Hatiku sudah merasakan rasa kangen pada Maria yang masih terbaring lemah di kamarnya. Sesaat kurapikan bajuku sebelum mengetuk pintu rumah kupastikan kalau penampilanku sudah rapi. TOK... TOK... TOk Aku mengetuk pintu rumah detektif Johan, tak lama terdengar suara langkah kaki yang menghampiri pintu. Begitu daun pintu terbuka trlihat wajah cantik ibu nya Maria yang tersenyum menyambutku. "Selamat sore, tante!" Salamku sambil sedikit membungkukkan badan. "Hei Andre, sore juga..., ayoo sini masuk!" katanya sambil membuka lebar daun pintu. "Gimana kondisi Maria sekarang, Tante?" tanyaku saat kami sudah berada di dalam rumah. "Yaaa..., gitulah Dre, kamu langsung naik