"Kakak barusan datang?" tiba-tiba terdengar suara Dara dari arah pintu.
Kei hanya mengangguk sambil menggumamkan kata 'iya'
"Kebetulan banget, Sarah mau ketemu Kakak. Kemarin dia mau ngobrol-ngobrol sama Kakak tapi nggak sempat." ujarnya sambil melirik ke arahku sekilas.
Anak ini benar-benar! Setiap bertemu dia, aku harus ekstra sabar menghadapinya, kesabaranku juga diuji kalau berbicara dengan dia. Menyebalkan memang! Untung dia adik Kei, jika tidak—
"Hai, Kei."
Aku menoleh begitu saja saat Sarah menyapa Kei dengan santainya. Eh? Bukankah Sarah seumuran dengan Dara? Seharusnya dia memanggil Kei dengan embel-embel 'Kak' dong? Aku melihat ke arah Kei yang menatap Sarah tidak suka.
"Hai. Tolong lain kali sopan sedikit ya. Aku lebih tua dari kamu. Nggak pantes kamu manggil namaku begitu saja." tegur Kei tegas.
Kulihat Sarah tertegun di tempatnya. Setelah mengucapkan kata maaf, dia pun menunduk sedih.
"Kak
“Kenapa kamu tiba-tiba tanya kayak gini?” “Nggak apa-apa. Aku cuman pengen tau aja. Selama kita pacaran, kamu sama sekali nggak pernah bahas tentang mantan-mantan kamu, masa lalu kamu gimana, kayak apa.” Aku menatapnya, “Kamu sama sekali nggak pernah bahas hal itu. Aku pacar kamu, Kei. Aku juga berhak untuk tau itu dong.” Kei melepas tatapannya padaku, membenahi posisi duduknya yang agak menjauh dariku. Pandanganku tak lepas dari semua itu. Bahkan aku bisa melihat kedua ibu jari Kei mulai bergerak satu sama lain, kebiasaannya jika sedang gugup. Aku makin curiga dibuatnya. “Masa lalu nggak perlu kamu bahas-bahas lagi. Semua udah lewat. Fokus yang sekarang aja, fokus sama kita kedepannya.” kelaknya. “Gimana aku mau fokus sama kita kedepannya, kalau ternyata kamu sama masa lalu kamu aja masih terus beriringan? Gimana caranya, Kei?” “Ini bukan hal yang harus kita bahas sekarang loh, Frey.” “Nggak harus gimana?” sanggahku dengan nad
BAB 13 “Maaf, mungkin aku yang nggak memahami posisi kamu.” ujarku lirih. Kei mendekat ke arahku perlahan, lalu duduk di sampingku. Meraihku kedalam dekapannya. “It’s okay. Aku juga minta maaf udah bentak-bentak kamu, bahkan kasar ke kamu.” Dan begitu saja pertengkaran kami selesai. Yah— jika kalian beranggapan aku bodoh, aku akui aku memang bodoh. Bahkan aku terlalu gila. Mengapa segampang itu aku mengalah? Aku juga tidak tau. Aku tidak bisa terus-terusan bertengkar dengannya. Jujur saja dalam hati kecilku, aku takut kehilangannya. Aku memang sakit, tapi aku akan lebih sakit lagi jika aku kehilangannya. ***** “Halo, Kei.” sapaku saat menjawab panggilan telfon darinya. “Sayang, aku hari ini harus ke luar kota. Mungkin dua sampai tiga hari. Aku harus pantau proyek disana. Kamu aku tinggal nggak apa-apa kan?” Aku berjalan ke arah meja kantorku sembari membaca beberapa dokumen-dokumen penting, “Nggak apa-apa, Kei. Aku bi
Aku berdiri mematung di tempatku. Tatapanku hanya tertuju pada gagang pintu yang sedang kupegang tanpa sempat membukanya. Jantungku berdetak tak karuan,diiringi dengan mataku yang mulai memanas. “Freya?” aku tidak bergeming, tetap dalam posisiku. Entahlah aku seperti tak punya keberanian untuk beranjak dari tempatku walau sejengkal saja. Aku mendengar langkah kaki mendekat ke arahku secara perlahan. Batinku berteriak untuk menghentikannya, namun lagi-lagi aku tak bisa berbuat apa-apa. “Freya.” badanku bergetar sedikit saat merasakan tangan besar miliknya menyentuh bahuku dengan pelan. “Hmm?” gumamku pelan tanpa berani melihatnya. Dengan sedikit paksaan, Reyhan membalikkan tubuhku, menghadap ke arahnya. Mendongakkan wajahku agar menatap matanya. “Kok nangis sih lo?” “Freya, gue cuman bercanda. Sumpah deh.” aku menatap kedua matanya. Mencari kebenaran disana. “Lo serius?” Reyhan mengangguk sembari terkekeh. “Iya, gue bercanda doang, Freya. Lo ng
Terkadang takdir yang kita jalani tidak selalu seperti apa yang kita harapkan.Takdir yang kita jalani pun— terkadang mempermainkan kitaTakdir itu pula yang membawaku di titik saat ini, entah bagaimana caranya.Semesta seperti mempunyai caranya sendiri untuk membawaku ke dalam takdir ini.Entah harus senang atau sedih, Aku bingungAku mencintainya!Tidak—Aku sangat sangat mencintainyaYa! Apa Kau dengar itu Tuhan? Aku mencintainya!Namun, Sang Kuasa bertindak dengan seenaknyaApa ini yang Dia inginkan? Membuat semua berjalan tidak sesuai dengan alurnyaMemporak-porandakan semua impian yang sudah dirancang bersamaApa ini jalan yang telah dipilih untuk hidupku?Apa Aku sanggup?Tanpanya—
BAB 1“Aku udah sampe. Kamu dimana? Masih lama nggak?”Terdengar suara kekehan kecil di ujung telfon, “Tanyanya satu-satu dong, Sayang.”“Ini aku bentar lagi sampe kok. Tunggu bentar ya, Sayang.” lanjutnya.“Oke deh. Jangan lama-lama ya! Hati-hati.” Aku pun memutuskan sambungan telfon.Sembari menunggu, aku berjalan mencari meja yang masih kosong. Pelayan langsung menyodorkan menu setelah aku menempati tempat yang kosong.Aku membolak-balik halaman demi halaman menu di depanku. Mencari menu yang terlihat menarik.“Hai Sayang! Maaf nunggu lama ya.” Dia mencium pipiku sekilas lalu duduk dihadapanku.Aku melihatnya yang sedang mengatur nafas, “Abis lari-lari apa gimana sih? Sampe kayak gitu nafasnya?”“Iya, abis lari-lari, soalnya kalau kelamaan ada yang ngamuk nanti.” LedeknyaAku berdecak gemas mendengar ucap
Aku menghela nafas panjang— entah ke berapa kalinya. Menahan air mata pun sedang aku lakukan. Terkadang, menyesakkan saat Kei bertindak egois seperti saat ini.Kei mengeraskan rahangnya, pertanda ia sedang menahan emosinya. “Mama cuman mau kita ke rumah loh, Frey! Ngggak susah kan?!” desisnya menahan emosi.“Aku tau, Kei. Kalau hari ini aku free, aku pasti mau kok. Tapi, jadwalku hari ini padat banget.”“Yaudah batalin! Bisa kan?!” spontan aku memejamkan mataku takut saat Kei membentakku. Sekelilingku pun turut berhenti sejenak melihat ke arah kami, penasaran.“Bisa kan, Frey?! Jawab!" bentaknya dengan tangan yang mencengkram kuat bahuku seperti tidak memperdulikan orang-orang sekitar yang mulai berbisik sembari melihat ke arah kami.“Oke.” putusku dengan nada lirih bersamaan dengan cengkraman Kei yang mulai luruh. Lagi-lagi aku lebih memilih untuk mengalah. Mengesampingkan ego ku
Sinar cahaya pagi menembus dari jendela kamarku, membuatku mengerjapkan mata beberapa kali berusaha menghalau silaunya. Aku meraba kasur disebelahku, Kei sudah bangun terlebih dahulu rupanya. Aku langsung duduk, mengumpulkan nyawaku sebentar lalu mencari keberadaan Kei.“Good morning” sapa ku saat melihat Kei sedang berkutat di dapur.Dia menoleh ke arahku, lalu tersenyum. “Good morning, Sayang.”“Kamu duduk aja dulu, aku bikini sarapan buat kita.” lanjutnya yang masih fokus dengan mangkok di tangannya.“Aku nggak boleh bantuin kamu?”“Nggak boleh.”Aku memanyunkan bibirku sembari berjalan menghampirinya.“Emang lagi bikin apa sih?” aku memeluk tubuhnya dari belakang.“Cuman bikin pancake aja sama scrambled egg”“Kamu nggak ada jadwal ketemu client?”“Ini hari weeke
“Freya Amelia, will you marry me?”Kata-kata itu terus berputar di benakku dari semalam hingga pagi ini. Bahkan aku tidak bisa tidur karena memikirkan itu terus menerus.Jika kalian berpikir aku menerimanya, ya memang akhirnya mulutku berkata “Yes, I will”Dan saat itu juga Kei langsung memelukku erat sembari membisikkan ucapan etrimakasih terus menerus di telingaku, tak lupa juga dengan sorak-sorai dari pengunjung restoran lainnya yang ikut memeriahkan.Namun, bukan itu yang aku pikirkan saat ini. Aku menatap cincin yang melingkari jari manisku dengan indahnya. Apakah keputusanku ini benar adanya? Apa benar-benar bisa aku merajut mimpi-mimpiku bersama Kei nantinya?Lamunanku buyar saat terdengar bunyi alarm dari ponselku. Menunjukkan pukul lima pagi. Ya— yang seperti aku katakana tadi, aku benar-benar tidak bisa memejamkan mataku dari semalam Kei mengantarku pulang. Otakku terus memikirkan k