Sesuai arahan Cora tadi, Shea langsung menyusuri lantai 2 untuk mencari ruang kerja. Sudah 3 ruangan dia buka, namun semua itu terlihat bukan seperti ruang kerja. “Dimana sih?!” keluhnya mulai kesal. Walau dengan menggerutu, dia tetap melanjutkan langkahnya ke ruangan berikutnya. “Andai saja ada jalan lain untuk membunuh Axel, aku tidak perlu susah-susah seperti ini,” keluhnya lagi.
Setelah membuka pintu keempat, Shea langsung mengamati desain di ruangan itu. Akhirnya dia baru menemukan ruangan yang sedari tadi dicarinya. Tak pikir panjang, dia langsung memasuki ruangan itu.
“Sekarang tinggal menunggu saja.” Shea menunggu kedatangan mangsanya sambil sekalian mencari kartu pair agar kelompoknya bisa menang dan tentunya bisa menyelamatkan ibu angkatnya, Ny. Beatrice.
Pertama, Shea membuka laci-laci yang ada di atas meja kerja berharap bisa menemukan petunjuk. Di laci pertama hanya
Setelah membunuh dengan senyum puas yang masih belum memudar, Shea tetap melanjutkan perjalanannya ke ruangan berikutnya. Masih di lantai 2. Saat berjalan sambil sesekali melihat birunya lautan yang berbatasan langsung dengan pembatas kapal itu, tak sengaja dia melihat Max masuk ke salah satu ruangan. Dia kemudian tertarik untuk mengikuti Max.Di dalam ruangan berbentuk kamar utama itu, Max memang sengaja masuk untuk mencari Cora. Karena kesepakatannya agar Cora mau terbuka tentang apa yang direncanakan Cora tak ditepati. Tak ada pembicaraan apapun tentang perjudian ini bahkan Cora juga tidak bilang kan menelusurinya lantai berapa. Itu yang membuatnya sangat khawatir Cora akan melanggar janjinya. Padahal seharusnya dia ke lantai 3 sesuai ruangan yang telah dibagi tadi. Jika dia melakukan itu, dia bisa langsung bertemu dengan Cora.“Sepertinya ini kamar yang dimaksud tadi,” gumam Max setelah menyadari desain ruangan ini. Dia memperdalam langkahnya masuk ke s
“Aku hanya ingin Cora saja yang ikut,” Max mengulangi perkataannya sambil menatap Shea memberikan isyarat.Shea yang mengerti langsung bertindak. “Benar juga. Lebih baik kau cepat-cepat sebelum kau kehabisan darah,” suruh Shea berpura-pura panik sambil memberikan sedikit dorongan untuk Cora agar segera pergi bersama Max.Max menatap mata Cora dalam untuk menagih jawabannya. Bukan menagih, lebih ke arah memaksa.“Untuk apa? Aku sudah mendapatkan 3 pair kartu. Aku sudah pasti menang,” tolak Cora.“Bukankah lebih baik jika kau mendapatkan semua kartunya?” Max menggandeng lembut tangan Cora yang masih meneteskan darah menuju ruangan terakhir. Dan Cora pasrah saja mengikuti arahan Max.“Jadi ini gudangnya?” tanya Cora setelah sampai. Arahan Max yang sama sekali tak terlihat bingung membuatnya menatap curiga
Ny. Beatrice, Tn. Warren dan Tn. Owen masih menunggu kemenangan salah satu pihak dengan pasrah di ruangan yang ada di lantai 1. Semua pasrah kecuali Tn. Warren yang bersantai di sana masih bisa menyempatkan menghisap sebatang rokok. Padahal, kedua korban lainnya dengan posisi tangan yang dirantai."Menurutmu, apa yang akan Edgar mau dari permainan ini?" tanya Tn. Warren dengan nada menyindir."Pembunuhan," tebak Tn. Owen."Jadi salah satu di antara kita akan mati?" tanya Ny. Beatrice memastikan maksud tebakan Tn. Owen tadi."Pintar sekali,” sahut Tn. Warren sambil terkekeh. Dia kemudian mengetuk-ngetuk serbuk di ujung rokok ke asbak sebelum kembali menghisapnya.Ny. Beatrice tertawa pahit. "Astaga… Kau sangat busuk Warren.”"Kenapa jadi aku?” Tn. Warren semakin lepas tertawa.“Harusnya kau berkaca dulu. Kau
“Warren menepati janjinya untuk memberikan gedung itu padamu Cora. Untuk fungsi gedung itu akan digunakan apa, terserah kau saja." Setelah seisi kapal pesiar itu pergi, Tn. Edgar mengajak Cora bicara masih di kapal itu.Shea yang mendengar itu menggeleng tak percaya. "Apa-apaan ini? Kenapa bisa?"Tn. Edgar tak menghiraukan Shea. Dia malah langsung memberikan berkas kepemilikan gedung Flash House itu pada Cora. "Ayahmu dan Kakakmu, masih di rumah sakit…”“Bisakah kau menolongku untuk mengurus jenazahnya?” potong Cora.“Baiklah, aku pergi dulu.” Tn. Edgar turun dari kapal pesiar ke sekoci yang sudah menunggunya.“Ayo.” Cora menarik Shea agar berpindah ke sekoci terakhir untuk kembali ke dermaga. Sekoci yang berbeda dengan Tn. Edgar.“Jelaskan apa maksud penyerahan itu," tagih Shea yang sed
"Kau mau anggur?" tawar Shea sambil mengangkat botol anggur yang sudah habis setengah."Tidak. Aku lebih suka kopi," tolak Cora sambil mengangkat cangkii lalu menyeruput kopi hitam kesukaannya. Kopi yang dia dapat dari kedai yang berhasil menggeser racikan dari barista langganannya sebelumnya. Kedai di dekat kampusnya yang juga milik Tn. Warren, lebih ia sukai akhir-akhir ini.Mereka sedang berbincang-bincang di rumah Shea, tepatnya duduk di balkon sambil menikmati cahaya bulan."Ngomong-ngomong, kau sudah dapat ide untuk permainan Zero O'clock?" tanya Shea mulai masuk ke inti pembicaraan. Mereka ingin cepat-cepat memulai perjudian ciptaan mereka sendiri."Mungkin tidak akan jauh-jauh dengan permainan sebelumnya. Intinya kita buat peserta mencari kartu pair saja, tapi dengan cara yang berbeda. Tidak lagi menggunakan kue kering dan botol wine lagi," usul Cora."Kita harus me
Tumpukkan kaset-kaset tua sudah menggunung di keranjang Cora . Beranekaragam jenispencipta, genre, dan juga tahunsudah berkumpul di san. Cora sangat semangat mengumpulkannya. Koleksi itu bukan hanya untuk Cora dengarkan sendiri, melainkan akan menjadi media perjudian yang akan dijalankannya. “Ini sudah sangat banyak, apalagi yang kau cari?” keluhShea. Rasa pegal sudah mulai menyerang otot-ototnya. Hampir 5 jam mereka berpindah-pindah toko antikdemi mencari itu. Puluhan rak sudah mereka jelajahi, namunCora masih tak berhenti melakukannya. Seolah tenaga Cora tak pernah habis. “Sekalian Shea. Lagipula kaset ini juga menjadi incaran kolektor lain. Daripada nanti kehabisan,” balas Cora,masih fokus memilih kaset-kasetnya. “Ini sudah cukup banyak, belum lagi yang ada di mobil.” Shea terus mengomel agar Cora mau mendengarkan isi hatinya. “Baiklah-baiklah, kit
“Kau yakin mau membeli tempat ini?” tanya Shea ragu. Dia dan Cora kini sudah berada di cafe klasik yang pernah dikunjunginya saat di pasar malam waktu itu.“Tentu saja. Lagipula tempat ini memang untuk berjudi. Dan setahuku tak ada polisi yang pernah mengobrak tempat ini,” jawab Cora dengan yakin.“Iya, juga.” Shea belum tahu kalau cafe ini juga milik Tn. Warren. Dia juga tidak tahu, kalau sebelum hari ini Cora sempat membahas tentang cafe yang menjadi plan B jika gedung Flash House disita. Dan si pintar Cora, hari ini datang hanya untuk berpura-pura membeli tempat yang memang sudah diberikan untuk Cora. “Kau sudah membawa uangnya, kan?”“Iya, aku bawa.” Cora meletakkan koper berisi uang puluhan miliar dari hadiah kemenangannya kemarin, ke atas meja.“Kau sudah mau semester 2 ya?” tanya Shea yang tiba-tiba mengalihkan pembicaraan
Suasana ramai yang identik dengn cafe klasik di tengah-tengah pasar malam yang sekarang menjadi milik Cora, hari ini tak terlihat lagi. Cafe itu sangat sepi detik ini. Di dalamnya hanya tersisa para pegawai yang berjejer membentuk satu barisan di depan Shea dan Cora.“Aku sudah mengurus kepemilikan cafe ini. Dan sekarang aku ingin menjelaskan peraturan baru yang harus kalian jalani mulai sekarang,” kata Cora membuka percakapan.“Jadi dengarkan baik-baik,” lanjut Shea.“Kau akan meneruskan cafe ini?” tanya Yoland, satu-satunya barista perempuan dari 3 barista lainnya.“Ya. Tn. Warren yang memberikannya sendiri padaku,” jawab Cora seadanya.Beberapa tukang, mulai mengisi cafe dengan meja gambling yang cukup besar dan cukup mencolok. Walaupun cafe ini memang sering digunakan untuk berjudi, meja yang digunakan hanya meja biasa.