“Aku hanya ingin Cora saja yang ikut,” Max mengulangi perkataannya sambil menatap Shea memberikan isyarat.
Shea yang mengerti langsung bertindak. “Benar juga. Lebih baik kau cepat-cepat sebelum kau kehabisan darah,” suruh Shea berpura-pura panik sambil memberikan sedikit dorongan untuk Cora agar segera pergi bersama Max.
Max menatap mata Cora dalam untuk menagih jawabannya. Bukan menagih, lebih ke arah memaksa.
“Untuk apa? Aku sudah mendapatkan 3 pair kartu. Aku sudah pasti menang,” tolak Cora.
“Bukankah lebih baik jika kau mendapatkan semua kartunya?” Max menggandeng lembut tangan Cora yang masih meneteskan darah menuju ruangan terakhir. Dan Cora pasrah saja mengikuti arahan Max.
“Jadi ini gudangnya?” tanya Cora setelah sampai. Arahan Max yang sama sekali tak terlihat bingung membuatnya menatap curiga
Ny. Beatrice, Tn. Warren dan Tn. Owen masih menunggu kemenangan salah satu pihak dengan pasrah di ruangan yang ada di lantai 1. Semua pasrah kecuali Tn. Warren yang bersantai di sana masih bisa menyempatkan menghisap sebatang rokok. Padahal, kedua korban lainnya dengan posisi tangan yang dirantai."Menurutmu, apa yang akan Edgar mau dari permainan ini?" tanya Tn. Warren dengan nada menyindir."Pembunuhan," tebak Tn. Owen."Jadi salah satu di antara kita akan mati?" tanya Ny. Beatrice memastikan maksud tebakan Tn. Owen tadi."Pintar sekali,” sahut Tn. Warren sambil terkekeh. Dia kemudian mengetuk-ngetuk serbuk di ujung rokok ke asbak sebelum kembali menghisapnya.Ny. Beatrice tertawa pahit. "Astaga… Kau sangat busuk Warren.”"Kenapa jadi aku?” Tn. Warren semakin lepas tertawa.“Harusnya kau berkaca dulu. Kau
“Warren menepati janjinya untuk memberikan gedung itu padamu Cora. Untuk fungsi gedung itu akan digunakan apa, terserah kau saja." Setelah seisi kapal pesiar itu pergi, Tn. Edgar mengajak Cora bicara masih di kapal itu.Shea yang mendengar itu menggeleng tak percaya. "Apa-apaan ini? Kenapa bisa?"Tn. Edgar tak menghiraukan Shea. Dia malah langsung memberikan berkas kepemilikan gedung Flash House itu pada Cora. "Ayahmu dan Kakakmu, masih di rumah sakit…”“Bisakah kau menolongku untuk mengurus jenazahnya?” potong Cora.“Baiklah, aku pergi dulu.” Tn. Edgar turun dari kapal pesiar ke sekoci yang sudah menunggunya.“Ayo.” Cora menarik Shea agar berpindah ke sekoci terakhir untuk kembali ke dermaga. Sekoci yang berbeda dengan Tn. Edgar.“Jelaskan apa maksud penyerahan itu," tagih Shea yang sed
"Kau mau anggur?" tawar Shea sambil mengangkat botol anggur yang sudah habis setengah."Tidak. Aku lebih suka kopi," tolak Cora sambil mengangkat cangkii lalu menyeruput kopi hitam kesukaannya. Kopi yang dia dapat dari kedai yang berhasil menggeser racikan dari barista langganannya sebelumnya. Kedai di dekat kampusnya yang juga milik Tn. Warren, lebih ia sukai akhir-akhir ini.Mereka sedang berbincang-bincang di rumah Shea, tepatnya duduk di balkon sambil menikmati cahaya bulan."Ngomong-ngomong, kau sudah dapat ide untuk permainan Zero O'clock?" tanya Shea mulai masuk ke inti pembicaraan. Mereka ingin cepat-cepat memulai perjudian ciptaan mereka sendiri."Mungkin tidak akan jauh-jauh dengan permainan sebelumnya. Intinya kita buat peserta mencari kartu pair saja, tapi dengan cara yang berbeda. Tidak lagi menggunakan kue kering dan botol wine lagi," usul Cora."Kita harus me
Tumpukkan kaset-kaset tua sudah menggunung di keranjang Cora . Beranekaragam jenispencipta, genre, dan juga tahunsudah berkumpul di san. Cora sangat semangat mengumpulkannya. Koleksi itu bukan hanya untuk Cora dengarkan sendiri, melainkan akan menjadi media perjudian yang akan dijalankannya. “Ini sudah sangat banyak, apalagi yang kau cari?” keluhShea. Rasa pegal sudah mulai menyerang otot-ototnya. Hampir 5 jam mereka berpindah-pindah toko antikdemi mencari itu. Puluhan rak sudah mereka jelajahi, namunCora masih tak berhenti melakukannya. Seolah tenaga Cora tak pernah habis. “Sekalian Shea. Lagipula kaset ini juga menjadi incaran kolektor lain. Daripada nanti kehabisan,” balas Cora,masih fokus memilih kaset-kasetnya. “Ini sudah cukup banyak, belum lagi yang ada di mobil.” Shea terus mengomel agar Cora mau mendengarkan isi hatinya. “Baiklah-baiklah, kit
“Kau yakin mau membeli tempat ini?” tanya Shea ragu. Dia dan Cora kini sudah berada di cafe klasik yang pernah dikunjunginya saat di pasar malam waktu itu.“Tentu saja. Lagipula tempat ini memang untuk berjudi. Dan setahuku tak ada polisi yang pernah mengobrak tempat ini,” jawab Cora dengan yakin.“Iya, juga.” Shea belum tahu kalau cafe ini juga milik Tn. Warren. Dia juga tidak tahu, kalau sebelum hari ini Cora sempat membahas tentang cafe yang menjadi plan B jika gedung Flash House disita. Dan si pintar Cora, hari ini datang hanya untuk berpura-pura membeli tempat yang memang sudah diberikan untuk Cora. “Kau sudah membawa uangnya, kan?”“Iya, aku bawa.” Cora meletakkan koper berisi uang puluhan miliar dari hadiah kemenangannya kemarin, ke atas meja.“Kau sudah mau semester 2 ya?” tanya Shea yang tiba-tiba mengalihkan pembicaraan
Suasana ramai yang identik dengn cafe klasik di tengah-tengah pasar malam yang sekarang menjadi milik Cora, hari ini tak terlihat lagi. Cafe itu sangat sepi detik ini. Di dalamnya hanya tersisa para pegawai yang berjejer membentuk satu barisan di depan Shea dan Cora.“Aku sudah mengurus kepemilikan cafe ini. Dan sekarang aku ingin menjelaskan peraturan baru yang harus kalian jalani mulai sekarang,” kata Cora membuka percakapan.“Jadi dengarkan baik-baik,” lanjut Shea.“Kau akan meneruskan cafe ini?” tanya Yoland, satu-satunya barista perempuan dari 3 barista lainnya.“Ya. Tn. Warren yang memberikannya sendiri padaku,” jawab Cora seadanya.Beberapa tukang, mulai mengisi cafe dengan meja gambling yang cukup besar dan cukup mencolok. Walaupun cafe ini memang sering digunakan untuk berjudi, meja yang digunakan hanya meja biasa.
“Hai, Cora. Sudah lama tidak melihatmu,” sapa pria itu setelah mendudukkan dirinya di hadapan Cora.Mendengar kalimat itu, Cora langsung mengalihkan pandangannya dari cangkirnya untuk mengamati wajah pria itu. Setelah lama membolos dari perkuliahan, Cora jadi lupa dengan teman-temannya. Apalagi di awal-awal kuliah, dia lebih sering menyendiri untuk menutupi KDRT yang menimpanya. “Kita pernah sekelas?” tanyanya. Dia tidak ingat sama sekali dengan pria itu. Dia juga tidak merasa pernah melihat wajahnya.“Ternyata kau tidak mengingatku,” kekeh pria itu.Cora jadi malas menggubris pria itu dan memilih kembali menikmati kopi pesanannya. Dia merasa sangat terganggu. Sebenarnya niatnya ke cafe ini untuk menenangkan pikirannya dan tak ingin bicara dengan siapapun.“Kau sekarang terlihat lebih segar,” sahut pria itu lagi sambil menatap dalam mata Cora.&n
“Aku memang tak pernah melihatmu,” elak Cora dengan tatapan yakinnya. Dia tidak mungkin salah. Wajah Rexy tak pernah melintas di depan matanya, apalagi sekelas dengannya.“Tidak. Kita sering bertemu. Sangat sering,” ucap Rexy dengan nada lembut dan tatapan intens-nya.Cora membuang mukanya karena tatapan yang diberikan Rexy. Bukan salting, malas saja melihat tatapan seperti itu tapi bukan dari mata Max. “Kau mau jalan kapan?”Rexy mengulum senyum, menelan kecewa sambil melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Ternyata yang dikatakannya benar. Cora adalah orang yang berkepribadian dingin. “Mulai sekarang kalau kau butuh bantuan, kau bisa menghubungiku,” tawarnya. “Tingkahmu sangat mencurigakan,” sahut Cora masih enggan bertatapan lagi dengan Rexy.“Perubahan sikapmu juga karena sesuatu, kan?” b