Kau kira aku adalah jalan pulang, sedangkan aku berpikir bahwa kau adalah persimpangan.
Jangan sakit hati dulu dengan kata-kataku barusan!
Bisa saja jalan pulang yang terbentang di hadapanmu itu panjang sekali. Sampai-sampai, waktu kita berbincang-bincang akan selalu ada dan bergulir. Kusarankan kau agar memanfaatkan semua kesempatan ini.
Sebaliknya, bisa saja persimpangan yang tersaji di hadapanku mengandung jalan buntu di belokannya. Akhirnya, ujung-ujungnya, aku harus kembali lagi ke persimpangan.
Asalkan kau sabar-sabar saja jika aku banyak menyapu pandang di persimpangan sana. Aku pasti akan terus memutar-mutarkan tubuhku, sehingga aku tahu apa saja yang ada di sekelilingku. Aku sendiri memberikanmu kebebasan akan itu, meskipun kau tak memanfaatkannya sama sekali.
Tak bisa disalahkan juga.
Kau terlalu mencintaiku.
“Jasmine,” kusentuh pipi Jasmine yang sudah basah karena air mata, “bicara apa kamu barusan?”
Beberapa tahun kemudian:“Would you marry me?” tak terbayang olehku sebelumnya, sepanjang hidupku, bahwa suatu hari ini, aku akan mengajak seseorang untuk melangkah ke tahap baru dari fase kehidupan seorang manusia.Ketika aku melontarkan pertanyaan ini, aku juga tak tahu apakah suatu hari nanti, aku akan mengajukan pertanyaan ini lagi kepada seorang lain?Lika-liku kehidupan yang lebih kuanggap sebagai proses pencarian, bukan permainan. Mungkin caranya untuk sebagian besar orang dianggap permainan, tetapi tidak denganku.Hanya ada satu kata yang bisa kulontarkan kepada mereka yang menganggapnya sebagai suatu permainan.Aku sungguh tak bermaksud.Maka dari itu, aku lontarkan saja satu kata itu.Kata itu berarti adalah….Maaf….Tak mengapa pula jika tak dimaafkan...***The EndLima Jari Playboy….Selesai….
@Apocalypse Bar Kemang Jakarta Selatan 22.30 WIB"Setiap kenalan sama cewek, gue selalu mengkategorikan mereka ke dalam lima jari," dengan pandangan seperempat nanar, Cana meneguk Erdinger. Aubree tak bisa menerka bagaimana kondisi sahabatnya kini. Apakah lelaki itu sudah mabuk, setengah mabuk, atau belum mabuk?Aubree tak begitu tahu tentangLiquor, apalagi dunia malam. Kalau Aubree bukan sahabat Cana yang bersedia mendengar curhatannya, dia pasti juga tak mau dibawa ke tempat seperti ini. Menurutnya, cahaya yang remang-remang bikin mata rusak. Keriuhan yang tak kunjung berhenti bikin telinga budeg. Lebih baik dia duduk membaca buku di perpustakaan atau menulis novel terbarunya dicoffee shop
Kepala Cana berat sekali pagi hari ini. Dia mencoba bangkit dari tempat tidurnya, tetapi rasanya seperti ada batu yang meniban dahi. Entah sudah berapa gelas minuman keras yang dia habiskan semalaman. Semua dampaknya dia rasakan pagi ini. Memang liquor menjadi tempat pelarian dari penatnya pekerjaan, tetapi di sisi lain, sesungguhnya kesehatan akan bertambah buruk karena terlalu banyak mengkonsumsinya. “Seharusnya, gue bisa berhenti dari pelarian ke alkohol ini,” sambil menatap langit-langit kamar, Cana berbicara sendiri. Pria berusia seperempat abad ini mengusap wajah dan rambutnya sambil menguap. Dia baru menyadari jika kemeja putih berdasi hitamnya masih melekat di raganya. Bahkan, jam tangan kulit cokelatnya masih melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sakit kepalanya terasa kian bertambah. Cowok bertinggi badan seratus tujuh puluh sembilan centimeter ini jadi berpikir siapa gerangan yang mengantarnya ke rumah dan membaringkan dirinya di atas tempat tidur berukuran King-nya. Sel
“CANA! Kamu nggak apa-apa? Ini dimakan dulu buburnya,” Begitu aku membuka pintu kamarku, Jasmine sudah berdiri di depanku. Mimik wajahnya tampak was-was. Rambut panjang lurusnya dia biarkan menjuntai indah sampai atas bahu. Kulit putih glowing-nya seperti biasa begitu membuatnya cantik dan sebening bidadari. Belum lagi lesung pipitnya yang membuatnya jauh lebih manis. Jika ingin mencari sosok seorang wanita yang cantik, manis, imut, dan lembut dalam satu raga, jawabannya ada pada Jasmine. Menurutku, orang tuanya tepat menamakannya seperti itu. Dia memang seputih, sesuci, dan seharum melati. Aku juga baru sadar jika Jasmine memang lebih senang mengenakan baju putih atau krem. Misalnya saja seperti saat ini. Tubuh mungil langsingnya dibalut dengan gaun Sabrina putih selutut. Aku sanksi jika dia mengenakan baju seperti ini selama membantu orang tuanya di restoran. Jikalau dia hari ini mengurusi kasir, rasanya terlalu berlebihan jika berpenampilan seperti ini. Ayolah Cana! Jangan pura-pu
Aku menyalakan playlist lagu dari aplikasi ponsel dan kusambungkan ke tape mobil. Sebelum aku menancap gas, aku sempat mendapatkan beberapa notifikasi sosial media dan membukanya. Aku sekilas melihat Jasmine baru saja men-upload video singkat yang menunjukkan dia sedang mendengarkan lagu-lagu penuh cinta. Dia tambahkan caption: ‘Thinking about you’. Lalu, aku refleks memberikan komentar, “Who?” Perasaan cinta Jasmine yang kutangkap begitu meletup-meletup tak kuanggap memberikan refleksi bagi hatiku. Aku justru merasa energi itu begitu mengancamku. Dalam waktu dekat, mungkin aku harus menjaga jarak dengannya. Tarik ulur adalah seni menjaga rasa. Aku kembali mendapati notifikasi. Kali ini dari aplikasi chat. Kunamakan dia ‘Si Telunjuk 1’. Si Telunjuk 1: 15 minutes….. “Ah, damn!” membaca chat-nya yang singkat, aku tahu jika dia alias ‘Si Telunjuk’ itu marah. Dia mengabarkan jika dia sudah berada di ruang meeting selama lima belas menit. Saking lamanya melepas Si Jempol Jasmine, aku sa
“HAHAHAHAHA!” gelak tawa meledak seantereo ruang meeting. Suara Mandy yang menggelegar sempat membuatku menoleh beberapa kali ke arah pintu, takut-takut menarik perhatian para anak buahku atau office boy. Yaaa… kenyatannya, ruang rapat ini memang bagian dari kantorku. Tentu saja tadi Mandy bercanda dengan mengatakannya sebagai kantornya dan aku adalah anak buahnya. Walaupun sebenarnya, aku berani bertaruh bahwa perusahaanku mungkin akan lebih maju jika dipimpin oleh wanita sepintar, setegas, dan secantik Mandy. “Wanita anggun bukanlah wanita yang tertawa begitu terbahak-bahak,” aku mencoba mengkritik caranya bersikap. Mimik wajahku sengaja kuatur datar. Sekali-sekali, aku ingin membuatnya insecure. “Memangnya, aku ingin disebut wanita anggun olehmu?” Mandy mengerlingkan mata. “Kau saja selalu mencariku untuk mendapatkan pertimbangan keuangan dan bisnis,” “Kau sendiri senang, kan, ditanya?” aku menaikkan alisku. “Meningkatkan self esteem,” aku mencoba menggodanya lagi dengan melahap
‘Kak, PPnya ganteng banget, deh! Hehehe,’ ‘Aku tadi dengerin podcast kakak loooh! Kereeeen!’ ‘Sebenarnya kak, pemerintah sudah mendukung seni dan budaya tanah air, tetapi terkadang inkonsistensi dari beberapa pihak yang bikin semangat seniman tanah air juga naik turun. Aku ngerasain banget waktu buka usaha tas anyaman bambu itu, Kak,’ ‘Tirandra likes your photo’ ‘Tirandra likes your photo’ ‘Tirandra reply your story’ ‘Tirandra commend your post’ ‘Tirandra likes your commend’ Baru saja aku membuka mata dari bangun tidur dan mengecek ponsel, beberapa notifikasi social media-ku masuk. Nama yang keluar begitu beragam. Namun, ada satu yang menarik perhatianku. Sebut saja dia, ‘Si Jari Manis Loyal’. Tirandra Dewy Leisnaldy…. Tiba-tiba, lamunanku beranjak ke peristiwa tujuh tahun silam. “Eh, name tag kamu jatuh, tuh!” percakapan pertama kami berlangsung pertama kali sekitar tujuh tahun lalu. Ketika itu, aku sedang menontoni para mahasiswa baru di fakultasku. Mereka sedang berlari-l
“Donburi Teriyaki is comiiiin’,” kutaruh nampan makananku dan Tira di atas meja. Tira yang sedang menggerak-gerakan dua ibu jarinya dikeyboardponsel jadi langsung menyembunyikangadget-nya itu di bawah meja. Kelihatannya, dia jadi salah tingkah terhadapaku. Aku sempat lihat tadi dari kejauhan bahwa dia sedang senyum-senyum sendirian di depan layar ponsel. Aku masih curiga jika dia sedang membicarakan topik yang sama dengan orang yang tadi dia telepon.“Ma….kasih banyak, Kak Cana,” kedua mata Tira memandangku dengan berbinar-binar, “Ini…., bener-bener ditraktir, Kak?”Aku menunjukkan ekspresi wajah seseorang yang sedang marah. Tentu saja pura-pura. “Enggak!” aku mengangkat daguku, “Kamu harus bayar dua kali lipat ke aku!” aku berkacak pinggang, bercanda jika dia yang berb