"Sudah, ini sudah siang. Kalian sudah harus berangkat." Rosie mengalihkan pembicaraan, tangannya dengan gesit menyusun kotak bekal dan juga botol air minum, lalu memasukkannya ke dalam tas Samuel.
Edward hanya memperhatikan wajah Rosie yang merah padam. Meski, usianya kini sudah tak lagi muda tapi wajah Rosie masih nampak cantik.
"Baiklah, ayo Ayah." Samuel bergegas menyangkil tasnya diikuti Edward yang mengambil kunci mobilnya.
"Ibu tidak ikut?" Samuel bertanya ketika menyaksikan Rosie yang menyambut pamitan Edward.
"Tidak, sayang. Nanti siang, Ibu akan pergi ke rumah sakit, mengecek adik Samuel."
Samuel hanya mengangguk-anggukkan kepalanya seraya mulutnya membentuk huruf O.
"Nanti, kau harus hati-hati. Jangan kecapean, Rosie. Ajak Bi Lastri menemanimu, aku tidak izinkan kau jika pergi sendirian. Oke?"
Rosie mengangguk seraya mengerucu
"Ayah, apa Bibi Alice masih lama?" Samuel yang nampak tak sabar kini mulai berceloteh."Sebentar lagi, sayang. Sabar sedikit, ya?" Edward mengelus lembut punggung Samuel, menenangkan si bocah agar tidak merengek.Tak lama setelah itu, muncul Alice dari kerumunan depan gerbang, menghampiri Edward dan Samuel."Maaf membuat kalian menunggu lama. Aku habis dari toilet, ramai sekali."Edward hanya berdehem, lalu mengangguk. Samuel kembali menampilkan wajah sumringahnya. Menatap Alice dengan tatapan berbinar."Ayo, Bibi! Aku sudah tidak sabar.""Ayo, Samuel. Upacara pagi sebentar lagi akan mulai."Tangan kecil Samuel langsung menerima uluran tangan Alice."Alice, aku titip Samuel."Alice mengangguk, "Ya, kau tenang saja.""Baiklah.""Ayo, Samuel.""Bye, Ayah.
Rosie menghela nafasnya yang memburu, wajahnya dengan penuh ambisi kembali melangkahkan kakinya menaiki tangga, menahan rasa sakit pada perutnya karena tendangan itu kembali terasa."Sabar, sayang. Sebentar lagi kita akan sampai." Rosie berusaha kuat, pegangannya pada tiang tangga semakin kuat sampai kuku jarinya memutih.Dua langkah lagi ketika dia hendak sampai di lantai tiga, tiba-tiba saja kepalanya terasa sakit, pusing langsung mendera kepalanya dan pandangannya mulai berkunang-kunang.Tepat ketika dia sudah tiba di lantai tiga, kakinya sontak saja terasa lemas dan Rosie langsung ambruk ke lantai hingga menimbulkan dentuman keras untuk perutnya."Ah!" Rosie menjerit, perutnya yang tadi sudah terasa sakit kini malah semakin bertambah sakit, rasanya bertambah dua kali lipat.Jeritan Rosie yang kencang seraya suara jatuhnya menarik atensi dari beberapa orang yang sedang ada
Edward yang baru saja tiba di rumah sakit langsung lari terbirit-birit menuju ruang rawat tempat Rosie berada, tadi dia sudah di beritahu oleh perawat suruhannya untuk menjaga Rosie sampai dia tiba di sana.Napas lelaki itu memburu, dia sangat panik mengetahui Rosie jatuh pingsan dan ditambah dengan pendarahan. Batinnya tak ada henti meramalkan doa agar Rosie dan kedua anaknya selamat.Edward langsung masuk ke dalam ruangan, membuka pintu dengan tidak sabaran. Edward langsung menemukan Rosie yang masih tidak sadarkan diri, terbaring lemah di atas bangsal."Ada apa dengan istri saya?" Edward langsung menyerbu perawat jaga yang ada di sana."Tadi, Ibu Rosie terjatuh di dekat tangga, ketika kami mengangkatnya, Ibu Rosie malah pendarahan. Mungkin, itu dampak dari Ibu Rosie yang terlalu lelah. Tidak kuat berjalan lama, terlebih lagi ada dua bayi di perutnya. Itu, menyulitkan."
"Engh, Edward." Edward menoleh dan langsung menemukan Rosie yang baru saja membuka mata. Bibirnya bergerak seolah hendak mengucap kata."Ah, maaf, Bu. Rosie baru saja sadar, nanti aku kabari lagi.""Baiklah, kabari terus pada Ibu."Tut."Rosie? Apa yang sakit? Kau butuh apa?" Edward seperti suami siaga yang langsung mengecek kondisi Rosie."A-aku i-ngin minum." Rosie berkata terbata-bata karena tenggorokannya yang terasa kering."Ini. Minum ini." Rosie langsung menerima gelas yang di sodorkan Edward dan langsung merasa lebih baik."Bagaimana? Kau sudah baikan?"Rosie mengangguk-angguk kepalanya, "Aku sudah lebih baik, Edward. Terima kasih."Edward membuang napasnya lega, lalu menatap Rosie dengan tatapan tajam, meski begitu Edward harus menahan emosinya agar tidak lepas kendali."Kenapa kau bisa pergi se
"Bukankah, itu Samuel? Dia sudah mulai bersekolah?"Alice mengangguk, "Ini hari pertamanya masuk sekolah."Damian tersenyum simpul, "Dia tumbuh baik dengan Rosie.""Rosie memang sangat menyayangi Samuel.""Aku tahu."Alice menegang habis minumannya, udara siang hari ini membuat tubuhnya sangat panas, dia butuh yang segar saat ini. Di tengah kesunyian melanda mereka, tiba-tiba ponsel Alice berbunyi. Tertera nama Edward di layar benda pipih itu."Sebentar.""Ya."Alice menekan tombol hijau di sana."Halo? Ada apa?""Apa anak-anak sudah pulang?""Sudah, mereka sedang main di taman.""Ah, setelah itu kau bisa mengajak mereka ke rumah sakit.""Rumah sakit? Siapa yang sakit?" Alice reflek melihat ke arah Damian yang ternyata juga tengah menatapnya.
"Samuel sedang perjalanan ke sini, aku yang akan mengurusnya, kau di sini saja." Edward mencoba tenang meski wajahnya sudah nampak geram melihat selang infus yang tetanam di tangan Rosie sedikit sedikit sudah mengeluarkan darah."Tidak bisa, Edward! Aku ingin menemuinya! Aku ingin menemaninya! Aku ini ibunya! Kau tahu apa tentangnya?!" Rosie kembali menjerit histeris, menatap murka pada Edward yang nampaknya juga sudah lelah."Kau baru saja lebih baik, Rosie. Apa kau lupa? Kau juga baru saja mengalami pendarahan! Apa kau juga tidak kasihan pada kandunganmu? Jadi, biarkan aku yang akan mengurus Samuel, kau sini saja. Aku melakukan ini juga demi kebaikanmu, Rosie. Aku mohon, ikuti perintahku sekali ini saja. Semuanya akan baik-baik saja, percaya padaku, Rosie." Edward menatap Rosie dengan lembut, meyakinkan gadis itu bahwa semuanya akan berjalan lancar dan baik-baik saja."Tidak." Rosie menggeleng tegas, menyangkal segala
"Bagaimana keadaannya, Dok?"Edward langsung bertanya begitu pintu ruangan terbuka dan menampilkan Dokter.Pria berjas putih itu menghela napas, "Keadaan Rosie sudah agak membaik. Tapi, dia harus istirahat total karena flek di kandungannya sudah semakin menyebar. Tolong, usahakan pikirannya bebas dan tidak stress, itu akan sangat berdampak untuk kesehatan kandungannya."Edward menghela napas, melihat Rosie yang sedang terbaring lemah di sana dengan wajah prihatin."Rosie sudah saya berikan obat tidur agar istirahatnya semakin banyak.""Terima kasih, Dok.""Sama-sama, kalau begitu saya pamit dulu. Langsung hubungi jika terjadi sesuatu."Edward mengangguk dan Dokter itu segera enyah dari hadapannya. Mata hitam itu melirik ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah pukul lima sore, dia harus bergegas memeriksa k
"Keadaannya cukup mengkhawatirkan, otaknya mengalami kerusakan karena benturan yang cukup keras mengenai belakang kepalanya. Sekarang, dia belum sadarkan diri."Alice yang baru saja bangkit kini langsung kembali terjatuh duduk, tatapannya kosong dan tak lama air terjun langsung mengalir deras dari pelupuk matanya. David langsung menghampiri, merangkul sang istri berupaya memberi dorongan."Apa otaknya akan segera pulih? Tidak adakah tindakan lanjut agar otaknya kembali?"Dokter itu menghela napas, "Untuk saat ini, kami hanya bisa menunggunya sadar, setelah itu kami akan melakukan tindakan lebih lanjut, karena untuk merangsang kinerja otaknya dia harus sedikit mengingat hal."Edward lagi-lagi mendesah prustasi, "Apa saya boleh melihat anak saya di dalam?""Mohon maaf, Pak. Jika, pasien belum sadar kami menghimbau Bapak agar tidak menemuinya dulu, biarkan pasien istirahat untuk sekarang."