"Keadaannya cukup mengkhawatirkan, otaknya mengalami kerusakan karena benturan yang cukup keras mengenai belakang kepalanya. Sekarang, dia belum sadarkan diri."
Alice yang baru saja bangkit kini langsung kembali terjatuh duduk, tatapannya kosong dan tak lama air terjun langsung mengalir deras dari pelupuk matanya. David langsung menghampiri, merangkul sang istri berupaya memberi dorongan.
"Apa otaknya akan segera pulih? Tidak adakah tindakan lanjut agar otaknya kembali?"
Dokter itu menghela napas, "Untuk saat ini, kami hanya bisa menunggunya sadar, setelah itu kami akan melakukan tindakan lebih lanjut, karena untuk merangsang kinerja otaknya dia harus sedikit mengingat hal."
Edward lagi-lagi mendesah prustasi, "Apa saya boleh melihat anak saya di dalam?"
"Mohon maaf, Pak. Jika, pasien belum sadar kami menghimbau Bapak agar tidak menemuinya dulu, biarkan pasien istirahat untuk sekarang."
Edward menghela napasnya, menegak kopi yang dia beli lima menit lalu dengan tandas, menghalau rasa kantuk yang menyerang matanya. Kedua tangannya melirik ke arah pergelangan tangannya yang menampilkan waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.Tak terasa, dia sudah lima jam menunggu di ruang tunggu depan ruangan Samuel. Tadi, Dokter yang menangani Samuel sempat memberitahunya bahwa tekanan darah Samuel menurun hingga dua puluh persen. Maka dari itu, Edward memilih menunggu saja di sini agar tidak terlewat sesuatu yang penting."Edward."Edward yang sedang melamun tentu saja terkejut ketika ada sebuah tangan yang menyentuh bahunya seraya menyuarakan namanya."Ibu? Ibu sudah mau pulang?"Eliza menganggukkan kepalanya, "Rosie juga sudah tertidur. Bagaimana keadaan Samuel? Apa terjadi sesuatu?"Entah sudah berapa kali Edward menghe
"Sebelumnya, apa yang terjadi dengan pasien." Dokter itu sedikit melonggarkan pakaian yang di pakai Samuel seraya mengecek keadaan bocah itu melalui alat patient monitor."Dia baru saja mengalami kerusakan otak kemarin karena terjatuh dari permainan bola dunia." Dokter itu menatap sang perawat terkejut, kedua alisnya menukik tajam."Ini gejala epilepsi, segera berikan obat sodium valproate atau topiramate, saya akan berikan obat penenang untuk meminimalisir kejang-kejang.""Baik, Dok."Dokter itu dengan cekatan mengambil beberapa peralatan yang dia butuhkan, salah satunya jarum suntik yang harus segera dia ganti. Setelah semuanya sudah siap, Dokter itu segera menyuntikannya pada lengan Samuel di susul dengan suntikan obat yang diarahkan sang Dokter.Tak berapa lama, tubuh Samuel mulai kembali normal, kejang-kejangnya berangsur-angsur menghilang, Dokt
"Anak itu? Anak yang tadi di IGD-""Apa? Kenapa dia?""Tadi, dia sempat mengalami kejang-kejang karena gejala epilepsi yang dia idap kambuh, tapi untungnya sekarang sudah lebih baik, hanya perlu memperhatikan kondisi vitalnya.""Ah, syukurlah." Edward mendesah napas lega. Entah bagaimana lagi kondisi Rosie nanti kalau tahu kondisi Samuel yang sempat kejang-kejang."D-dia itu, siapa?" tanya Angel terdengar hati-hati. Edward menekuk kedua alisnya."Siapa?""Anak itu-""Ah, dia Samuel. Anakku.""Anakmu?" seru Angel yang tanpa sadar membuat beberapa orang yang baru sampai menoleh ke arah mereka."Kau memancing perhatian." Edward terkekeh. Angel sontak menutupi wajahnya karena malu."Ah, maaf. Aku hanya terkejut tadi. Apa dia anakmu dengan Alice?""
Rosie berjalan tertatih menyusuri tangga seraya menyeka keringatnya yang bercucuran, kakinya sudah mulai sedikit goyah dengan pandangan yang berkunang-kunang tapi dia tetap melanjutkan jalannya dengan bertumpu pada tembok sebagai arahan. Untung saja, dia tahu di mana letak IGD."Astaga, Ibu Rosie mau ke mana?" tegus salah seorang perawat yang sontak saja membantu Rosie yang sudah sedikit oleng."Saya mau ke ruang IGD. Saya mau bertemu anak saya, perasaan saya tidak enak dari tadi.""Tapi, kondisi Ibu masih belum stabil, Ibu masih harus istirahat di ruangan. Saya antar kembali ya, Bu?""Tidak, saya ingin tetap ke ruang IGD, ada suami saya juga di sana.""Tapi, Bu-""Sekali ini saja, Sus. Tolong bantu saja, tolong bantu saya antarkan bertemu dengan anak saya. Setelah ini, saya akan langsung kembali."Perawat wanita itu sedikit meniman
"Rosie." panggil Edward, wajahnya nampak khawatir, peluh membanjiri sekitar pelipisnya.Rosie tak bergeming, tetap diam dengan arah pandang menuju depan. Rasanya, baru beberapa jam tadi dia berbicara pada Tuhan jika dia sangat beruntung memiliki suami seperti Edward, tapi sekarang dia rasanya ingin mengadu pada Tuhan agar segala rasa syukurnya di cabut."Rosie, maafkan aku. Kau jangan salah paham, dengarkan penjelasan aku dulu." Edward yang baru saja menyentuh ingin menyentuh lengan Rosie kembali harus pupus ketika gadis itu justru menghentakkannya."Ayo, dengarkan penjelasan aku du-"Rosie menoleh, menatap tajam ke arah Edward. "Aku ingin istirahat, kita bicara nanti saja.""Tapi, Ros-""Ayo, sus." Rosie berbicara pada sang perawat di sampingnya seraya kembali berjalan."Ros." Rosie kembali menepis tangan Edward yang he
Edward tersenyum miring, "Kau tahu apa tentangku, Ngel? Kau pikir bagaimana perasaanku sekarang melihat Rosie yang sangat sedih, bahkan melihatku saja dia menolak.""Itu hanya emosi sesaat yang kerap terjadi pada seorang ibu hamil, kau harus tetap sabar. Lambat laun, Rosie pasti akan kembali membuka diri padamu, Edward. Percaya padaku.""Tapi, aku tidak bisa melihatnya seperti itu. Aku ingin segera menjelaskannya bahwa aku tadi hanya refleks saja memelukmu. Aku tidak bermaksud memelukku." jelas Edward seraya mengusak rambutnya kasar.Saking kalutnya Edward, pria itu sampi tidak menyadari perubahan air muka Angel yang awalnya nampak tenang kini malah berubah murung. Angel menggigit bibir bawahnya ketika merasa ulu hatinya terasa nyeri."Sa-sabar, Edward. Kau sangat menyayangi Rosie dan Rosie pun juga sebaliknya, jadi kau tenang saja. Aku akan bantu menjelaskan agar Rosie juga percaya." Ang
"Rosie." panggil Edward dengan rendah, nada prustasi tertanam di sana.Tak bergeming, Rosie tetap di tempatnya seraya menggenggam tangannya kuat sampai kuku jarinya memutih akibat menahan tangis dan juga gejolak nyeri di dadanya yang membuncah."Aku mohon, sekali ini saja. Dengarkan aku dulu." Edward dengan perlahan mengambil tangan mungil Rosie dan menggenggamnya. Untung saja, Rosie hanya terdiam tanpa adanya perlawanan.Edward yang mendapat sinyal baik merasa bahwa inilah gilirannya dia maju, menjelaskan semuanya agar Rosie juga tidak akan salah paham."Kau salah paham, yang tadi kau lihat bukan seperti apa yang kau pikirkan." Ada jeda sesaat, Edward menghela napasnya dalam-dalam, memantapkan hatinya agar Rosie juga percaya setiap kata yang dia lontarkan."Dia Angel, salah satu dokter di sini dan juga teman lama aku, aku kenal dengan dia ketika kami sama-sama menjad
"Permisi." Angel melangkah masuk seraya menunjuk senyuman terbaiknya."Ah, ini dia. Rosie, ini Angel, teman lamaku." Edward menghentikan usakan pada rambut Rosie dan beralih menggenggam tangan sang istri lalu menatap Angel yang perlahan mendekati mereka, "Ini dia yang tadi aku ceritakan." lanjut Edward berbisik.Rosie berkedip, "Rosie." Lalu, mengulurkan tangannya bermaksud ingin berjabat tangan berkenalan.Angel menatap uluran tangan itu sejenak lalu membalas Rosie, "Aku Angel. Salam kenal. Kurasa, kau sudah tahu dari Edward." Lalu, gadis berjas putih itu terkekeh.Rosie memberikan senyuman manis yang di mana membuat Angel tertegun, meski sudah lewat dari salah paham, jarang seoarang wanita yang lebih lagi seorang istri masih bisa tersenyum begitu manis setelah apa yang terjadi di balik kesalahpahaman.Rosie terkekeh, "Kesalahapahaman, aku sudah tidak masalah, aku percaya