"Rosie." panggil Edward, wajahnya nampak khawatir, peluh membanjiri sekitar pelipisnya.
Rosie tak bergeming, tetap diam dengan arah pandang menuju depan. Rasanya, baru beberapa jam tadi dia berbicara pada Tuhan jika dia sangat beruntung memiliki suami seperti Edward, tapi sekarang dia rasanya ingin mengadu pada Tuhan agar segala rasa syukurnya di cabut.
"Rosie, maafkan aku. Kau jangan salah paham, dengarkan penjelasan aku dulu." Edward yang baru saja menyentuh ingin menyentuh lengan Rosie kembali harus pupus ketika gadis itu justru menghentakkannya.
"Ayo, dengarkan penjelasan aku du-"
Rosie menoleh, menatap tajam ke arah Edward. "Aku ingin istirahat, kita bicara nanti saja."
"Tapi, Ros-"
"Ayo, sus." Rosie berbicara pada sang perawat di sampingnya seraya kembali berjalan.
"Ros." Rosie kembali menepis tangan Edward yang he
Edward tersenyum miring, "Kau tahu apa tentangku, Ngel? Kau pikir bagaimana perasaanku sekarang melihat Rosie yang sangat sedih, bahkan melihatku saja dia menolak.""Itu hanya emosi sesaat yang kerap terjadi pada seorang ibu hamil, kau harus tetap sabar. Lambat laun, Rosie pasti akan kembali membuka diri padamu, Edward. Percaya padaku.""Tapi, aku tidak bisa melihatnya seperti itu. Aku ingin segera menjelaskannya bahwa aku tadi hanya refleks saja memelukmu. Aku tidak bermaksud memelukku." jelas Edward seraya mengusak rambutnya kasar.Saking kalutnya Edward, pria itu sampi tidak menyadari perubahan air muka Angel yang awalnya nampak tenang kini malah berubah murung. Angel menggigit bibir bawahnya ketika merasa ulu hatinya terasa nyeri."Sa-sabar, Edward. Kau sangat menyayangi Rosie dan Rosie pun juga sebaliknya, jadi kau tenang saja. Aku akan bantu menjelaskan agar Rosie juga percaya." Ang
"Rosie." panggil Edward dengan rendah, nada prustasi tertanam di sana.Tak bergeming, Rosie tetap di tempatnya seraya menggenggam tangannya kuat sampai kuku jarinya memutih akibat menahan tangis dan juga gejolak nyeri di dadanya yang membuncah."Aku mohon, sekali ini saja. Dengarkan aku dulu." Edward dengan perlahan mengambil tangan mungil Rosie dan menggenggamnya. Untung saja, Rosie hanya terdiam tanpa adanya perlawanan.Edward yang mendapat sinyal baik merasa bahwa inilah gilirannya dia maju, menjelaskan semuanya agar Rosie juga tidak akan salah paham."Kau salah paham, yang tadi kau lihat bukan seperti apa yang kau pikirkan." Ada jeda sesaat, Edward menghela napasnya dalam-dalam, memantapkan hatinya agar Rosie juga percaya setiap kata yang dia lontarkan."Dia Angel, salah satu dokter di sini dan juga teman lama aku, aku kenal dengan dia ketika kami sama-sama menjad
"Permisi." Angel melangkah masuk seraya menunjuk senyuman terbaiknya."Ah, ini dia. Rosie, ini Angel, teman lamaku." Edward menghentikan usakan pada rambut Rosie dan beralih menggenggam tangan sang istri lalu menatap Angel yang perlahan mendekati mereka, "Ini dia yang tadi aku ceritakan." lanjut Edward berbisik.Rosie berkedip, "Rosie." Lalu, mengulurkan tangannya bermaksud ingin berjabat tangan berkenalan.Angel menatap uluran tangan itu sejenak lalu membalas Rosie, "Aku Angel. Salam kenal. Kurasa, kau sudah tahu dari Edward." Lalu, gadis berjas putih itu terkekeh.Rosie memberikan senyuman manis yang di mana membuat Angel tertegun, meski sudah lewat dari salah paham, jarang seoarang wanita yang lebih lagi seorang istri masih bisa tersenyum begitu manis setelah apa yang terjadi di balik kesalahpahaman.Rosie terkekeh, "Kesalahapahaman, aku sudah tidak masalah, aku percaya
"Alice." Alice yang sedang menyiram tanaman sontak saja terkejut ketika David tiba-tiba saja muncul di hadapannya."Aish, kau ini! Mengagetkanku saja." gerutu Alice seraya menatap suaminya itu dengan tajam."Maafkan aku." cecenges David seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal."Ada apa? Kau tidak ke kantor?" Alice menyudahi rutinitas paginya. Berjalan menuju bangku taman dan duduk di sana."Tidak. Pekerjaanku sudah aku handle semalam. Jadi, aku hanya sedikit mengerjakan satu laporan saja." jelas David seraya mengikuti Alice."Tadi, aku menelpon Edward dan dia bilang kalau kondisi Samuel sudah lebih baik dan bocah itu sudah sadar.""Benarkah? Syukurlah." Alice bernapas lega, dua hari ini pikirannya memang di hantui dengan keadaan Samuel. Bocah yang malang."Kau ingin ke sana sekarang?"Alice menoleh, "Apa dia suda
"Aku tahu kau pasti kemarin mengalami kesulitan." Kekehan David di sana membuat Edward tak sungkan-sungkan langsung memutar bola matanya malas."Tidak usah mengejek. Kau belum saja merasakannya.""Hey, Dude!" Keduanya sontak saja terkekeh."Ya sudah, aku ingin ke ruang Samuel. Dia ingin susu pisang kesukaannya.""Ah, baiklah kalau begitu, aku juga ingin memberitahu Alice kabar ini."Edward mengangguk dan tak lama setelah kata pamitan, sambungan itu terputus. Pemuda Quin itu berdiri dan segera melesat menuju ruang Samuel.***Ella yang sedari tadi hanya duduk terdiam di kursi panjang depan kelasnya kini mulai terusik karena salah seorang kehadiran seorang perempuan dengan bando berwarna polkadot merah di rambutnya mulai menatapnya menyelidik, dari atas sampai bawah.Ella yang mengetahui kehadiran Vina, perempuan yang serin
Tak lama setelah itu, terdengar suara langkah kaki mendekat. Rosie dan Edward sudah pasti menebak siapa yang datang."Itu pasti Ayah." girang Samuel yang sebentar lagi susu pisangnya akan datang.Ketika langkah itu semakin mendekati mereka, juga bayangan yang terasa semakin besar. Samuel sudah bersiap-siap ingin menyambut minuman kesukaannya. Rosie hanya diam, tersenyum memperhatikan."A-""Halo, Samuel. Rosie." Tapi naas, bukan sosok Edward sang ayah yang muncul di hadapannya, tapi seorang wanita cantik berponi tail dengan jas putih kebesarannya."Dokter Angel?" Rosie berdiri perlahan, menyapa Dokter itu. Tubuhnya masih belum stabil.Angel hanya tersenyum manis. "Samuel, bagaimana keadaanmu sekarang? Apa kepalanya masih sakit?"Samuel menggeleng, "Tidak, Dok. Tapi, masih agak sakit di sini." Tangan mungil Samuel menunjuk ke arah pe
"I'm sorry, Aunty." Setelah mengatakan itu, bocah itu segera pergi dari hadapannya. Rambut pirangnya yang basah bergerak seiring langkahnya yang semakin kencang, bocah itu berlari.Alice mengerjap, perasaan iba langsung mengerubunginya ketika tanpa sengaja dia melihat mata perempuan itu yang berkaca-kaca. Lagi pula, apa yang di lakukan gadis itu sampai membuat seragamnya basah? Tidak mungkin kan dia mandi di sekolah? Atau- ada satu hal yang mengganjal?Tak lama setelah itu, ada tiga seorang perempuan lain dengan gaya hebohnya datang dari arah perempuan pirang itu berasal. Ketiganya saling tatap lalu segera berlari menuju gerbang depan. Alice mengernyit, kenapa rasanya ada yang tidak beres di sini? Tapi, apa mungkin? Alice menghela napasnya sejenak lalu kembali berjalan menuju ruang kelas Eros.Setibanya wanita itu di sana, Eros ternyata sudah di temani oleh Zea dan Zelo, kebetulan sekali jadi Alice tidak harus kerj
Ella yang memang sedang memandang ke arah jalanan luar aktivitas kota sana mulai memikirkan hal yang menimpanya tadi. Pada awalnya, dia pikir bersekolah di negara lain akan terasa menyenangkan karena ada banyak teman baru. Tapi, dia malah mendapatkan apa yang sebelumnya tidak dia pikirkan akan terjadi.Flash back.Bel berbunyi, bertanda bahwa jam pelajaran sekolah sudah berakhir. Seperti hari-hari sebelumnya, Ella akan menjadi siswa terakhir yang keluar dari kelas karena ada banyak sekali tatapan mata yang membuatnya risih, Ella tidak suka itu. Maka, dia hanya diam sampai semua orang keluar kelas dan hanya tersisa dia sendiri.Barulah, ketika ruangan itu sudah sepi, Ella mulai berani untuk keluar. Menggenggam ujung tasnya dan mulai menyusuri lorong. Tapi, ada sebuah tangan yang menyeretnya sampai ke ujung lorong, tempat tersepi yang jarang di lalui oleh orang-orang selepas bel pulang berbunyi.