Clarissa menarik lengan Yenny, meminta temannya itu berhenti tertawa.
"Apa yang lucu?!" tukas Clarissa kesal. Dia mengurungkan melajukan mobil, memandang Yenny tajam.
"Kamu, Clay. Kamu itu udah cinta sama Adi, tahu nggak?" Yenny menahan diri agar tidaki tertawa. Senyumnya melebar.
"Cinta apa? Ihh." Clarissa melepaskan tangan Yenny sedikit keras.
"Clay, kalau nggak cinta ngapain kamu marah ada yang ngomongin Adi? Bangga harusnya kita, punya teman sekelas keren dan digandrungi adik tingkat." Yenny menggoda Clarissa.
"Hei, biar aku ga cinta, Adi bukan cowok jomlo. Ga bisa sembarangan dia jalan sama cewek. Enak saja." Clarissa mulai menjalankan mobilnya.
Yenny menutup mulut dengan tangan. Clarissa masih tidak mau mengakui kalau dia mulai cinta sama Adimasta. Sisi angkuh Clarissa ternyata tidak mudah luluh. Yenny tidak habis pikir. Apa susahnya bilang ya, emang sayang. Dia bisa lebih tenang menjalani hubungannya dengan Adimasta. Tidak perlu
Dengan cepat Clarissa membuka pesan dari papanya. - Clarissa, bisakah kita bertemu? Papa ingin bicara, berdua. Dada Clarissa berdetak lebih cepat. Dia ingat terakhir kali bertemu, Arlon datang ke dengan keluarganya. Dan Clarissa sangat marah. Dia pergi begitu saja tanpa mau memberi kesempatan papanya bicara dengannya. Sejak itu pula Clarissa memilih tidak berkomunikasi dengan Arlon. Keyakinannya bahwa dia tidak lagi penting buat papany semakin dalam. Karena itu lebih baik dia tidak berkomunikasi lagi. Clarissa belum yakin apakah dia mau bertemu papanya. Dia tidak mau lagi-lagi papanya hanya PHP. Ternyata dia membawa istri dan anaknya yang tampan itu. - Clarissa, papa hanya butuh waktu 30 menit. Pesan Arlon kembali masuk. Clarissa mengacak rambutnya asal. Rasa kesalnya nongol lagi jika ingat siang hari itu, saat dia datang di hotel tempat papanya menginap. Ting! Pesan masuk lagi. Papanya benar-benar niat mau bertemu dengannya? S
Clarissa tidak segera membalas perkataan Arlon. Dadanya mulai terasa penuh. Dan dia ingat Adimasta. Rasanya dia mau cowok sipit berkacamata itu ada di dekatnya dan menenangkan dia. "Sayang, hidup terus berjalan. Aku ingin menemukan tujuan hidupku. Bersama istri dan anakku sekarang, semua berbeda. Aku merasa lengkap." Arlon memandang Clarissa. Dia ingin juga Clarissa memahami dirinya dan bukan hanya melihat masa lalu. "Lengkap? Jika aku masuk, aku jadi pengganggunya!" Suara Clarissa mulai naik. "Itu tidak benar," bantah Arlon. "Kamu putriku. Sampai kapanpun, tidak akan berubah." "Putri yang tidak terlihat," sahut Clarissa dengan nada kesal. "Itu kesalahanku. Aku minta maaf, Clarissa. Aku menganggap kamu baik-baik saja. Karena kamu gadis yang kuat." Arlon berusaha menjelaskan apa yang dia pikirkan. "Kuat? Gadis dua belas tahun, melihat papa dan mamanya berpisah dengan pertengkaran tak kunjung berakhir? Lalu ditinggal sendirian. Sekalipun
Wajah Adimasta sedikit memerah karena dia masih panas. Tapi hatinya girang, Clarissa manis sekali hari ini. Kekasihnya itu gembira setelah bertemu papanya, dan sedikit sendu karena rasa haru. "Kamu ga usah ikut repot ngurusin mahasiswa baru lagi. Buat apa kalau ujung-ujungnya kamu sakit?" Clarissa masih memandang Adimasta. "Yang kita lakukan itu pasti ada baiknya. Ga sia-sia. Dan semua yang kita kerjakan ada resikonya. Cuma demam juga. Ntar sore pasti udah baikan." Adimasta tersenyum dengan bibir tipisnya. "Beneran, harus baikan. Kalau kamu ga bisa kuliah, yang aku usilin siapa?" Clarissa nyengir. "Hee ... hee ..." Adimasta terkekeh. "Aduh, pusing." Adimasta memegang kepalanya. Ada yang berdenyut rasanya. "Masih sakit? Udah kamu tiduran aja." Clarissa memegang lengan Adimasta. Adimasta manut. Dia merebahkan badan dan kembali berbaring. "Tapi aku senang sakit gini." Adimasta tersenyum sa
Clarissa masih belum bergerak dari tempatnya berdiri. Dia makin menajamkan telinga agar lebih jelas mendengar pembicaraan Arlon dengan istrinya. Ada sesuatu yang membuat Clarissa mulai penasaran seperti apa wanita yang sekarang dicintai papanya. "Aku akan ceritakan semua nanti saat aku pulang. Clarissa dan aku bersenang-senang malam ini. Terima kasih buat dukungan kamu, Honey ... Hmmm ... oke. Cium sayang buat Calvin. Bye." Akhirnya sambungan telpon Arlon putus. Clarissa menarik nafas dalam, lalu dia melangkah lagi mendekati papanya. "Minuman sudah siap!" Clarissa bicara dengan ceria, dia sisihkan semua rasa yang mengaduk-aduk hatinya setelah mendengar pembicaraan Arlon tadi. "Hei, makin seru, nih." Arlon tersenyum. Dia mengulurkan tangan mengambil satu cangkir dari tangan Clarissa. Clarissa duduk di sisi Arlon. Dia pandangi wajah papanya yang tampan dan terlihat sedikit lebih muda dibanding usianya. Ada kebahagiaan di sana, seperti saat Clari
Arlon melihat pada pria yang ada di depannya. Beberapa tahun lebih muda darinya. Pria ini yang menjadi pendamping Rosita. "Ini papa, Om. Aku bertemu papa hari ini dan papa mengantar aku ke sini." Clarissa mengenalkan Arlon pada Bramantyo. "Selamat sore, aku Bramantyo." Segera Bramantyo mengulurkan tangan pada Arlon. "Aku Arlon. Senang bertemu denganmu." Arlon membalas dengan menjabat tangan Bramantyo. "Om, mama ..." Clarissa menyela. Dia tidak sabar ingin tahu kondisi Rosita. "Sejak kemarin dia mulai tidak sehat. Aku minta dia istirahat, tapi sembunyi-sembunyi masih juga mengerjakan proyek. Katanya hanya proyek kecil. Tapi tetap saja pikirannya terkuras. Dia harus banyak duduk mengerjakan itu. Akhirnya dia tidak bisa menahan sakit yang mendera." Bramantyo menjelaskan. "Apa aku bisa ketemu mama?" tanya Clarissa. "Ya, masuklah. Mungkin Rosi sudah tidur. Tapi tidak apa, kamu bisa melihatny
Bramantyo memandang Clarissa. Dia tersenyum dengan tatapan yang sengaja dia buat seolah dia kesal. Clarissa menggembungkan pipinya. Clarissa pikir masalah baru akan segera muncul. "Ya, aku kesal. Aku cemburu," kata Bramantyo. "Upss ..." Clarissa menepuk kedua pipinya. Dadanya tiba-tiba degdegan. "Maunya begitu." Secepat kilat Bramantyo melanjutkan. Nada suaranya berubah, kembali normal. "Hah?" Clarissa mengangkat kedua alisnya dan melebarkan mata. "Aku bukan anak baru gede, Clarissa. Kamu pikir apa? Kalau aku cemburu, aku masuk ke dalam kamar lalu aku damprat papa kamu, begitu? Atau lebih ekstrim aku tonjok mukanya ..." Clarissa tersenyum lebar. Ucapan Bramantyo kembali dilepaskan dengan nada lucu. Clarissa lega, Bramantyo hanya mengerjai dia. "Om, bisa aja becanda," ujar Clarissa. "Kamu itu, seperti keponakan aku. Umur kalian ga jauh beda. Dia mirip kamu, gayanya. Kalau melihat kamu aku jadi ingat keponakanku itu. Maka
Selama tiga hari Clarissa dan Adimasta bolak balik ke rumah sakit dan kampus. Ke kampus jelas untuk urusan kuliah, sedang ke rumah sakit bergantian menjenguk Rosita. Yenny juga sempat ikut dua kali menemui Rosita di rumah sakit. Seperti yang Clarissa dengar dari Bramantyo tentang keinginan Rosita dan juga yang Adimasta katakan, Clarissa ingin mewujudkan keinginan Rosita agar dia segera sehat kembali. Siang itu sepulang kuliah, Clarissa langsung ke rumah sakit. Dia datang sendiri. Adimasta dan Yenny ada urusan lain yang harus diselesaikan. "Mama!" Clarissa masuk kamar Rosita dengan wajah ceria. "Hai, Sayang!" Rosita sudah jauh lebih baik. Tidak pucat hanya masih lemas. Dia belum bisa lama duduk apalagi berjalan. Bengkak dan ruam di beberapa tempat di bagian tubuhnya mulai hilang. "Mama, lihat aku bawa roti kesukaan Mama." Clarissa meletakkan tas kecil di meja. Dia mengeluarkan isinya dan memberikan sepotong roti rasa blueberry pada Rosita. "Kamu masih ingat roti kesukaanku?"
Mata Clarissa melotot lebar melihat Adimasta bersama cewek imut di dalam kelas itu. Dan dia ingat siapa cewek itu. Erni! Dengan cepat Clarissa melangkah masuk dan mendekati mereka. "Sudah kelar? Kita harus berangkat sekarang!" tukas Clarissa judes sambil menatap Adimasta. Adimasta dan Erni menoleh pada Clarissa yang datang tiba-tiba dan tampak kesal. "Oya, hampir selesai. Kamu kerjakan seperti yang aku tunjukkan tadi. Pertemuan berikut aku akan cek perkembangannya sejauh apa." Tetap tenang, Adimasta bicara lagi pada Erni. "Oke, Kak. Kalau yang ini ..." Erni pun seakan tidak melihat Clarissa ada di situ. "Adimasta Cakradinata, kamu ikut atau aku pergi sendiri!?" Clarissa menaikkan suaranya. "Iya, Clay, kita pergi. Aku duluan, Er," ujar Adimasta. Dia tersenyum pada Erni lalu berdiri, mengangkat tasnya dan mendekati Clarissa. "Hei, kamu Erni, kan? Ga usah cari kesempatan deketin pacarku, ya? Udah selesai pulang aja. Paham?" Claris