Aku memandangi resah jam yang melingkar dipergelangan tangan kiriku. Entah mengapa, bagiku detiknya terasa berjalan sangat cepat.
"Emily, aku harus pergi sekarang. Aku tidak ingin terlambat." Sudah berkali-kali aku berbicara dengan kalimat yang sama, tetapi Emily Campbell masih menyeretku keluar masuk satu persatu outlet mall.
"Sebentar lagi, masih ada yang ingin ku beli." Emily berjalan mendahuluiku dengan menggenggam seluruh belanjaannya, sementara aku hanya mengekor pada sahabatku ini.
Emily bisa dibilang sama dengan gadis kebanyakan, matanya akan menggelap jika sudah melihat barang baru terpampang. Berbanding terbalik denganku. Aku hanya berbelanja jika aku benar-benar membutuhkan suatu barang.
"Lily, bisa aku meminjam uangmu? Kartu kreditku sudah limit." Pinta Emily diikuti cengiran kudanya.
"Tentu saja." Aku merogoh dompetku, lalu memberikan kartuku padanya.
"Aku akan segera menggantinya."
"Tidak usah kau pikirkan. Setelah ini aku benar-benar harus pergi." Emily pun mengangguk dengan cepat seraya memberikan kartuku pada wanita yang berdiri dibalik mesin kasir.
Aku melirik ponselku yang terus berbunyi, siapa lagi jika bukan Matthew. Dia sudah mengingatkanku dari jauh-jauh hari bahwa pemotretan kali ini sangat penting.
"Maaf, boleh saya berfoto dengan anda?" Tanya salah satu pegawai saat kami hendak pergi. Wajahnya tergurat senang hingga dia menutup mulutnya sendiri. Tatapannya turut berbinar memperhatikan kami.
"Ya, mari." Jawabku.
Oh ini sebenarnya sudah terlambat. Aku tidak mungkin datang tepat waktu ke tempat pemotretan, tetapi aku tidak bisa mengabaikan permintaannya. Pegawai tersebut berdiri di tengah, diapit olehku dan Emily, sementara pegawai lainnya bersiap mengambil foto.
"Maaf, apa saya bisa berfoto berdua dengan anda saja? Saya sangat mengidolakan anda." Ucap pegawai itu pelan seraya melihatku. Emily yang mendengar hal itu langsung menunduk dan menepi.
"Bagaimana jika aku yang memotret kalian?" Tawar Emily tiba-tiba. "Biarkan aku yang memegang ponselmu." Lanjut Emily pada pegawai yang awalnya akan mengambil foto kami.
Emily membidik beberapa kali dengan raut yang jelas-jelas dipaksakan tersenyum. Pegawai tersebut memelukku erat sebelum akhirnya aku dan Emily melenggang pergi.
Entah para pegawai itu sadar atau tidak, Emily juga berprofesi sama denganku. Hanya saja dia memang baru menjajaki dunia model dengan serius selama 6 bulan terakhir. Kini aku merasa tidak tahu harus bersikap bagaimana pada Emily. Pasalnya hal barusan sudah sering terjadi, dan aku tidak ingin terus-menerus menyinggung perasaan Emily secara tidak langsung.
Gadis berambut pirang ini tiba-tiba saja menghentikan langkahnya, menatapku. "Lily, mengapa kau melamun?"
"Aku lapar." Ucapku kikuk.
Emily menekan ujung hidungku. "Kau pembohong yang payah. Lihatlah, hidungmu kembang-kempis seperti ini." Tawa Emily pecah disertai dia mengamit lenganku. "Ayo cepat sebelum kau terlambat. Kau cukup duduk manis di mobil dan biarkan Emily Campbell yang menyetir. Let's go!"
*****
"Kata sepakat perusahaanku dengan anda sudah tidak berlaku dari 2 jam yang lalu. Kami tidak bisa mentolerir rekan kerja yang tidak profesional. Jadi anda bisa pergi sekarang." Ucapan pemimpin umum itu memang benar adanya. Sebenarnya aku bisa mempersempit keterlambatanku apabila jalanan tidak menggila seperti tadi.
"Tidak bisakah anda mempertimbangkannya lagi, Tuan?" Aku melirik Emily yang kini bersuara juga, tengah membujuk, agar tetap menjadikanku model di brand parfumnya.
"Anda siapa?"
"Saya model baru, Emily Campbell. Kami mohon agar anda mempertimbangkan lagi keputusan anda."
Pria itu memperhatikan Emily, lalu tersenyum tipis. "Maaf, tapi ini bukan keputusan saya semata, melainkan keputusan kami atas nama perusahaan. Keputusan ini pun sudah bulat dan tidak bisa dibatalkan."
"Baik tuan, saya mengerti. Maafkan atas ketidakprofesionalan saya." Ucapku menengahi.
"Tidak semudah itu, Lily. Dia dan perusahaan sialannya harus memberikan ganti rugi karena telah membatalkan perjanjian ini secara sepihak." Emily kini mengomel pada pria yang tengah menggelengkan kepalanya. Mungkin dia terlanjur kesal dengan tingkah laku kami.
"Sudah hentikan, Emily." Bisikku.
Matthew yang awalnya hanya diam lantas menarik paksa Emily. Aku tahu apa yang terlintas dipikiran managerku ini. Dia tak ingin namaku terlihat semakin buruk di hadapan publik.
"Maaf Tuan, kami sangat mengerti keputusan anda. Sekali lagi maaf. Kami permisi." Matthew kini membawaku dan Emily keluar dengan mencengkram kami.
"Kau kemana saja sebenarnya, Lily? Kau tahu kita baru saja kehilangan pohon uang! Mereka tadinya sudah menawarkan harga tinggi dengan memintamu untuk menjadi modelnya." Matthew menginjak pedal rem dalam-dalam setelah mendudukkan kami berdua di kursi belakang.
Aku hanya terdiam tidak merespon gerutuan Matthew, sama halnya dengan Emily. Kami terlalu sibuk akan pikiran masing-masing.
Tiba-tiba ponselku bergetar, dari Emily.
From: Emily
Lily, maafkan aku. Ini tidak akan terjadi jika aku tidak memaksamu menemaniku berbelanja...
Aku menoleh pada Emily yang tetap menundukkan wajahnya. Pasti dia dilanda perasaan bersalah.
To: Emily
Ini bukan salahmu. Kau tidak perlu meminta maaf.
Emily mendongak. Aku tersenyum simpul pada sahabatku ini dan langsung memeluknya. Seolah aku dan dia mempunyai ikatan batin, di saat bersamaan kami tertawa. Tawa kami kian lepas, mana kala mendengarkan Matthew yang masih terus memberikan wejangan dari kursi kemudinya.
*****
"Bagaimana menurutmu? Kau suka?" Aku terdiam melihat dress berwarna merah yang Julian taruh di atas sofa. Mengetahui aku bungkam, membuatnya berpikir bahwa aku tidak menyukai hadiah pemberiannya. Padahal pikiranku berkelana pada peristiwa beberapa hari kemarin, di mana aku diselamatkan oleh pria misterius. Entah mengapa hari ini tiba-tiba mengingat sosok nya lagi. "Apa dress ini sedemikian buruknya?"
Aku memberikan Julian pelukan erat, kemudian mengecup pipinya. "Ini sangat cantik. Kau tidak perlu membelikanku hadiah setiap saat."
Julian menyembunyikan anak rambut di belakang telingaku. Mata biru lautnya memandangku penuh kasih. "Bahkan aku sanggup memberikan seluruh isi dunia untukmu, sepanjang kau bahagia."
"Termasuk satu cup mie instant di malam hari?" Candaku iseng, teringat bahwa aku seharusnya sedang dalam misi marah terhadap pencuri makanan di apartement ini.
"Terkecuali itu." Kepalanya menggeleng, menolak. Kami tertawa geli bersama. "Kau tahu, aku sebenarnya kurang setuju jika kau mengenakan pakaian minim di depan orang banyak. Namun saat aku melihat dress ini, aku tahu kau akan panas apabila memakainya."
Julian menyusuri jarinya di wajahku, kemudian mencium bibirku. Dia melumatku penuh, menginginkanku untuk aktif membalas gerakannya. Aku yang tengah menikmati sentuhan kekasihku, langsung terlonjak begitu sekelebat melihat sesosok pria. Dia berdiri dengan melipatkan kedua tangannya. Tatapannya tajam, seolah menyalak marah. Sontak hal itu membuatku menarik diri dari tubuh Julian.
"Kenapa, sayang?" Julian protes tanpa mengetahui bahwa dibalik panggungnya ada pria asing yang tengah memergoki kami berciuman. Tunggu, dia tidak asing. Dia adalah pria mesum yang pernah menolongku dari kejaran paparazzi. Lalu kenapa ia bisa masuk ke sini... Ke apartmentku?!
"Apa aku mengganggu ketenangan di sini?" Satu sindiran tajamnya membangkitkan amarahku.
"Hey, mate! Kau akhirnya datang juga." Julian berbalik menghampiri... mungkin temannya? Oh, sial! Dari sekian banyak orang, bagaimana mungkin bisa mereka saling mengenal?
Pandangan Julian beralih padaku yang tengah menunjukkan ekspresi aneh, sebab mulutku setengah terbuka, terus menganga. Keterkejutanku nyatanya tak hanya sampai di situ saja, lantaran kalimat-kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut kekasihku jauh lebih menggemparkan.
"Lily sayang, kau pernah bertemu dengannya bukan?" Tanya Julian memastikan. Tanpa butuh jawabanku, Julian disepersekian detik melanjutkan pembicaraannya dan rasanya aku benar-benar ingin pingsan. "Dia adalah bodyguardmu sekaligus pengganti August. Namanya Alex. Alex Willis."
Pria bernama Alex Willis melayangkan tatapan padaku dari ujung kepala hingga kaki. Bibirnya menyeringai lebar begitu jatuh di dadaku. Refleks aku menutupi bagian atas tubuhku yang hanya berbalut tanktop putih tipis. Baru dua kali bertemu, dan aku bersumpah sudah sangat membencinya!"Jaga matamu, pria mesum."Alex tergelak singkat. Dia sepertinya senang dicap dengan sebutan demikian. Setelah selesai dengan kegiatannya tidak senonohnya Alex pun mengulurkan tangannya. "Senang bertemu denganmu lagi, Lily Cansas."Ada penekanan saat dia menyebutkan namaku. Serak dan rendah suaranya menjadikan namaku terdengar lebih seksi. Diam-diam aku mencubit paha sendiri, sekedar mengirimkan sensasi dalam diriku supaya tersadar bahwa selama beberapa detik aku sempat gila.Situasi di mana Julian tengah menerima telpon, Alex manfaatkannya dengan mengedipkan sebelah mata. Aku seketika bergidik ngeri. Genit sekali. Aku tidak berminat jika setiap hari harus menghabiskan waktu bersama orang yang jelas-jelas be
Aiden si desainer, datang terpogoh-pogoh melihatku terjatuh dengan posisi yang super memalukan. Diikuti Emily dan beberapa model lainnya. Aku butuh tempat bersembunyi."Honey, apa kau terluka?" Suara baritone klas pria terdengar cemas, begitu berbanding terbalik dengan tampilan feminim Aiden. Sebenarnya jatuhnya tidak begitu sakit, malunya yang luar biasa sulit walau sekedar mengangkat dagu sendiri. Aku pun hanya menggelengkan kepalaku singkat, tanda aku baik-baik saja.Aiden hendak membantuku bangun, namun ku rasakan telapak tangan besar terlebih dahulu menyentuh pinggangku. Aku menoleh, ternyata Alex. Bukankah tadi dia pergi? Tak hanya membantuku bangun, Alex langsung gesit menggendongku. Apa-apaan dia?"Biar saya lihat dulu keadaan Lily. Anda semua bisa memulai latihannya lagi." Ucap Alex tegas. Tanpa berbicara lagi, dia berbalik meninggalkan kerumunan dengan diriku yang ada di dekapannya."Turunkan aku. Aku bisa berjalan sendiri." Spontan aku menggerakkan tubuhku. Aku takut pipiku
Kata-kata yang dilontarkan Alex Willis terus berulang. Ciuman singkatnya juga masih membekas. Pria itu tanpa berkata apapun meninggalkanku yang berhasil mematung selama beberapa menit di area parkir. Mungkin Alex berubah pikiran, lebih setuju untuk pergi ke bengkel mobil, ketimbang menyaksikan runwayku."Lily, ini pakaianmu. Segeralah bersiap." Suara Aiden menyadarkanku. Aku menerima dress dengan warna dominan putih dan aksesoris kecil pada bagian depan, pakaian semi formal untuk menghadiri pesta.Dalam dua menit aku sudah siap, diikuti dengan makeup artist yang memoles tipis sekitaran wajah dan leherku. Berdiri tepat di belakang Emily Campbell, kami saling memberikan semangat lalu tertawa untuk menghilangkan rasa gugup. Biasanya aku tidak setegang ini. Semoga saja semua berjalan lancar.Menghela nafas, aku mengangkat daguku lurus dan tatapan mataku seketika berubah menjadi tajam, namun tetap hangat –itulah yang selalu berbagai majalah kerap katakan disetiap ulasan mereka. Aku berjalan
Bukankah itu suara Julian?Aku meronta dari tubuh Alex yang sedang sibuk menjamah leherku. Dia seperti tidak ambil pusing dengan fakta bahwa kami tengah tertangkap basah. Bahkan nafasku kian tertahan sewaktu Alex memberikan gigitan kecil dan hisapan di sana.Dia menandaiku."Alex... hentikan." Suaraku terputus, antara ingin mengerang dan menyudahi aksi gila kami. Tangan Alex dengan berani menggerayangi bagian bawah tubuhku. Jemarinya berlarian di bagian dalam pahaku, membentuk pola berantakan. Begitu dia akan bertindak lebih jauh, mataku terbuka lebar dan langsung mendorong dadanya."Relax, baby. Kita bercinta sekalipun kekasihmu tidak akan tahu."Alex menyengir tanpa rasa bersalah. Sementara dengan nafasku yang masih terengah, dia turun dari mobil untuk menyapa Julian. Alex jelas sedang mengulur waktu agar aku merapihkan kekacauan akibat ulahnya. Dengan gugup aku menyisir rambutku asal menggunakan jari, begitupun pakaian bawahku ku rapihkan cepat-cepat. Setelah membuka pintu mobil, ak
Aku tidak henti memaki Alex dalam hati, merutuki setiap perkataan dan perlakuan pria tersebut padaku. Apa yang sebenarnya ada di dalam pikirannya?! Dia sudah menciumku dua kali! Dia juga mengatakan ingin menikahiku! Kami bahkan baru saling mengenal beberapa hari. Namun bukan berarti jalan pikiranku akan berubah seandainya aku dan Alex sudah mengenal selama satu bulan, satu tahun, bahkan satu tahun sekalipun.Kenapa Alex kian mempoposisikanku dalam keadaan yang sulit?Menjatuhkan tubuhku di ranjang, aku membenambakan wajah pada tumpukan bantal empuk. Tanpa beranjak, aku meraih ponselku yang berada di atas nakas dan mencari nomor Julian."Hallo say- oh, shit! Hentikan."Dahiku seketika mengerut mendengar suara Julian. "Julian, apa yang terjadi denganmu? Apa ada masalah?""Tidak ada apa-apa, Lily. Tadi ada office boy yang menumpahkan kopi ke celanaku.""Aku kira ada a-" Ucapanku terhenti ketika mendengar jelas gelak tawa seorang wanita. Pikiranku mulai bercabang, memikirkan berbagai kemun
Rabu siang ini berjalan lancar. Tidak ada kejanggalan bahwa penjahat tempo hari akan kembali menjalankan aksinya. Seselesainya sesi pemotretan untuk sebuah majalah remaja, Alex langsung mengantarkanku pulang. Di pelataran basement, tanpa turun dari mobil, dia bilang akan bergegas pergi ke sebuah perusahaan. Ya, pria ini baru saja mendapatkan panggilan kerja, namun bukan perusahaan tempat Julian bekerja. Aku menarik kesimpulan dia melamar ke beberapa tempat."Wish you luck! Dan dengan begitu kau akan segera berhenti menjadi bodyguard payahku."Aku terkekeh, walau sebenarnya aku tidak bersungguh-sungguh dengan ucapanku. Memang, akan bagus jika Alex mendapatkan pekerjaan yang benar-benar diinginkannya, namun jika ia diterima, itu berarti cepat atau lambat ia tidak akan berada di sisiku lagi."I know, you don't mean it." Tanpa ku duga Alex merangku. Sadar bahwa dia mulai bertingkah sekenanya, aku menarik tubuhku menjauh. Tenaga pria ini ku akui sangat besar, saat dengan mudahnya dia kembal
Bel sudah berbunyi lebih dari tiga kali. Tetapi aku dan Julian tetap tidak terpengaruh, apalagi perhatian dia tidak terlepas sedikitpun dari secarik kertas yang berada di genggamannya. Dengan keberanianku aku berjinjit untuk merebut kertas tersebut. Namun dia mengangkat tangannya lebih tinggi ke udara. Julian menatapku dengan tanda tanya, mengapa aku harus bertingkah sampai sebegitunya?Mata birunya menghakimiku, mengetahui bahwa ada sesuatu yang ku sembunyikan darinya. Aku pasrah walaupun belum siap jika hubunganku dan Alex terbongkar. Di sini aku sebenarnya tidak mengerti secret relation macam apa yang ku lakoni bersama Alex, penyebab dan kapannya pun aku sendiri tidak tahu menahu. Yang jelas, aku sudah bermain terlampau jauh, hingga tiba-tiba tanpa sadar aku sudah berada diujung jurang.Ku ibaratkan jika Julian membaca isi kertas itu, aku akan lepas dari ranting pohon yang mana merupakan penyangga hidupku. Hal gilanya adalah, aku tidak takut apabila harus jatuh dan terluka. Egois ji
"Lily! Fokus!" Setelah belasan take, lagi-lagi kalimatku tidak sesuai dengan script. Banyak kru yang menatapku tidak suka. Ya, aku menjadi penyebab waktu kerja mereka berjalan lebih panjang. Semua gara-gara perkataan Alex mengenai Julian. Aku tidak bisa berkonsentrasi sama sekali untuk pembuatan short movie kali ini."Maaf, break sebentar." Dengan terburu-buru aku meraih script yang sedang dibaca Alex."Kembalikan." Gusarku."Berlatihlah denganku. Anggap aku si Nick lawan mainmu itu." Aku tahu Alex bersungguh-sungguh ketika dia melipat kedua tangannya, dan matanya menatapku lurus."Lebih baik kau pergi.""Eits." Desisnya saat menghalauku yang hendak mengambil kertasku yang masih dipegangnya. "Kau tidak perlu membaca ulang. Kau sudah tahu pasti isinya. Bahkan aku sampai muak dan hapal seluruh ucapanmu." Alex menegakkan cara dudukku, menarik kedua ujung bibirku yang menghasilkan senyum paksa. "Berkonsentrasilah. Kau sangat buruk dalam hal itu.""Baiklah, tapi jangan anggap aku sudah mema