BONUS CHAPTER
-Enam bulan kemudian-
Persiapan pernikahan ternyata begitu melelahkan. Perihal baju, dekor, catering, dan hal-hal sepele seperti warna untuk souvenir saja, Lily dan Alex bisa sampai bertengkar. Tentu, karena Lily ingin semua tema pernikahan mereka bernuansa pink. Pun sama halnya ketika H-1 hari pernikahan, Lily mendadak ingin Alex mengecat rambutnya menjadi pink muda.
"Lily, pernikahan satu kali seumur hidup. Dan kau memintaku melakukan hal... itu?" Tanya Alex sambil menjatuhkan bokongnya di kursi. Wajahnya nampak pucat, tidak percaya atas kemauan calon istrinya.
"Apa permintaanku berlebihan?"
Alex terdiam, lalu mengacak-ngacak rambut hitamnya gusar. "B-bukan itu, sayang. Tapi aku baru saja memikirkan, di foto pernikahan kita nanti rambutku ternyata berwarna pink. Aku tidak sanggup membayangkannya."
"Kenapa dibayangkan? Kau hanya perlu melakukannya, bahkan itu tidak begitu sulit." Santai Lily, mulai terlihat k
Hallo. Aku mau ucapin terima kasih banyak buat antusias pembaca Love Affair.Anyway, kalian bisa baca karyaku yang lain di Good Novel diantaranya; Untuk Asa, Intimate Partner, dan Long Way Home. Atau boleh juga mampir ke aplikasi Dreameku. Salah satu buku yg mau aku rekomendasikan adalah: IN LAW (rate 18+).Sinopsis:Pernikahan indahku selama dua tahun akan menjadi sempurna apabila tidak ada Harry. Harry adalah pria paling brengsek yang pernah aku temui. Hingga suatu hari ia menyentuh batas kehidupan rumah tanggaku bersama Harvey, yang tak lain adalah kakak kandungnya sendiri.Yuk, kalau penasaran bisa langsung cus ke Dreame (username: bymiu). Silahkan dibaca karena kebetulan masih FREE alias no koin.Sekian dulu infonya.-bymiu
"Lily, bisa kau ceritakan mengenai project terbarumu?""Bagaimana perasaanmu masuk ke dalam nominasi kategori sexiest women alive?""Apakah benar berita tentang pertunanganmu?"Kurang lebih itulah pertanyaan-pertanyaan senada yang dilontarkan paparazzi dalam satu bulan terakhir. Aku hanya tersenyum simpul dan terus melangkah menghindari kerumunan yang semakin menjadi. Matthew yang merupakan managerku, sebisa mungkin membuat jarak agar aku bisa mudah berjalan. Dengan radius beberapa meter August sudah siap membukakan pintu mobil dan itu menjadikanku bernafas lega. Detik selanjutnya mobil membelah mulus jalanan malam kota London."Astaga paparazzi semakin tidak sopan saja!" Kesal Matthew. Yang selanjutnya terdengar adalah teriakan histersisnya karena mendapati tanganku tergores. Memang mengeluarkan sedikit darah, tapi tak apa. "Lihat saja. Aku hapal mereka semua berasal dari media mana saja. Beraninya mereka menyakiti artisku!" Sebuah plester bergambar binatang panda kini sudah menutupi
Tanpa berbicara, entah siapa dia mendorongku masuk ke dalam mobil. Baiklah, adanya dia memang menolongku agar wajah kacauku tidak muncul dalam berbagai majalah maupun internet pada esok pagi, tapi aku mulai takut saat dia mengemudikan mobil layaknya pembalap liar. Bunyi klaksonnya bisa membuat siapapun tuli."Kau bisa membuka jaketku sekarang." Suara berat khas pria terdengar.Pikiranku menerawang kemana-mana. Bagaimana kalau dia berniat menculikku, lalu meminta tebusan pada ibuku yang jauh berada di Hungaria? Bagaimana kalau dia satu dari sekian orang yang memberikanku teror? Bagaimana--?"Tidak ada untungnya bagiku untuk menculik wanita dewasa. Tetapi untuk bercinta denganmu patut ku pertimbangkan." Nafasku tertahan. Benar kata Emily Campbell –sahabatku, hari kamis memang bukanlah hari keberuntunganku. Lihat saja aku baru saja diselamatkan oleh pria mesum.Dengan ragu-ragu aku menyingkirkan jaket miliknya dari wajahku. Mataku seketika disuguhkan dengan sosok pria berkemeja coklat dib
Aku memandangi resah jam yang melingkar dipergelangan tangan kiriku. Entah mengapa, bagiku detiknya terasa berjalan sangat cepat."Emily, aku harus pergi sekarang. Aku tidak ingin terlambat." Sudah berkali-kali aku berbicara dengan kalimat yang sama, tetapi Emily Campbell masih menyeretku keluar masuk satu persatu outlet mall."Sebentar lagi, masih ada yang ingin ku beli." Emily berjalan mendahuluiku dengan menggenggam seluruh belanjaannya, sementara aku hanya mengekor pada sahabatku ini.Emily bisa dibilang sama dengan gadis kebanyakan, matanya akan menggelap jika sudah melihat barang baru terpampang. Berbanding terbalik denganku. Aku hanya berbelanja jika aku benar-benar membutuhkan suatu barang."Lily, bisa aku meminjam uangmu? Kartu kreditku sudah limit." Pinta Emily diikuti cengiran kudanya."Tentu saja." Aku merogoh dompetku, lalu memberikan kartuku padanya."Aku akan segera menggantinya.""Tidak usah kau pikirkan. Setelah ini aku benar-benar harus pergi." Emily pun mengangguk de
Pria bernama Alex Willis melayangkan tatapan padaku dari ujung kepala hingga kaki. Bibirnya menyeringai lebar begitu jatuh di dadaku. Refleks aku menutupi bagian atas tubuhku yang hanya berbalut tanktop putih tipis. Baru dua kali bertemu, dan aku bersumpah sudah sangat membencinya!"Jaga matamu, pria mesum."Alex tergelak singkat. Dia sepertinya senang dicap dengan sebutan demikian. Setelah selesai dengan kegiatannya tidak senonohnya Alex pun mengulurkan tangannya. "Senang bertemu denganmu lagi, Lily Cansas."Ada penekanan saat dia menyebutkan namaku. Serak dan rendah suaranya menjadikan namaku terdengar lebih seksi. Diam-diam aku mencubit paha sendiri, sekedar mengirimkan sensasi dalam diriku supaya tersadar bahwa selama beberapa detik aku sempat gila.Situasi di mana Julian tengah menerima telpon, Alex manfaatkannya dengan mengedipkan sebelah mata. Aku seketika bergidik ngeri. Genit sekali. Aku tidak berminat jika setiap hari harus menghabiskan waktu bersama orang yang jelas-jelas be
Aiden si desainer, datang terpogoh-pogoh melihatku terjatuh dengan posisi yang super memalukan. Diikuti Emily dan beberapa model lainnya. Aku butuh tempat bersembunyi."Honey, apa kau terluka?" Suara baritone klas pria terdengar cemas, begitu berbanding terbalik dengan tampilan feminim Aiden. Sebenarnya jatuhnya tidak begitu sakit, malunya yang luar biasa sulit walau sekedar mengangkat dagu sendiri. Aku pun hanya menggelengkan kepalaku singkat, tanda aku baik-baik saja.Aiden hendak membantuku bangun, namun ku rasakan telapak tangan besar terlebih dahulu menyentuh pinggangku. Aku menoleh, ternyata Alex. Bukankah tadi dia pergi? Tak hanya membantuku bangun, Alex langsung gesit menggendongku. Apa-apaan dia?"Biar saya lihat dulu keadaan Lily. Anda semua bisa memulai latihannya lagi." Ucap Alex tegas. Tanpa berbicara lagi, dia berbalik meninggalkan kerumunan dengan diriku yang ada di dekapannya."Turunkan aku. Aku bisa berjalan sendiri." Spontan aku menggerakkan tubuhku. Aku takut pipiku
Kata-kata yang dilontarkan Alex Willis terus berulang. Ciuman singkatnya juga masih membekas. Pria itu tanpa berkata apapun meninggalkanku yang berhasil mematung selama beberapa menit di area parkir. Mungkin Alex berubah pikiran, lebih setuju untuk pergi ke bengkel mobil, ketimbang menyaksikan runwayku."Lily, ini pakaianmu. Segeralah bersiap." Suara Aiden menyadarkanku. Aku menerima dress dengan warna dominan putih dan aksesoris kecil pada bagian depan, pakaian semi formal untuk menghadiri pesta.Dalam dua menit aku sudah siap, diikuti dengan makeup artist yang memoles tipis sekitaran wajah dan leherku. Berdiri tepat di belakang Emily Campbell, kami saling memberikan semangat lalu tertawa untuk menghilangkan rasa gugup. Biasanya aku tidak setegang ini. Semoga saja semua berjalan lancar.Menghela nafas, aku mengangkat daguku lurus dan tatapan mataku seketika berubah menjadi tajam, namun tetap hangat –itulah yang selalu berbagai majalah kerap katakan disetiap ulasan mereka. Aku berjalan
Bukankah itu suara Julian?Aku meronta dari tubuh Alex yang sedang sibuk menjamah leherku. Dia seperti tidak ambil pusing dengan fakta bahwa kami tengah tertangkap basah. Bahkan nafasku kian tertahan sewaktu Alex memberikan gigitan kecil dan hisapan di sana.Dia menandaiku."Alex... hentikan." Suaraku terputus, antara ingin mengerang dan menyudahi aksi gila kami. Tangan Alex dengan berani menggerayangi bagian bawah tubuhku. Jemarinya berlarian di bagian dalam pahaku, membentuk pola berantakan. Begitu dia akan bertindak lebih jauh, mataku terbuka lebar dan langsung mendorong dadanya."Relax, baby. Kita bercinta sekalipun kekasihmu tidak akan tahu."Alex menyengir tanpa rasa bersalah. Sementara dengan nafasku yang masih terengah, dia turun dari mobil untuk menyapa Julian. Alex jelas sedang mengulur waktu agar aku merapihkan kekacauan akibat ulahnya. Dengan gugup aku menyisir rambutku asal menggunakan jari, begitupun pakaian bawahku ku rapihkan cepat-cepat. Setelah membuka pintu mobil, ak