Jessica mengelus perut, ditatapnya piring-piring kosong dihadapannya. Jessica tersenyum kecil yang mungkin hanya dirinya yang menyadarinya. Dalam hati, ia menertawakan dirinya yang kelihatan rakus dihadapan Steve.
"Mau langsung ke butik?"
Pertanyaan Steve mengalihkan pusat pikiran Jessica. Ia langsung melirik jam bermerek di pergelangan tangannya.
"Terlalu awal ke butik, kita kemana saja dulu. Kau punya tempat pilihan untuk dikunjungi?"
Perbincangan di restoran berlanjut di dalam mobil, Jessica kembali dengan mulut cerewetnya, mengisahkan banyak hal terutama kesibukan esok. Steve memutar kemudi, membelok ke kanan.
"Taman?" Jessica mengamati samping kanannya bernuansa hijau.
"Ayo!" Steve melepas sabuk pengamannya, pintu mobilnya sudah terbuka separuh.
"Panas." Jessica mencebikkan mulut."
Tentu saja tidak. Kita duduk di bawah rindang pohon sana." Steve menunjuk pohon berdaun rimbun dengan dagunya. Ia lantas turun dari mobil, memu
[Kapan kau pulang? Jeremy menitipkan sesuatu padamu]Steve mengernyit membaca pesan dari Lynn. Ia melirik kembali ruang ganti yang belum kunjung terbuka. Steve menelepon Lynn, menjauh dari ruangan tersebut."Halo.""Kau sudah pulang?" tanya Lynn langsung."Apa maksud pesanmu?"Sekali-kali Steve menoleh ke belakang, waktunya hanya sedikit, dan terpenting jangan sampai ketahuan oleh Jessica jika dia menelepon Lynn."Tukang paket mengantarnya ke rumahku. Rumahmu kosong, katanya.""Oke, jangan coba membukanya.""Ya, ya, tadi aku sempat ingin mencongkelnya, beruntung Jeremy meninggalkan catatan kecil, hanya kau yang boleh membukanya." Lynn tampak murung mukanya, pasalnya dia benar-benar penasaran apa isi kiriman itu."Aku akan pulang segera, mungkin dua jam–""Steve, kau sedang apa?"Steve langsung mematikan sambungan telepon, ia berbalik, mendapati Jessica yang berkerut kening."Biasa, klien bisnis
Steve menoleh, Lynn meletakkan semangkuk mi dihadapan Steve.Lynn menyeruput mi-nya. Netranya tak sengaja menangkap sebuah buku tertindih bantal sofa."Menaklukkan gadis bertemperamen?" baca Lynn lalu melirik Steve yang sepertinya tak mendengarnya—Steve berfokus menonton kartun Tom and Jerry sembari mengunyah mi dengan pelan."Apa ini, Steve?" Lynn menyodorkan buku bersampul biru itu, sudut buku menyenggol pinggir mangkuk.Steve tiba-tiba tersedak, buru-buru Lynn menyodorkan air putih. Steve mengusap tengkuknya, ia menatap Lynn yang kini menuntut penjelasan padanya."Jangan bilang ini tentang dia." Lynn mendekat, menyipitkan mata menatap Steve.Sedangkan Steve lagi-lagi hanya menyengir. Lynn menepuk jidatnya."Kenapa repot-repot beli buku segala, kan ada aku sebagai penasehat hubungan asmara kalian. Kau mengira aku ini apa? Hmm, aku mengerti, apa karena dia hingga kau melamun tak jelas sedari pagi?" Lynn mengakui ada medan hatinya y
Hari itu, Steve tak terlalu sibuk di kantor. Jadilah ia bermain ponsel mengisi waktu luangnya. Dibukanya satu persatu akun media sosialnya yang sudah lama tak terjamah. Saat membuka tumpukan pesan dari fans fanatiknya, tak sengaja matanya menangkap mata akun Rose. Entah kenapa jemarinya justru meng-klik profilnya.Kosong.Segala postingan yang dulunya berisi ratusan foto sudah dihapusnya.Steve beralih menggulir beranda akunnya, mengalihkan pikirannya yang kembali terjun dalam luka lama.Postingan foto Lynn berlalu lewat di berandanya. Tanpa sadar, Steve senyum-senyum. Kemudian, dia teringat Jessica, jadilah ia berhenti pada kolom pencarian mengetikkan namanya. Profil Jessica hanya penuh dengan photoshoot-nya dengan kostum yang kurang bahan. Entah kenapa Steve bergidik melihat Jessica. Lynn sudah berdiri di depan ruangan Steve. Senyumnya lebar, bahkan teramat lebar."Langsung pulang?" tanya Steve."Aku akan belanja dulu," jaw
"Sampai jumpa besok," lambai Lynn lalu berlalu masuk ke rumahnya.Lynn menghempaskan tubuhnya di kasur empuknya, ia mengangkat tangan kirinya, melihat ikat rambutnya disana. Senyumnya lagi-lagi mengembang. Geli rasanya saat dia mengingatnya. Pipinya kembali bersemu merah."Astaga, Steve sangat dekat," batinnya. Ia memegangi dadanya yang kembali berulah.Dering ponselnya mengagetkan Lynn. Alisnya berkerut melihat nama Steve terpampang di layar."Ada apa, Steve?"Di seberang telepon, Steve menggaruk-garuk kepalanya."Aku lupa, dimana aku meletakkan jaketku? Di rumahmu atau ketinggalan di restoran.""Di mobilmu?""Tidak ada, aku sudah mengeceknya."Lynn beranjak keluar dari kamarnya. Benar saja, jaket kulit cokelat bertengger pada sandaran sofa."Jaketmu ada di rumahku ternyata.""Oh, baguslah. Kau belum tidur?""Belum, masih terlalu awal." Lynn melirik jam dinding, masih pukul sembilan."Jadi, s
"Meja lipat disana," tunjuk Lynn pada lemari sudut kamarnya.Steve mengatur meja lipat tersebut di atas paha Lynn dan meletakkan semangkuk soto."Selang ini menggangguku. Tak bisakah aku lepas saja?""Nanggung, cairannya sisa sedikit, tuh. Mubazir dibuang begitu saja."Lynn mencebikkan bibir, menyendok malas sotonya."Mau kusuapi?""Terus kamu makannya gimana?" Lynn melirik mangkuk milik Steve. Terlebih, Steve memang lapar, sedari pagi perutnya belum terisi. Lynn juga tahu diri, dia tentunya tak ingin merepotkan Steve lagi.Pria itu menyengir.Keduanya menikmati hidangan dalam diam. Panasnya kuah mengucurkan peluh keringat di dahi Lynn."Fiuhh, aku sudah sehat kembali." Lynn menunjukkan keringatnya di dahi lalu mengelapnya.Steve menggeleng-gelengkan kepala."Mungkin sebaiknya kau pulang," ujar Lynn sekembalinya Steve dari dapur—membawa mangkuk kosong."Kau mengusirku, begitu?""Ish, tid
"Ya, benar. Aku berencana menemui Jessica. Aku hanya sedikit penasaran kenapa dia tak menghubungiku akhir-akhir ini."Lynn menoleh, "Oh ya? Kau memang sebaiknya harus menemuinya." Lynn membuang wajah ke samping. Ia merasa jahat, trik liciknya tentu hanya akan berimpas pada Steve. Namun, wajah Lynn juga menyiratkan tatapan puas, sudah bisa dibayangkan bagaimana wajah masam Jessica yang penuh kekesalan.Steve berlalu keluar, melajukan mobilnya pulang ke rumah.Ternyata, Jessica sudah berdiri menantinya dengan tangan saling bersedekap di dada. Alisnya bertambah meliuk seiring mobil Steve memasuki pelataran rumahnya.Steve pun juga sama bingungnya. Tak biasanya wanita itu datang ke rumahnya tanpa pemberitahuan."Bersenang-senang di luar, huh?!" Jessica menatap tajam menusuk ke dalam manik mata Steve. "Sejak kapan kau disini?" tanya Steve langsung membuat Jessica memutar bola mata 360 derajat."Dua jam lalu." Jessica membuang tatapannya k
Setibanya di rumah Jessica, rupanya wanita itu sudah bediri tegang—kembali diliput amarah—kedua tangannya yang menjuntai di sisi badannya kini bersilangan depan dada."Kenapa kau lama sekali? Doyan sekali membuatku lumutan, iya?" semprot Jessica saat Steve sudah berdiri di hadapannya."Maaf, Jess. Tadi terhalang macet, " bela Steve.Jessica menyipitkan mata menatap Steve, mencari titik kebohongan di mata pria itu."Hm." Jessica menghela napas. Lalu matanya kembali menyipit, tangan kanan Steve sedari tadi bertengger sembunyi di belakangnya."Apa yang kau sembunyikan di belakangmu?"Steve tersenyum tipis lalu mengeluarkan sebuket bunga yang disembunyikannya."Untukku?" Jessica berpekik senang.Steve mengangguk.Jessica menerima bunga tersebut, membauinya. "Ah, romantis sekali. Dari mana kau tahu kalau aku menginginkan bunga saat ini?"Steve hanya menyengir. Dalam hati, ia juga berseru senang. Rasanya bag
Langkah Jessica terhenti, ia berbalik. Lantas maju satu meter."Apa yang harus aku katakan jika segala kepingan-kepingan yang tak disangka-sangka menjadi satu kesatuan unit cerita ... dan semuanya mengarah padamu." Jessica berlalu masuk ke mobilnya."Jess, aku tidak pernah melakukannya. Jess ... Jessica!!" Steve mengetuk pintu kaca mobil Jessica.Jessica menghela napas, ia menurunkan kaca mobilnya."Dengar, Steve. Aku ... aku bukan gantungan yang bisa seeenaknya kau gantung lama-lama."Ucapan Jessica bagai belati menusuk tepat ulu hati. Steve terdiam membatu di tempat hingga mobil Jessica kini sudah menjauh dari pelupuk mata.Steve mengacak frustasi rambutnya.Bulir-bulir air hujan satu per satu menetes dan semakin cepat laju tetesannya. Steve berteduh di halte bus, kedua kakinya sengaja ia selonjorkan hingga basah kuyup. Steve pulang ke rumahnya dengan perasaan kacau terombang-ambing. Ia menghempaskan tubuhnya di kasur empuk.