Sore itu, Rose memutuskan tak langsung pulang ke rumah. Mobilnya berbelok memasuki kawasan kompleks perumahan Steve.
"Hai," sapa Rose saat pintu terbuka. Pria itu hanya tersenyum lebar, tapi Rose tahu sesuatu tengah menjanggal pikiran kekasihnya.
Rose membalas tersenyum seraya menyelonong masuk rumah Steve.
"Ada apa kemari?" tanya Steve sedikit kikuk.
"Ada apa kemari?" ulang Rose. "Apa salah jika seorang pacarmu mendatangi rumahmu?"
Steve menggelar tawa kecil sesaat sambil menekan pangkal hidungnya. "Bukan itu maksudku—"
"Terus?" Rose memangku dagu, tersenyum geli mendapati wajah kejut Steve.
Sejenak kemudian, Steve memutar bola mata, sedang Rose sudah tertawa menyisakan garis lurus di matanya. Rose berpindah duduk di samping Steve. Menatap sejenak iris mata Steve, lalu menghembuskan napas.
"Kapan kamu akan mene
[Tepati ucapanmu semalam]Steve membaca pesan masuk. Dia tersenyum tipis. Dia pun menggeletakkan kembali ponselnya tanpa membalas pesan Rose.Steve mengatur napas, menatap pantulan dirinya di cermin. Hanya mengenakan pakaian kasual agar memberinya kesan santai, tapi wajahnya kendati demikian nampak tegang.Meraih kunci mobil di nakas, mengayun-ayunkannya di telunjuknya, ponsel yang hanya diselipkan di saku. Tak lama ponselnya ikut bergetar. Tertera nama Rose di sana.[Kamu akan berangkat, kan?]"Kau mengira aku ini apa? Tentu saja aku menepati omonganku. Namun ...."[Apa ada masalah, Steve?]Helaan napas berat lolos di bibir Steve."Kau benar-benar tak ingin menemaniku?"Rose menggigit pelan bibir bawahnya, dia bisa saja terlena dengan suara lesu Steve, tapi dia berusaha menahan diri.[Bukankah lebih baik jika kalian mengobrol empat mata?]Lagi dan lagi, Rose mendengar helaan napas di seberang.
"Aku menolak."Rahang Steve terbuka. Apa yang baru saja dia dengar? Sebuah penolakan? Hell no."Kamu ...."Rose tersenyum kecil, kening Steve berkerut dibuatnya. Gelak tawanya terasa ingin meledak."Aku menolak menikahi pria lain selain Steve Robinson."Seketika tawa Rose meledak. Wajah cengo Steve jauh lebih buruk dibanding ekspresi kagetnya sebelumnya.Rose menepuk pipi Steve pelan, menyadarkan keterkejutannya. "Steve!""Maksudmu?"Ucapan Steve spontan membuat Rose memutar bola mata, merasa gemas dengan Steve."You look like an idiot. Just give me a propose, that is all you should do. Right now, in here!"(Kamu terlihat seperti idiot. Lamarlah aku, satu hal yang harus kamu lakukan sekarang.)Mata Steve berkilat-kilat. Diraihnya jemari Rose, menggenggamnya erat, lalu menciumi punggung tangannya lembut.Steve mengatur napasnya. "Roseletta Lee, menikahlah denganku."Sudut bibir Rose kian tertar
Roseletta Lee, wanita yang berkebangsaan Ukraina yang mengikuti program pertukaran pelajar internasional lima tahun lalu. Sebuah kesialan yang membawa keberuntungan. Indonesia bukan negara yang ingin ditujunya namun karena paksaan orang tuanya –yang memiliki mitra bisnis yang cukup banyak yang berasal dari Indonesia. Rose terpaksa menurut saja. Lynn Meinen menjadi teman pertama Rose di universitas tersebut, keduanya menjadi lebih akrab. Awalnya, Rose merasa tak yakin bisa berteman dengan Lynn. Perawakan Lynn tampak bagai mahasiswi nakal, rambut berwarna-warni yang digonta-ganti tiap akhir bulan. Tampak mengerikan. Namun, nyatanya Lynn benar-benar gadis yang hangat, ceria, dan paling mudah mencairkan suasana canggung. Sebuah kesalahan fatal Lynn yang memperkenalkan Rose pada Steve. Apa yang terjadi? Steve jatuh cinta pada pandang pertama dengan Rose, bukan karena perawakan cantik Rose melainkan apa yang ada dalam diri Rose memenuhi
"Kapan kau akan masuk kerja? Kau sudah melebihi masa batas wajar izin sakit." Lynn mengalihkan topik pembicaraan, ditenggaknya kembali sodanya, netranya menatap Steve. Dalam hati, Steve membenarkan ucapan Lynn, atasannya tentu curiga jika Steve menambah masa cuti izinnya lagi. "Besok," balas Steve. "Aku akan menjemputmu besok!" Lynn mengelus punggung tangan Steve. Lagi-lagi Steve hanya menunduk melihat tangan Lynn yang masih mengelus tangannya. Steve bekerja di salah satu cabang perusahaan multinasional, di divisi administrasi keuangan. Sedangkan Lynn berada di divisi manajemen personalia. Steve tengah menikmati sarapan paginya bersamaan dengan Lynn yang datang dengan setelan kantornya. Tak ada pembicaraan berlangsung, Steve menenggak habis segelas susu, meraih tanda pengenalnya dan mengalungkannya di lehernya. Lynn duduk di kursi kemudi, Steve memaksa agar dirinya sa
Steve meraih kacamata di laci yang selalu dipakainya saat bekerja. Netranya mulai fokus menatap di layar monitor. "Jadi, ceritakan!" tuntut Lynn sembari mengunyah nasi pecel lele-nya. Keduanya memutuskan makan siang di luar, tidak terlalu jauh dari kantornya. "Setidaknya biarkan aku makan dulu. Aku lapar!" balas Steve membuat wajah Lynn berkali-kali lipat lebih cemberut dibanding paginya. 15 menit terasa lama bagi Lynn, dia menyedot es teh-nya menatap Steve yang masih menyantap makanannya. Steve tak menggubris Lynn yang sedari tadi menuntut penjelasan. "Ayolah!!" rengek Lynn. Steve tak habis pikir watak Lynn yang satu itu, terlalu penasaran dengan cerita orang terdekatnya. Bahkan Lynn mendapat julukan dari teman-temannya 'ratu kepo dari Belanda' Lynn memang setengah bule setengah indonesia. Namun, Lynn tak peduli dengan julukan itu, menuntaskan rasa penasarann
"Itu karena donatnya gagal move on, hatinya sudah lebur jadi abu. Makanya bolong," jelas Lynn dalam satu tarikan napas.Wajah Steve langsung cengo, gigitan donat dalam mulutnya hampir jatuh. "Teori macam apa itu?" sanggah Steve. "Teori Lynn ulala yang membahanalah!" ujar Lynn dalam satu tarikan kecepatan penuh. "Kau baru saja menyindirku?" Steve menyipitkan mata. "Baguslah kalau kau merasa tersindir," jawab Lynn sambil lalu membawa cangkir teh kosong miliknya dan milik Steve. Steve memandang punggung Lynn yang tengah mencuci cangkir itu lalu meletakkannya di rak samping wastafel. Lynn mengeringkan tangannya kemudian mendekat ke arah meja. "Berikan ponselmu!"Steve melihat Lynn bergantian dengan tangannya yang kini menadah meminta ponsel. "Apa yang ingin kau lakukan?" tanya Steve membuat bola mata Lynn berputar 360 derajat.
"Tragedi putus!!!"Lynn lantas berujar 'oh' mengingat Jessica adalah tokoh utama dalam cerita Steve kemarin. Wajar saja Lynn lupa, Lynn memang kategori pendengar yang tak menaruh minat pada nama seseorang yang tak dikenalnya. "Jadi, kapan?" tanya Lynn mengambil donat rasa coklat dan mengunyahnya pelan. "Aku akan menceritakannya saat makan siang nanti!" balas Steve sembari berbalik meninggalkan meja Lynn dengan cekikikan melihat wajah cemberut Lynn. Netra Steve kembali fokus dengan layar monitornya, kesibukan kerja mengalihkan pusat pikiran Steve. Beberapa kali, Fianne berbalik ke arahnya untuk berbagi tugas mengerjakan laporan bulanan. "Jadi?" Steve dan Lynn baru saja menyelesaikan makan siangnya, Steve kembali memesan dua cappucino. "Kami sepakat bertemu di malam minggu," jawab Steve lalu menyesap cappucino-nya.
"Karena aku sudah memakai lipstik, maka kamu harus ...." Lynn berjinjit di hadapan Steve, melupakan sambungan ucapannya. Sedangkan, Steve mematung di tempat mendapati Lynn tengah menyapu kuas lipgloss di bibir bawah Steve. Jarak keduanya hanya tersisa beberapa senti saja, seorang pelanggan yang lewat di hadapan Steve sontak kaget, Steve menduga bahwa pelanggan itu mendapat perspektif pandang yang salah, mengira Steve dan Lynn tengah berciuman. "Wuah!" puji Lynn menatap warna softpink lipstik itu di bibir Steve. Lynn lantas mengambil lipstik baru yang sama. Steve masih dalam diamnnya sembari mengusap bibirnya, menghapus warna lipstik tadi. "Aku lapar," ujar Lynn lantas menarik tangan Steve menuju restoran mal di lantai tiga. Lynn memang tampak terlihat biasa saja. Namun jantungnya sudah berdegup kencang, Lynn juga tak mengerti darimana dia mendapatkan keberanian untuk melakukan hal tadi, Lynn meyakinkan dirinya bahwa apa yang dilakukannya