Aku tertawa kikuk, cengengesan, serta tersipu malu oleh pujiannya. Sementara laki-laki itu terus bergeming dengan sorotannya. Ia menerus menatapku intens. Jakunnya turun naik, menunjukkan ia beberapa kali menelan saliva."Mas ...." Aku mulai was-was. Terlebih ketika tatapannya berubah sendu seiring gerakan kedua bibirnya yang saling melipat ke dalam. Lalu hangat napasnya mulai terasa menyapu wajahku.Per sekian detik, jantungku bagai terhenti karena teramat syok. Wajahnya mendekat, bibirnya dengan cepat menyesap lembut bibirku. "Mas ...," lirihku tertahan. Aku berusaha mendorong tubuhnya, menjauhkan diri, melepaskan tindakan laki-laki itu. Akan tetapi, aku seperti tidak bertenaga.Mas Farel melakukannya beberapa lama. Begitu lembut hingga aku merasa sangat nyaman dan terbuai. Entah dorongan dari mana, aku tanpa malu sedikit memberi balasan. Hangat napas kami saling beradu. Lalu setelah itu ia menarik kembali wajahnya dariku.Entahlah. Ketika ia menghentikan sendiri tindakannya, aku j
"Heh?"Aku yang sebelumnya dalam mode malas, sontak menantang tatapnya."Mas bilang apa?"Aku harus memastikan bahwa telingaku tidak salah mendengar. "Saya mencintai kamu," ulangnya gamblang.Astaga .... Ternyata aku tidak salah dengar.Aku menahan napas. Jantungku sudah berdegup tidak karuan sejak tadi, bertalu, melompat-lompat di dalam sana.Aku terpaku cukup lama. Setengah tidak percaya dengan kalimat yang baru saja dia ucapkan. Dari sikap dan caranya bicara sejauh ini, aku sudah dapat merasa bahwa dia memang mencintaiku. Jelas sekali ada cinta yang tersirat dalam dirinya untukku. Akan tetapi, saat dia mengucapkannya secara lugas seperti ini, tentu rasanya sangat berbeda. Aku merasa lebih tersanjung, lebih bahagia. Jiwaku seperti melayang di awang-awang. Ini ibarat sebuah pengakuan. Cinta itu memang butuh untuk diucapkan demi meyakinkan pasangan. Apalagi seperti Mas Farel yang sangat pelit bicara bahkan terkesan dingin dan sombong. Mendapat ucapan cinta darinya ibarat menang lo
"Ehem!" Dehaman lantang tak biasa Bang Hadi terdengar dari sudut tempat ia berdiri. Aku menoleh, merasa janggal karena seolah suaranya sengaja dibuat-buat.Laki-laki itu melangkah lebar, meninggalkan area parkir seperti tergesa-gesa. Ia bahkan seolah sengaja memalingkan muka dari arah kami."Mas apaan, sih?" Aku melebarkan bola mata, protes atas apa yang dia lakukan."Apaan, kenapa?" tanyanya dengan ekspresi bagai tak berdosa.Belum sempat aku menyahut kembali, beberapa siswa lewat di depan kami sambil cekikikan."Ehem ... Ehem ....""Cie cie, Ibu Hanum ....""Ehem ....""Cuit ... Cuit ...."Mereka bising menggoda dengan mengeluarkan suara dehaman dan cuitan.Letak parkiran dewan guru bersebelahan dengan parkiran siswa. Saat itu sudah banyak sekali siswa yang berdatangan. Aku yang belum pernah diantar laki-laki selama ini, pasti saja menarik perhatian mereka. Kemudian saat mereka memerhatikan, justru Mas Farel tanpa akhlak melayangkan satu kecupan yang tidak mengenal tempat.Argh! Aku
"Apa?" Aku bertanya ingin tahu."Jika kamu bilang dulu pernah menyukai laki-laki itu dan katamu itu hanya masa lalu, apakah sekarang kamu mencintai saya?""Heh?" Aku terkejut dengan pertanyaannya yang tiba-tiba.Cinta?Tentu saja aku mencintainya, tetapi untuk mengakui perasaan itu di depannya dan mengucapkannya secara gamblang, rasanya sulit sekali. Aku merasa malu. Bibir seolah berat untuk digerakkan. Mendesah resah, aku merutuk diri sendiri."Hanum!" panggilnya lagi."Apa kamu mencintai saya?" Ia masih menuntut jawabanAku masih terdiam, belum mampu untuk menjawab pertanyaannya. Padahal kalau dipikir-pikir, apa susahnya untuk menjawab?Laki-laki itu tampak menganjur napas, lalu menarik tuas gas, "Saya pulang," ucapnya."Mas!" Aku kembali menahan tangannya."Apa lagi?" Dia menatapku datar. Aku menelan ludah beberapa kali untuk membasahi kerongkongan."Iya. Aku mencintai Mas Farel," ucapku dengan susah payah, gagap dan terbata. Ya ampun, mengakui cinta sama suami sendiri rasanya se-j
"Ish!" balasku lagi disertai emoticon mendelik. Laki-laki ini ternyata omes juga. Rupanya saja yang cool begitu, ternyata di dalamnya sama saja dengan kebanyakan laki-laki. Omes."Kenapa?" "Biar kamu paham bedanya."Dua pesan pendek beruntun darinya."Mas itu ternyata omes, ya. Kelihatannya diam begitu. Cool. Ternyata diam-diam menenggelamkan," balasku."Omes itu apa?""Otak mesum.""Oh. Mesum sama istri itu wajib. Kalau enggak mesum nanti malah saya berdosa."Aku mencebik gemas. Modus saja. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri hatiku rasanya seperti dipenuhi kupu-kupu merah jambu. Eh, apa ada kupu-kupu berwarna seperti itu? Anggap saja ada.Aku senang laki-laki ini sudah mulai luwes, tidak kaku lagi seperti pertama kami bertemu. "Gara-gara, Mas, aku jadi pusat gosip di ruang guru." Aku mengadu."Gosip bagaimana?""Aku dikatakan tidak beretika, ciuman di parkiran dan dijadikan pusat tontonan para siswa.""Siapa yang bilang?""Dia.""Dia? Laki-laki itu maksud kamu?""Iya. Siapa lagi."
Sepeda motor yang membawa kami akhirnya sampai di rumah. Azmi sepertinya sudah pulang lebih dulu, sepeda motornya sudah terparkir di dalam garasi."Assalamualaikum." Aku memberi salam."Waalaikumsalam." Suara Umak dan Azmi menyahut bersamaan. "Kak Hanum sudah pulang?" Adikku itu bergegas menyusulku yang sedang melepas sepatu di teras."Iya. Kenapa?" tanyaku."Lekas ganti baju, Kak. Aku sudah lapar," sahutnya. Jika aku mengajar dan Azmi sekolah, kami memang selalu makan siang di jam-jam ini. Makan siang yang terlambat memang. Namun, tetap dijalani demi kebersamaan."Iya," balasku. "Nak Farel juga ikut makan." Umak yang mengikut di belakang mengimbuhi."Iya, Mak," sahut Mas Farel tanpa sungkan lagi. Laki-laki itu menyusulku ke kamar, mengantar plastik dan tas ransel yang tadi ia bawa."Mas enggak ganti baju?" tanyaku saat melihat dia hanya duduk di pinggir ranjang."Enggak usah. Begini saja," sahutnya. Aku mengangguk, lalu mengambil baju ganti di lemari dan menuju ke kamar mandi. Leb
Aku tenggelam ke dalam lembut dan hangat sentuhannya, sesuatu yang baru pertama kali kurasakan saat bersama dia. Aku laksana mabuk kepayang.Mas Farel merupakan orang yang pertama kali melakukan perbuatan sejauh ini padaku, yang kuharapkan sekaligus menjadi orang terakhir.Hangat embusan napas kami saling menyapu, membangkitkan desiran-desiran halus di setiap aliran darah, membakar kebahagiaan yang menumpuk di hati lalu menyebarkannya ke seluruh sel tubuh.Aku bahagia bersama laki-laki ini. "Hanum." Mas Farel menggumam di sela aktivitasnya."Hmm?" sahutku."Saya mencintai kamu, Hanum. Sangat mencintai kamu," bisiknya."Aku juga mencintai, Mas Farel." Tanpa malu dan sungkan lagi, aku membalas pernyataan cinta dari laki-laki itu. Ia memelukku semakin erat setelah mendengar balasanku, melanjutkan aktivitasnya beberapa jenak sebelum menghentikannya dan menatapku sendu dengan napas yang memburu."Jadi sudah paham sekarang?" tanyanya. Satu senyum tipis terulas di bibirnya."Paham apa?" Ak
Seperti yang telah direncakan sebelumnya, sore hari bakda ashar kami ke studio foto untuk cetak foto gandeng dan fotoku sendiri.Mas Farel mengenakan pakaian PDH. Ia ternyata tampak lebih memesona dengan pakaian itu. Baju yang membungkus press tubuhnya, menonjolkan otot-otot liat miliknya, menambah kesan gagah dan cool yang ia punya.Kami sengaja tidak kemana-mana setelah proses pengambilan gambar. Menunggu kurang lebih 45 menit proses cuci cetak foto di studio, kami langsung pulang untuk melengkapi persyaratan lain yang diperlukan.Beberapa berkas persyaratan sudah disiapkan dari kesatuan, kami hanya perlu menandatangani saja. Yang perlu kami siapkan adalah surat keterangan aku belum menikah yang diketahui aparat desa dan KUA setempat, dokumen tertulis keterangan menetap orang tuaku, SKCK-ku dan Umak, ijazah pendidikan terakhirku, akte kelahiran, serta fotokopi KTP-ku dan Umak. "Mau menikah sudah seperti mau melamar jadi anggota dewan saja," ungkapku saat me-list ulang syarat-syara