Sindy masuk ke jalan setapak yang hanya bisa di lewati oleh dua orang. Ia melihat di sekitaran jalan, berjejeran lima warung makan yang menjadi tempat singgah tukang ojek. Memperlambat langkah, ia berpikir untuk masuk ke salah satu warung, namun kaki tertahan.
Sindy hanya berdiri depan warung, hingga seorang ibu bertanya, “Mau makan apa? Sini masuk. Bisa lihat menunya di sini.” Sambil tersenyum, dan menunjuk selembar kertas berisi menu makanan yang tertempel di dinding.
“Aku tidak lapar, Bu. Aku ingin melamar pekerjaan di sini. Apakah ibu mencari karyawan untuk bekerja di warung, ibu. Mungkin bisa bantu untuk cuci piring atau masak,” ucap Sindy sambil ke dua tangan meremas-remas baju.
Ibu pemilik warung melihat Sindy dari ujung kaki hingga kepala, dengan tatapan iba ia berucap, “Oh, adek lagi cari pekerjaan. Maaf, aku sedang tidak butuh karyawan. Coba tanya di sana, siapa tahu butuh.” Sambil menunjuk beberapa toko yang berjejeran tidak jauh dari warungnya.
***Bertemu Anton di parkiran, membuat pikiran Aluna berubah, ia mengikuti dari jarak yang jauh. Saat melihat Anton menaiki lift, ia berbelok memilih naik tangga, di depan lift banyak mahasiswa yang sedang mengantri.Hanya lantai tiga, bagi Aluna itu mudah. Setelah melewati beberapa tangga, Aluna telah tiba di lantai tiga. Ia tidak ingin menunggu sore, untuk menemui Anton.Saat sudah mendekati ruangan, Aluna melihat Anton keluar. Memperlambat langkah, Aluna heran ketika melihat Anton berlari kecil. Anton melewati Aluna, yang sedang diam mematung.Anton menuju lift, memencet tombol berulang kali, tetapi pintu belum juga terbuka. Aluna menyadari jika Anton sedang berbicara dengan seseorang lewat telepon. Tak kunjung terbuka, Anton berlari cepat ke arah tangga. Semua orang yang menyapa, tidak satu pun di gubris oleh Anton.“Ada apa dengan Pak Anton, kenapa dia terlihat panik sekali?” batin Aluna, yang masih terdiam di tempat.&ldquo
Bola mata Aluna membesar, ia kaget. Terlintas dalam ingatan, saat Anton sedang terburu-buru dengan wajah yang cemas. ‘Aluna’ Suara Anton kembali terdengar. Lilis memegang pundak Aluna. “Kamu kenapa, Al? Itu telepon dari siapa?” Tidak menjawab pertanyaan Lilis. Menarik napas berat, Aluna menghembuskan. Bibir bergerak untuk berucap ‘Iya, Pak! Aku segera ke sana.' Telepon langsung di matikan sepihak oleh Anton. Aluna menoleh ke wajah Lilis yang sedang memandangnya penuh tanya. “Lilis, kamu bisa antar aku ke Rumah Sakit Pelita Indah?” tanya Aluna, mata telah berkaca, air bening berkumpul di kelopak. “Siapa yang sakit, Al?” tanya Lilis. “Kamu bisa antar aku atau tidak? Aku tidak membawa motor, tadi aku ke kampus di antar!” ucap Aluna dengar suara bergetar tanpa menjawab pertanyaan Lilis. Merasa iba melihat wajah rapuh Aluna. “Yuk!” ucap Lilis. Tidak menunggu waktu lama, mereka melangkah beriringan menuju parkiran.&
“Dia selalu menanyakan kamu! Sebelum tidur, saat bangun, bahkan saat bermain pun dia selalu bertanya ketika melihatku. Kapan Bunda pulang? Pertanyaan itu selalu keluar dari bibir munginya,” Anton masih berkata. Ia tidak tahu jika ada orang lain di dalam ruangan.Aluna masih terpaku melihat Angel yang terbaring lemah. Lidah kelu untuk berucap, terlintas ingatan tentang pembicaraan dengan Marfel. Terbersit dalam benak, rasa penyesalan. “Kalau saja waktu itu aku menolak permintaan Pak Anton, semua tidak akan seperti ini. Aku yang salah,” ia membatin.Sambil mengingat, Anton terus berucap,“teman-teman sekolah, kembali mengatakan jika Angel tidak punya bunda. Minggu kemarin ada acara di sekolah Angel. Beberapa orang teman bertanya kepada Angel. Ibumu di mana kenapa tidak mengantar? Angel mengatakan kepada mereka, jika bundanya sedang berada di luar kota. Tidak ingin Angel sedih, aku pun berkata kepada mereka saat itu, jika benar bundanya
Harusnya Aluna senang mendengar ucapan Anton. Ia tidak bersusah payah lagi untuk berkata, belum terpikirkan olehnya, sebuah alasan untuk membuat Anton tidak menyuruhnya lagi menjadi pengasuh Angel. Tetapi saat ini, Aluna terlihat lemah.Pemilik perasaan lembut itu, mulai menggerakan bibir, “Aku akan tetap menjadi pengasuh Angel, Pak! Setidaknya sampai Angel sehat, aku ingin menjaganya!”“Tidak perlu, Aluna! Aku tidak ingin membuat keputusan yang salah lagi. Cepat atau lambat kita akan jujur padanya, jika kita tidak pernah menikah, dan kamu tidak pernah menjadi bundanya. Sudah cukup selama ini kita berbohong. Aku tidak pernah menyesal mengenalkan kalian. Aku juga tidak pernah menyalahkan kamu atas kejadian ini. Tidak perlu khawatir, aku yang menjamin anak aku akan baik-baik saja! Pulanglah!” tutur Anton, dengan tegas.Aluna mengangkat wajah, melihat raut terpuruk Anton. Dengan ragu, ia berucap “Aku izin pamit, Pak!”
***“Fian! Bunga ini mau di antar ke mana? Di sini tidak ada alamatnya, hanya nomor handphone!” teriak Sindy. Membolak-balik kertas yang ada di bunga.“Tidak perlu aku tulis Alamat di situ, Moza! Masa kamu tidak tahu di mana Hotel Sindyolan!” ucap Fian lantang. Sambil memperbaiki bunga sesuai warna.“Aku benaran tidak tahu, Fian!”ujar Sindy, sambil menggeleng pelan. Menampakan wajah penuh tanya.Berbalik melihat Sindy. “Itu hotel terbesar di kota ini. Kamu lahir di mana sih, apa selama ini kamu tidak pernah keluar rumah. Hotel besar dekat stadion itu loh, Moza! Masa kamu tidak tahu?” ucap Fian, gemas melihat Sindy yang seperti orang baru di kota itu.“Oh. Okey!” ujar Sindy, langsung meninggalkan Fian. Tidak ingin membuat Fian marah, dan banyak bertanya tentangnya, karena ia yang terlihat seperti orang baru. Sindy mulai mengendarai sepeda. “Nanti kalau aku tidak tahu, aku akan b
Sindy sudah keluar dari gerbang. Sambil mengendarai sepeda, ia masih memikirkan kejadian di dalam hotel. Tidak terpikirkan olehnya, jika akan bertemu Laura. “Kamu harusnya tahu, Sindy. Jika kaburnya di Kendari, resikonya akan begini. Kamu akan bertemu dengan mereka, teman-teman lamamu. Bahkan kamu juga akan bertemu dengan Zolan, jika dia masih ada di kota ini," lirih Sindy menasehati diri.Sambil menggeleng, ia berpikir untuk tetap berada di Kendari. “Setidaknya kota ini yang paling aman, untuk aku bersembunyi. Kalau bukan di sini, di mana lagi aku akan melarikan diri. Aku sudah tahu lika-liku kota ini, meskipun banyak yang telah berubah. Kalau di Kota lain, aku akan menjadi orang asing. Setidaknya aku akan aman, selama tiap keluar rumah, aku selalu berpakaian seperti ini. Di sini banyak tempat untuk bersembunyi,” Sindy membatin, ia lanjut mengayunkan kaki, setelah lampu merah di jalan berganti hijau.Di tempat berbeda, seorang lelaki berbadan kekar s
*** Aluna sedang menatap langit-langit kamar, sudah dua hari ia tidak melihat Anton di kampus. Harusnya senang, aktivitasnya sekarang berkurang. Tetapi, hati tidak bisa berbohong. Aluna merasa kehilangan aktivitas yang selalu membuatnya bahagia. Jika dulu menjaga Angel menjadi pelampiasan dari kejenuhan menjalani hidup, sekarang semua itu sirna. Bahkan mungkin Anton sudah tidak mengizinkan Aluna untuk bertemu Angel. “Kalau saja aku tidak lama berpikir, kalau saja aku tidak egois, kalau saja aku lebih memikirkan Angel, pasti ini semua tidak akan terjadi. Aku yang salah! Anak itu masih terlalu dini, jika harus dibully di sekolah. Aku juga memang di bully oleh teman-teman di kampus, tetapi aku lebih bisa siap, karena aku sudah dewasa dan mentalku bisa berdamai dengan keadaan, meskipun itu sulit dan sakit. Tetapi itu tidak berlaku untuk Angel, dia masih terlalu kecil.” lirih Aluna. “Kamu harusnya lebih memikirkan perasaan anak kecil itu, Aluna. Dia hanya anak yan
“Yuk, tidur! Aku sudah ngantuk!” ucap Aluna, mulut terbuka berpura-pura menguap. Memperbaiki bantal yang menjadi sandaran agar kembali pada posisi awal. Aluna sudah berbaring, memiringkan badan membelakangi Zolan. “Al, kamu benaran ngantuk jam segini?” tanya Zolan, heran, sambil melirik jam yang ada di dinding. Ia mencolek-colek belakang Aluna untuk membangunkan. Merasa terganggu dengan tingkah Zolan, Aluna berucap, “Aku besok bangun subuh, jadi harus tidur cepat!” “Tapi aku belum bisa tidur, Aluna! Masa iya, tidur jam segini. Ini masih jam setengah sembilan!” Zolan berhenti mencolek belakang Aluna. Mengambil beberapa bantal untuk di jadikan pemisah. Zolan pun ikut membaringkan badan. “Kamu tidak bangun cuci muka dulu, baru tidur? Bukankah semua perempuan kalau mau tidur pasti bersih-bersih dulu? Nanti kamu jerawatan loo, Al,” Zolan masih mengajak Aluna berbicara, mencari cara agar Aluna bangun. “Masa iya sih, Al, jam segini kamu sudah n