Orangtuanya memang sengaja ikut hari ini. Mereka ingin melihat bagaimana proses panen parsial yang dilakukan sebagai gebrakan baru usaha Aruna. Setelah diskusi panjang dengan Affan bagaimana caranya bisa mendapatkan size yang diinginkan, keputusan panen parsial atau panen sebagian ini menjadi jalan keluar.“Kenapa menangis?”Ah … rupanya tanpa sadar dia menggeluarkan air mata. Aruna membalas senyum Adya dan memegang tangan ibunya lembut. Ini pertama kalinya Adya mengusap air matanya lagi sejak empat tahun lalu. Empat tahun lalu? Mendadak ingatannya terbang kembali ke masa itu. Suatu masa paling kelam dalam perjalanan hidup yang harus dia lalui.“Apa salah Runa, Bu?” Aruna menyandarkan kepala di bahu ibu Adya.“Kenapa Tibra jahat sekali pada Runa?” Air mata Aruna mengalir. Perjuangannya selama ini seakan sia-sia saat dia tidak bisa memeluk kedua anaknya.“Sabar, anakku. Bahkan seorang anak yang diadopsi saat kecil pun berusaha menemukan orangtuanya. Apalagi Zahir dan Zafar, kedua cucuk
“Zahir, Zafar. Setelah makan siang segera bersiap ya, kita jemput Ayah di bandara.” Andhira meletakkan cumi goreng tepung di piring Anna. Anak gadisnya itu semakin manis saja di usianya yang menginjak delapan tahun.Andhira menoleh pada Zahir dan Zafar yang hanya diam saja. Dua kakak beradik yang terpaut usia dua tahun itu sibuk dengan piring masing-masing. Zahir berumur dua belas tahun dan Zafar sepuluh tahun.Mereka kompak menguasai cumi krispi yang baru diletakkan Andhira sehingga Anna memilih tidak mengambil lauk itu. Padahal, Andhira tahu sekali putrinya sangat menyukai menu itu.Empat tahun tinggal bersama, tidak membuat hubungan mereka menjadi cair. Anak laki-laki Tibra dan Aruna itu seolah menganggapnya tidak ada. Mereka bahkan tidak pernah menjawab setiap perkataan dan sapaan Andhira.Dua kakak beradik itu memang memilih mengabaikan Andhira. Untuk apa beramah-tamah dengan wanita yang telah menyingkirkan Ibu mereka? Walau Zahir dan Zafar masih kecil, mereka sudah paham apa yan
Aruna rutin setiap sebulan sekali berkunjung ke tempat tinggal baru Zahir dan Zafar. Bukan ke rumah, ada saja cara Riri membawa mereka keluar agar bisa menemui Aruna di penginapan. "Anna, nanti minta bantu Bi Sumi biar rambutnya diikat ekor kuda ya. Biar kompakan sama Ibu." Andhira mengelus kepala putrinya yang sedang asyik makan cumi tepung krispi saus asam manis. Akhirnya, Zahir dan Zafar mau juga berbagi. Mereka merasa tidak seru karena Anna pasrah saja tadi. tidak ada perlawanan sama sekali."Anna ikut jemput juga?" Zafar menoleh pada Zahir, Kakaknya. Ada nada protes sekaligus keberatan dalam nada suaranya.Zahir mengangkat bahu. Di melirik sekilas pada Anna, anak perempuan itu seusia dengan Zafar. Anna mengabaikan mereka. Sejak tadi gadis kecil itu sibuk menghabiskan makanan di piringnya."Memangnya dia siapa? Anna kan bukan anak Ayah?" Zafar kembali bicara.Sementara Zahir tersenyum tipis mendengar ucapan adiknya. Dia paham maksudnya. Zafar ingin meledek Anna lagi. Namun, Zahir
Pagi tadi Aruna memang memberi kabar hari ini akan tampil secara live. Stasiun televisi tersebut sudah meminta izin untuk melakukan liputan proses pemanenan di keramba jaring apung miliknya yang terletak di tengah laut Kepulauan Seribu. Aruna langsung mengiyakan saat salah satu pihak televisi menghubungi.Pemberitaan ini akan membawa dampak yang baik bagi usahanya. Selain bisa membangun nama baik di bidang budidaya udang vaname, dia juga bisa melakukan promosi secara gratis untuk usaha-usahanya yang lain.“Semoga saja ini bisa menjadi jalan semakin berkembangnya usaha yang sedang saya geluti. Sehingga akan menyerap semakin banyak tenaga kerja, yang tentunya akan membawa kebaikan bagi semua orang. In syaa Allah.” Senyum Aruna terlihat manis di layar kaca.“Aamiin.” Zahir, Zafar dan Riri mengaamiinkan ucapan Aruna.“Yuk matikan dulu ponselnya. Sebentar lagi sampai di bandara.” Andhira menjawil Riri. dia merasa sedikit muak mendengar pemberitaan tentang Aruna. Bosan sekali rasanya menden
Andhira menautkan alis melihat seseorang yang berlalu cepat dari samping Tibra. Dia seperti mengenal postur tubuh lelaki tadi. Namun, dia memilih mengabaikannya. Tidak mungkin orang itu bisa ada di sini. Lagipula, tempat itu jauh dari ibukota. Toh selama ini mereka aman di Solo. Bahkan, media pun tidak bisa mengendus keberadaan mereka di sana.“Mas.” Andhira mengulurkan tangan. Dia awalnya ingin menggelendot pada bahu Tibra sambil berjalan menuju mobil. Namun, Zahir dan Zafar seperti sengaja benar menggandeng tangan Ayah mereka di kiri dan kanan. Tibra tersenyum sambil mengedipkan mata pada Andhira. Mulutnya mengucapkan kata sabar tanpa suara.“Sabar ya, Sayang. Anak-anak lagi manja. Bagian kita nanti malam.” Bisik Tibra sambil menoel pipi Andhira saat akan memasuki mobil.Andhira mengangguk pelan sambil tertawa kecil dan mengedipkan mata pada Tibra. Dia sudah mempersiapkan banyak hal untuk merayakan kepulangan suaminya. Selain masak makanan kesukaan Tibra, dia juga menghabiskan wakt
"Oh, bukan. Tidak, tidak, bukan. Saya mengawali usaha dari penyewaan cottage. Awalnya hanya ada tiga, alhamdulillah sekarang sudah ada lima belas cottage yang tersebar di tiga pulau. Dari sana saya pelan-pelan mengumpulkan modal untuk usaha budidaya udang di keramba jaring apung ini …." Suara Aruna langsung memenuhi seisi mobil saat headset dicabut.Tibra menarik napas panjang. Pandangan lelaki itu lurus ke depan. Dia hanya tersenyum tipis mendengar pencapaian Aruna. Sejujurnya, Tibra tidak terlalu peduli dengan kabar wanita itu. Namun, satu hal yang membuat dia sedikit bertanya. Uang dari mana Aruna bisa memiliki modal sebanyak itu untuk membangun usaha? Sedangkan wanita itu dulu akhirnya merelakan harta gono-gini karena lelah menjalani persidangan yang begitu alot dan lama.Tibra mendadak tersenyum sinis. Pasti ada seseorang dibalik kesuksesan usaha Aruna. Tidak mungkin tidak. Usaha itu membutuhkan dana yang sangat besar. Seseorang yang menyokong modal dengan nominal yang tidak sedi
"Makan dulu yuk? Toh, selama ini resto baik-baik saja, kan? Itu yang Mas lihat laporan dua tahun lalu." Andhira menggigit telinga Tibra pelan. Tangannya bergerak memijat bahu suaminya. Sejak dulu, Tibra selalu memuji kelihaiannya memijat.Lelaki itu tertawa kegelian. Dia akhirnya berdiri dan memutuskan menutup laporan keuangan yang dari siang tadi membuatnya pusing. Benar kata Andhira, toh selama ini resto baik-baik saja. Lebih baik dia menikmati waktu dengan keluarganya dulu sebelum kembali terjun mengurus resto secara langsung.Dia menatap Andhira lama sebelum melangkah keluar ruangan. Sekejap, Tibra mengikis jarak di antara mereka. Kerinduan itu membuncah di antara keduanya."Mas!" Andhira menahan dada Tibra. Dengan napas terengah dia menggeleng pelan. Belum sempat dia bicara, Tibra kembali membungkamnya.Lima menit berlalu, Tibra melepaskan Andhira dengan senyuman menggoda. "Manis!" Lelaki itu menoel dagu Andhira. "Ayo kita makan dulu, anak-anak pasti sudah menunggu. Setelah itu .
“Ri, antar Anna ke atas ya.” Tibra memerintahkan Riri. Dia sudah merenovasi rumah itu sehingga Anna akan tidur di kamar atas. Empat tahun dia tidak menjejakkan kaki di rumah penuh kenangan ini.Setelah membereskan semua hal di Solo, mereka langsung kembali ke rumah lama. Tibra memang langsung ingin mengurus usahanya lagi di lapangan. Itu akan sulit dia lakukan kalau masih tinggal di Solo.Dia sudah memberi instruksi pada Dendra untuk melakukan renovasi dari jauh-jauh hari. Rumah itu memang harus disesuaikan karena ada penambahan anggota keluarga sehingga harus menambah satu kamar lagi.Andhira yang meminta agar bisa tinggal di rumah ini. Sementara rumah yang selama ini dia tempati sudah lama dijual. Andhira memang sengaja menjual rumah itu untuk menghilangkan jejak dari Devan. Terbukti, selama empat tahun ini hidupnya aman tentram tanpa kehadiran mantan suaminya itu.“Mas.” Andhira menyapa Tibra yang sedang memperhatikan setiap sudut rumah. Selintas tadi Andhira bisa melihat mata Tibr