"Makan dulu yuk? Toh, selama ini resto baik-baik saja, kan? Itu yang Mas lihat laporan dua tahun lalu." Andhira menggigit telinga Tibra pelan. Tangannya bergerak memijat bahu suaminya. Sejak dulu, Tibra selalu memuji kelihaiannya memijat.Lelaki itu tertawa kegelian. Dia akhirnya berdiri dan memutuskan menutup laporan keuangan yang dari siang tadi membuatnya pusing. Benar kata Andhira, toh selama ini resto baik-baik saja. Lebih baik dia menikmati waktu dengan keluarganya dulu sebelum kembali terjun mengurus resto secara langsung.Dia menatap Andhira lama sebelum melangkah keluar ruangan. Sekejap, Tibra mengikis jarak di antara mereka. Kerinduan itu membuncah di antara keduanya."Mas!" Andhira menahan dada Tibra. Dengan napas terengah dia menggeleng pelan. Belum sempat dia bicara, Tibra kembali membungkamnya.Lima menit berlalu, Tibra melepaskan Andhira dengan senyuman menggoda. "Manis!" Lelaki itu menoel dagu Andhira. "Ayo kita makan dulu, anak-anak pasti sudah menunggu. Setelah itu .
“Ri, antar Anna ke atas ya.” Tibra memerintahkan Riri. Dia sudah merenovasi rumah itu sehingga Anna akan tidur di kamar atas. Empat tahun dia tidak menjejakkan kaki di rumah penuh kenangan ini.Setelah membereskan semua hal di Solo, mereka langsung kembali ke rumah lama. Tibra memang langsung ingin mengurus usahanya lagi di lapangan. Itu akan sulit dia lakukan kalau masih tinggal di Solo.Dia sudah memberi instruksi pada Dendra untuk melakukan renovasi dari jauh-jauh hari. Rumah itu memang harus disesuaikan karena ada penambahan anggota keluarga sehingga harus menambah satu kamar lagi.Andhira yang meminta agar bisa tinggal di rumah ini. Sementara rumah yang selama ini dia tempati sudah lama dijual. Andhira memang sengaja menjual rumah itu untuk menghilangkan jejak dari Devan. Terbukti, selama empat tahun ini hidupnya aman tentram tanpa kehadiran mantan suaminya itu.“Mas.” Andhira menyapa Tibra yang sedang memperhatikan setiap sudut rumah. Selintas tadi Andhira bisa melihat mata Tibr
“Jadi Tante Andhira dan Anna akan tinggal di sini juga, Yah?” Zafar bangun dari ranjangnya dan berjalan mendekati kakaknya.“Iya, Sayang. Sekarang kan kita sudah jadi keluarga, makanya Tante Andhira dan Anna tinggal bersama dengan kita.” Tibra mengelus kepala Zafar. Dia akhirnya menyerah meminta kedua anaknya memanggil Andhira dengan sebutan Ibu. Seminggu mencoba, Zahir dan Zafar keukeuh dengan pendirian mereka.“Kenapa sekarang harus tinggal bersama? Bukankah selama ini kita tetap tinggal terpisah walaupun Ayah sudah menikah lagi sejak masih bersama dengan Ibu? Lalu, kenapa sekarang semua harus berubah? Bisakah semua normal kembali seperti dulu? Setidaknya beri aku dan Zafar waktu untuk bisa belajar menerima semua.” Zahir mendongak, mengalihkan pandangan dari layar ponselnya ke arah Tibra.“Itu juga kalau kami bisa menerima,” desis Zahir.“Lama-lama kalian akan terbiasa. Toh selama empat tahun ini bukankah kalian baik-baik saja saat tinggal bersama?” Tibra tersenyum lebar.“Kami bai
Tibra mengendarai mobil pelan. Dia memang langsung mengagendakan pertemuan dengan orang-orang kepercayaannya hari ini. Dendra sudah lebih dulu ke cabang utama untuk mengkondisikan keadaan. Dari bandara tadi sepupu Tibra langsung meluncur. Sementara Tibra mengantar yang lain ke rumah dulu karena ini pertama kalinya Andhira dan Anna tinggal di sana.Kalau menurutkan hati, ingin sekali dia di rumah dulu. Menghabiskan waktu bersama Andhira di ranjang yang dulu menjadi saksi malam-malamnya dengan Aruna. Tibra ingin secepat mungkin menghapus bayang-bayang wanita itu di setiap sudut rumah dengan mengisinya dengan keindahan bersama Andhira.Namun, ada hal genting yang jauh lebih penting. Dia merasa sangat janggal dengan laporan keuangan yang sejak keluar dari penjara dia pelajari. Dia tidak bisa berdiam diri. Ini masalah serius karena menyangkut modal dan aliran dana perusahaan.“Ada yang bisa menjelaskan?”Satu jam kemudian Tibra sudah memimpin jalannya pertemuan. Setelah sejenak berbasa-ba
"Tujuan dari acara ini adalah membantu teman-teman pengusaha agar dapat lebih maju lagi. Nanti akan ada sesi khusus dari perwakilan 5 perusahaan terbesar di dalam negeri. Mereka akan berbagi pengalaman dalam membangun dan mempertahankan usahanya hingga bisa terus bertahan dan berjaya seperti sekarang ini." Bombi selalu pimpinan acara menyampaikan kata sambutan sebagai tanda resmi dibukanya acara rutin tahunan pertemuan pengusaha dalam negeri.“Di sini kita bisa memperluas jaringan. Kita juga bisa membuka peluang kolaborasi produk antar pengusaha. Nanti akan ada sesi khusus untuk saling sharing tentang bisnis masing-masing dan merumuskan peluang yang dapat dikolaborasikan. Bisnis zaman sekarang harus bisa kolaborasi dan menjalin relasi. Kalau seorang pengusaha menutup diri dan tidak mau kerjasama dengan pengusaha lain, kemungkinan besar nanti akan ketinggalan dengan pengusaha lainnya. Jadi, jangan takut untuk berkolaborasi.” Tepuk tangan memenuhi ruangan saat Bombi mengucapkan kalimatn
Pertemuan ini memang berkonsep santai. Peserta bebas makan dan minum hidangan yang telah disediakan, juga diperbolehkan bercakap-cakap asal tetap tertib selama sesi sharing berlangsung.“Apa kabar Aruna? Sepertinya kau sedang membayangkan ada diposisi Elya suatu saat nanti?" Tibra tertawa kecil sambil meneguk minumannya. Dia memperhatikan sekilas penampilan wanita di sampingnya.Aruna tampil manis hari ini. Blus putih dan bawahan hijau gelap yang senada dengan jilbabnya membuat Aruna tampak anggun. Bros kecil terpasang di dada semakin melengkapi keindahan yang ada pada wanita itu."Masih jauh, Aruna. Jadi, nikmati saja dulu minumannya." Tibra berbisik pelan ke arah Aruna. Dia menunjuk gelas yang dipegang Aruna.Aruna tersenyum tipis mendengar ucapan Tibra. Perlahan di teguknya air yang tadi diberikan Tibra. Dia tersenyum saat mencium aroma mint dari air itu. Aruna melirik ke dispenser di meja, beberapa lembar daun mint dan jeruk lemon tampak mengapung di atasnya."Apa kabar selingkuha
Aruna menarik napas panjang. Dia enggan menanggapi setiap omongan Tibra. Wanita itu memilih pamit dari sana karena ada suatu keperluan. Mengabaikan keberadaan Tibra adalah hal terbaik yang bisa dia lakukan saat ini. "Pak!" Aruna tersenyum sopan pada kenalannya. Mereka berbincang cukup lama mengenai rencana kerjasama dan juga arah angin bisnis ke depannya.Aruna berkali-kali mengangguk. Dia tampak setuju dengan setiap ucapan lelaki itu. Dari pengusaha itu juga Aruna banyak belajar dan akhirnya mempunyai jaringan luas ke dunia mereka.Sementara di sini, Tibra menatap kepergian Aruna. Lelaki itu menautkan alis saat melihat seorang pengusaha papan atas menghampiri Aruna. Mereka terlihat sangat akrab berbicara satu sama lain. Tibra berdehem, hebat juga Aruna bisa dekat dengan pengusaha yang sangat disegani itu, pikirnya.“Pak Tibra?”Tibra yang sedang memperhatikan Aruna sedikit kaget saat seseorang menyapanya. Dia berdehem pelan karena salah tingkah.“Ya?” Tibra menautkan alis. Dia tamp
“Ini kartu nama saya.” Devan menyodorkan kartu nama berwarna hitam pekat dengan aksen emas, sehingga membuat benda itu terlihat simpel namun terkesan mewah dan elegan.“Ah, iya. Ini kartu nama saya.” Tibra ikut memberikan kartu namanya.“Baik, kalau begitu saya pamit dulu ya, Pak Devan." Tibra menunjuk pada beberapa pengusaha yang melambaikan tangan padanya. Dia memang sudah ada janji dengan beberapa teman untuk merundingkan usaha yang mungkin bisa mereka garap bersama."Silahkan." Devan mempersilahkan sambil menyimpan kartu nama Tibra.Lelaki itu memandangi Tibra hingga menghilang di tengah keramaian. Dia mendadak tersenyum saat mengingat kejadian beberapa waktu lalu. Demi memastikan apakah Andhira masih bersama Tibra atau tidak, dia dari jauh-jauh hari sudah mempersiapkan diri untuk menguntit lelaki itu sejak hari pertama keluar dari penjara.“Tibra Bayanaka akhirnya menghirup udara bebas pagi ini. Empat tahun berlalu sejak dia mengenakan baju kuning khas tahanan, kini dia keluar de