Tibra mengendarai mobil pelan. Dia memang langsung mengagendakan pertemuan dengan orang-orang kepercayaannya hari ini. Dendra sudah lebih dulu ke cabang utama untuk mengkondisikan keadaan. Dari bandara tadi sepupu Tibra langsung meluncur. Sementara Tibra mengantar yang lain ke rumah dulu karena ini pertama kalinya Andhira dan Anna tinggal di sana.Kalau menurutkan hati, ingin sekali dia di rumah dulu. Menghabiskan waktu bersama Andhira di ranjang yang dulu menjadi saksi malam-malamnya dengan Aruna. Tibra ingin secepat mungkin menghapus bayang-bayang wanita itu di setiap sudut rumah dengan mengisinya dengan keindahan bersama Andhira.Namun, ada hal genting yang jauh lebih penting. Dia merasa sangat janggal dengan laporan keuangan yang sejak keluar dari penjara dia pelajari. Dia tidak bisa berdiam diri. Ini masalah serius karena menyangkut modal dan aliran dana perusahaan.“Ada yang bisa menjelaskan?”Satu jam kemudian Tibra sudah memimpin jalannya pertemuan. Setelah sejenak berbasa-ba
"Tujuan dari acara ini adalah membantu teman-teman pengusaha agar dapat lebih maju lagi. Nanti akan ada sesi khusus dari perwakilan 5 perusahaan terbesar di dalam negeri. Mereka akan berbagi pengalaman dalam membangun dan mempertahankan usahanya hingga bisa terus bertahan dan berjaya seperti sekarang ini." Bombi selalu pimpinan acara menyampaikan kata sambutan sebagai tanda resmi dibukanya acara rutin tahunan pertemuan pengusaha dalam negeri.“Di sini kita bisa memperluas jaringan. Kita juga bisa membuka peluang kolaborasi produk antar pengusaha. Nanti akan ada sesi khusus untuk saling sharing tentang bisnis masing-masing dan merumuskan peluang yang dapat dikolaborasikan. Bisnis zaman sekarang harus bisa kolaborasi dan menjalin relasi. Kalau seorang pengusaha menutup diri dan tidak mau kerjasama dengan pengusaha lain, kemungkinan besar nanti akan ketinggalan dengan pengusaha lainnya. Jadi, jangan takut untuk berkolaborasi.” Tepuk tangan memenuhi ruangan saat Bombi mengucapkan kalimatn
Pertemuan ini memang berkonsep santai. Peserta bebas makan dan minum hidangan yang telah disediakan, juga diperbolehkan bercakap-cakap asal tetap tertib selama sesi sharing berlangsung.“Apa kabar Aruna? Sepertinya kau sedang membayangkan ada diposisi Elya suatu saat nanti?" Tibra tertawa kecil sambil meneguk minumannya. Dia memperhatikan sekilas penampilan wanita di sampingnya.Aruna tampil manis hari ini. Blus putih dan bawahan hijau gelap yang senada dengan jilbabnya membuat Aruna tampak anggun. Bros kecil terpasang di dada semakin melengkapi keindahan yang ada pada wanita itu."Masih jauh, Aruna. Jadi, nikmati saja dulu minumannya." Tibra berbisik pelan ke arah Aruna. Dia menunjuk gelas yang dipegang Aruna.Aruna tersenyum tipis mendengar ucapan Tibra. Perlahan di teguknya air yang tadi diberikan Tibra. Dia tersenyum saat mencium aroma mint dari air itu. Aruna melirik ke dispenser di meja, beberapa lembar daun mint dan jeruk lemon tampak mengapung di atasnya."Apa kabar selingkuha
Aruna menarik napas panjang. Dia enggan menanggapi setiap omongan Tibra. Wanita itu memilih pamit dari sana karena ada suatu keperluan. Mengabaikan keberadaan Tibra adalah hal terbaik yang bisa dia lakukan saat ini. "Pak!" Aruna tersenyum sopan pada kenalannya. Mereka berbincang cukup lama mengenai rencana kerjasama dan juga arah angin bisnis ke depannya.Aruna berkali-kali mengangguk. Dia tampak setuju dengan setiap ucapan lelaki itu. Dari pengusaha itu juga Aruna banyak belajar dan akhirnya mempunyai jaringan luas ke dunia mereka.Sementara di sini, Tibra menatap kepergian Aruna. Lelaki itu menautkan alis saat melihat seorang pengusaha papan atas menghampiri Aruna. Mereka terlihat sangat akrab berbicara satu sama lain. Tibra berdehem, hebat juga Aruna bisa dekat dengan pengusaha yang sangat disegani itu, pikirnya.“Pak Tibra?”Tibra yang sedang memperhatikan Aruna sedikit kaget saat seseorang menyapanya. Dia berdehem pelan karena salah tingkah.“Ya?” Tibra menautkan alis. Dia tamp
“Ini kartu nama saya.” Devan menyodorkan kartu nama berwarna hitam pekat dengan aksen emas, sehingga membuat benda itu terlihat simpel namun terkesan mewah dan elegan.“Ah, iya. Ini kartu nama saya.” Tibra ikut memberikan kartu namanya.“Baik, kalau begitu saya pamit dulu ya, Pak Devan." Tibra menunjuk pada beberapa pengusaha yang melambaikan tangan padanya. Dia memang sudah ada janji dengan beberapa teman untuk merundingkan usaha yang mungkin bisa mereka garap bersama."Silahkan." Devan mempersilahkan sambil menyimpan kartu nama Tibra.Lelaki itu memandangi Tibra hingga menghilang di tengah keramaian. Dia mendadak tersenyum saat mengingat kejadian beberapa waktu lalu. Demi memastikan apakah Andhira masih bersama Tibra atau tidak, dia dari jauh-jauh hari sudah mempersiapkan diri untuk menguntit lelaki itu sejak hari pertama keluar dari penjara.“Tibra Bayanaka akhirnya menghirup udara bebas pagi ini. Empat tahun berlalu sejak dia mengenakan baju kuning khas tahanan, kini dia keluar de
“Terima kasih untuk pemaparannya, Bu Elya. Perjalanan usaha yang sangat luar biasa dan inspiratif sekali. Mari kita berikan applause yang meriah untuk satu-satunya wanita yang saat ini berhasil menempati 5 besar perusahaan terbesar dalam negeri.” Tepuk tangan memenuhi ruangan itu. Beberapa bahkan mengelu-elukan Elya, membuat suasana semakin ramai karena ditingkahi dengan gelak tawa.“Bagi yang ada pertanyaan silahkan dicatat dulu agar tidak lupa karena sesi tanya jawab akan kita selenggarakan di akhir setelah pemaparan dari semua pembicara. Selanjutnya ….”Hingar bingar di dalam ruangan itu menarik kembali Devan dari ingatan saat itu. Dia akhirnya berdiri dan memilih menikmati kudapan dan segelas jus melon. Setidaknya dia sudah maju satu langkah. Tibra sudah menerimanya dengan tangan terbuka. Lanhkahnya ke depan akan lebih mudah untuk menemuman celah.Meskipun begitu, dia harus tetap bermain dengan rapi dan memastikan keamanan setiap gerakannya. Karena walau saat ini nama Tibra sedang
“Tibra Bayanaka berkaca-kaca saat mengumumkan kehamilan istrinya. Lelaki itu dengan dada membusung mengumumkan kondisi Andhira saat ini sehat dan calon bayinya baik-baik saja. Rasa bangga dan haru terpancar jelas dari wajah Tibra saat menyampaikan kabar itu ….”Aruna menoleh pada televisi saat mendengar nama yang sangat dikenalnya disebut. Wanita itu menautkan alis melihat Tibra yang berkaca-kaca di sana. wanita itu meletakkan tas tangan dengan pandangan tetap tertuju pada televisi.“Telurnya diceplok setengah matang saja ya, Bi.” Aruna tersenyum pada Bi Darsih saat wanita itu meletakkan segelas teh hangat di depannya. Wanita yang sudah berusia lanjut itu mengangguk sopan sambil meneruskan pekerjaannya.Bi Darsih dulunya adalah asisten rumah tangga saat dia belum bercerai dengan Tibra. Setelah mereka resmi bercerai, wanita yang sudah berumur itu menghubungi Aruna agar bisa pindah kerja pada Aruna. Dia beralasan tidak betah bekerja di rumah lagi karena Andhira terlalu banyak mau.Arun
“Iya, jadi saya mengatakan seperti ini bukan tanpa alasan lah. Beberapa waktu yang lalu sempat ada pembicaraan di antara kami. Waktu kemarin ada acara di sekolah Zahir yang meminta kedua orangtua hadir itu. Jadi kami, saya dan Aruna maksudnya, terlibat obrolan lah.Saya coba mengajak ibunya anak-anak untuk kolaborasi, membuka usaha bersama. Dulu kan kami pernah bekerjasama dengan baik dalam membangun usaha. Nah, apa salahnya sih kalau sekarang kita membangun usaha yang baru.Tujuan saya baik sebenarnya, usaha ini akan diperuntukkan bagi Zahir dan Zafar. Ayo kata saya, kita bangun usaha khusus untuk bekal masa depan anak kita. Jadi, nanti kita joint modal. Nah, hasil dari usaha ini bisa digunakan untuk keperluan Zahir dan Zafar. Atau bisa juga ditabung untuk masa depan mereka.Tapi, ya itu tadi. Aruna menolak langsung tanpa mendengarkan penjelasan saya lebih lanjut. Terlalu angkuh dia karena merasa saat ini sedang di atas angin. Sombong!”Aruna kesal bukan main saat berita itu naik. Ti