Pertemuan ini memang berkonsep santai. Peserta bebas makan dan minum hidangan yang telah disediakan, juga diperbolehkan bercakap-cakap asal tetap tertib selama sesi sharing berlangsung.“Apa kabar Aruna? Sepertinya kau sedang membayangkan ada diposisi Elya suatu saat nanti?" Tibra tertawa kecil sambil meneguk minumannya. Dia memperhatikan sekilas penampilan wanita di sampingnya.Aruna tampil manis hari ini. Blus putih dan bawahan hijau gelap yang senada dengan jilbabnya membuat Aruna tampak anggun. Bros kecil terpasang di dada semakin melengkapi keindahan yang ada pada wanita itu."Masih jauh, Aruna. Jadi, nikmati saja dulu minumannya." Tibra berbisik pelan ke arah Aruna. Dia menunjuk gelas yang dipegang Aruna.Aruna tersenyum tipis mendengar ucapan Tibra. Perlahan di teguknya air yang tadi diberikan Tibra. Dia tersenyum saat mencium aroma mint dari air itu. Aruna melirik ke dispenser di meja, beberapa lembar daun mint dan jeruk lemon tampak mengapung di atasnya."Apa kabar selingkuha
Aruna menarik napas panjang. Dia enggan menanggapi setiap omongan Tibra. Wanita itu memilih pamit dari sana karena ada suatu keperluan. Mengabaikan keberadaan Tibra adalah hal terbaik yang bisa dia lakukan saat ini. "Pak!" Aruna tersenyum sopan pada kenalannya. Mereka berbincang cukup lama mengenai rencana kerjasama dan juga arah angin bisnis ke depannya.Aruna berkali-kali mengangguk. Dia tampak setuju dengan setiap ucapan lelaki itu. Dari pengusaha itu juga Aruna banyak belajar dan akhirnya mempunyai jaringan luas ke dunia mereka.Sementara di sini, Tibra menatap kepergian Aruna. Lelaki itu menautkan alis saat melihat seorang pengusaha papan atas menghampiri Aruna. Mereka terlihat sangat akrab berbicara satu sama lain. Tibra berdehem, hebat juga Aruna bisa dekat dengan pengusaha yang sangat disegani itu, pikirnya.“Pak Tibra?”Tibra yang sedang memperhatikan Aruna sedikit kaget saat seseorang menyapanya. Dia berdehem pelan karena salah tingkah.“Ya?” Tibra menautkan alis. Dia tamp
“Ini kartu nama saya.” Devan menyodorkan kartu nama berwarna hitam pekat dengan aksen emas, sehingga membuat benda itu terlihat simpel namun terkesan mewah dan elegan.“Ah, iya. Ini kartu nama saya.” Tibra ikut memberikan kartu namanya.“Baik, kalau begitu saya pamit dulu ya, Pak Devan." Tibra menunjuk pada beberapa pengusaha yang melambaikan tangan padanya. Dia memang sudah ada janji dengan beberapa teman untuk merundingkan usaha yang mungkin bisa mereka garap bersama."Silahkan." Devan mempersilahkan sambil menyimpan kartu nama Tibra.Lelaki itu memandangi Tibra hingga menghilang di tengah keramaian. Dia mendadak tersenyum saat mengingat kejadian beberapa waktu lalu. Demi memastikan apakah Andhira masih bersama Tibra atau tidak, dia dari jauh-jauh hari sudah mempersiapkan diri untuk menguntit lelaki itu sejak hari pertama keluar dari penjara.“Tibra Bayanaka akhirnya menghirup udara bebas pagi ini. Empat tahun berlalu sejak dia mengenakan baju kuning khas tahanan, kini dia keluar de
“Terima kasih untuk pemaparannya, Bu Elya. Perjalanan usaha yang sangat luar biasa dan inspiratif sekali. Mari kita berikan applause yang meriah untuk satu-satunya wanita yang saat ini berhasil menempati 5 besar perusahaan terbesar dalam negeri.” Tepuk tangan memenuhi ruangan itu. Beberapa bahkan mengelu-elukan Elya, membuat suasana semakin ramai karena ditingkahi dengan gelak tawa.“Bagi yang ada pertanyaan silahkan dicatat dulu agar tidak lupa karena sesi tanya jawab akan kita selenggarakan di akhir setelah pemaparan dari semua pembicara. Selanjutnya ….”Hingar bingar di dalam ruangan itu menarik kembali Devan dari ingatan saat itu. Dia akhirnya berdiri dan memilih menikmati kudapan dan segelas jus melon. Setidaknya dia sudah maju satu langkah. Tibra sudah menerimanya dengan tangan terbuka. Lanhkahnya ke depan akan lebih mudah untuk menemuman celah.Meskipun begitu, dia harus tetap bermain dengan rapi dan memastikan keamanan setiap gerakannya. Karena walau saat ini nama Tibra sedang
“Tibra Bayanaka berkaca-kaca saat mengumumkan kehamilan istrinya. Lelaki itu dengan dada membusung mengumumkan kondisi Andhira saat ini sehat dan calon bayinya baik-baik saja. Rasa bangga dan haru terpancar jelas dari wajah Tibra saat menyampaikan kabar itu ….”Aruna menoleh pada televisi saat mendengar nama yang sangat dikenalnya disebut. Wanita itu menautkan alis melihat Tibra yang berkaca-kaca di sana. wanita itu meletakkan tas tangan dengan pandangan tetap tertuju pada televisi.“Telurnya diceplok setengah matang saja ya, Bi.” Aruna tersenyum pada Bi Darsih saat wanita itu meletakkan segelas teh hangat di depannya. Wanita yang sudah berusia lanjut itu mengangguk sopan sambil meneruskan pekerjaannya.Bi Darsih dulunya adalah asisten rumah tangga saat dia belum bercerai dengan Tibra. Setelah mereka resmi bercerai, wanita yang sudah berumur itu menghubungi Aruna agar bisa pindah kerja pada Aruna. Dia beralasan tidak betah bekerja di rumah lagi karena Andhira terlalu banyak mau.Arun
“Iya, jadi saya mengatakan seperti ini bukan tanpa alasan lah. Beberapa waktu yang lalu sempat ada pembicaraan di antara kami. Waktu kemarin ada acara di sekolah Zahir yang meminta kedua orangtua hadir itu. Jadi kami, saya dan Aruna maksudnya, terlibat obrolan lah.Saya coba mengajak ibunya anak-anak untuk kolaborasi, membuka usaha bersama. Dulu kan kami pernah bekerjasama dengan baik dalam membangun usaha. Nah, apa salahnya sih kalau sekarang kita membangun usaha yang baru.Tujuan saya baik sebenarnya, usaha ini akan diperuntukkan bagi Zahir dan Zafar. Ayo kata saya, kita bangun usaha khusus untuk bekal masa depan anak kita. Jadi, nanti kita joint modal. Nah, hasil dari usaha ini bisa digunakan untuk keperluan Zahir dan Zafar. Atau bisa juga ditabung untuk masa depan mereka.Tapi, ya itu tadi. Aruna menolak langsung tanpa mendengarkan penjelasan saya lebih lanjut. Terlalu angkuh dia karena merasa saat ini sedang di atas angin. Sombong!”Aruna kesal bukan main saat berita itu naik. Ti
“Bu Adya dan Pak Wira jadi kembali hari ini, Bu?”“Ah iya, coba nanti aku telpon lagi untuk memastikan. Kalau sudah pasti aku kabarin Bibi ya.” Aruna sedikit terkejut dengan pertanyaan Bi Darsih karena sedang asyik dengan pikirannya.“Iya, Bu. Biar saya bisa masak yang banyak buat makan siang dan makan malam.”Aruna mengangguk mendengar ucapan Bi Darsih. Ayah dan Ibunya sedang berkunjung ke tempat keluarga di luar kota. Sudah hampir seminggu mereka di sana. Tadi malam ibunya mengabari mungkin akan pulang siang ini tapi belum pasti.Adya dan Tibra memang mempunyai agenda rutin, setiap beberapa bulan sekali berkunjung ke rumah sanak saudara agar silaturahmi tetap terjalin dengan baik. Mereka tidak mau kesibukan membuat hubungan kekeluargaan menjauhkan mereka.“Nanti secepatnya aku kabari ya, Bi. Atau tidak usah masak saja. Misal Ayah dan Ibu jadi pulang, nanti pesan makan saja lebih gampang.” Aruna tersenyum pada Bi Darsih sambil mengambil tas tangannya dan berjalan keluar rumah.“Baik,
“Bagus! Pantau terus dan segera kabari saya jika Tibra melakukan pergerakan.” Devan meletakkan ponsel dengan wajah sumringah. Senyumnya mengembang dengan sangat lebar, membuat kedua pipinya tertarik hingga matanya yang sipit menjadi hanya terlihat seperti garis.Pagi harinya dimulai dengan kabar yang membuat dirinya senang. Karyawan Arapi yang dia bayar untuk mengawasi Tibra menghubunginya dan memberi kabar Tibra mengamuk hingga menghajar Dendra habis-habisan.Semua sesuai dengan rencananya. Dia memang sengaja membuat kekacauan ini seolah disebabkan oleh Dendra. Dengan begitu Tibra akan fokus pada konflik dengan keluarganya sendiri sehingga diharapkan akan lalai melakukan penyelidikan lebih jauh mengenai dalang sebenarnya yang ada dibalik semua itu.Lelaki itu mengambil sekaleng softdrink berwarna hijau yang tadi dia beli di kantin bawah sebelum naik ke atas. Dia membuka kait penutup pada botol yang terbuat dari bahan alumunium itu dengan sekali tarikan saja.Psshhh!Air soda itu lang