Ada rasa lega di dalam hati gadis itu, ia bersyukur karena Bu Hani ternyata sangat baik padanya. Bayang-bayang mendapatkan caci maki, kini musnah sudah.
Keduanya kembali ngobrol ngalor-ngidul, lebih tepatnya Bu Hani yang terus berbicara. Hilma hanya diam sesekali tersenyum saat ada hal yang lucu, yang diceritakan oleh mertuanya itu.***"Mudah-mudahan aku betah di sini, dan tidak ketakutan lagi," ujar Hilma, menatap diri di cermin, gadis itu baru selesai mengenakan pakaian selepas mandi tadi."Biasa saja.""Hah!" Hilma yang terkejut medengar Zafar yang tiba-tiba mendekat. Sekilas ia melihat suaminya itu tersenyum, kemudian kembali datar."Sampai kapan takut terus. Kamu kan udah liat Ibu sebaiknya apa sama kamu. Sampai aku aja anaknya, malah kena omel," kata Zafar ngedumel."Ayo turun!" Pria itu sedikit berteriak dari luar lamar."Iya," jawab Hilma, sambil mengekor pria itu turun.Matanya melotot saat Zafar menunggu dan kemudian menggenggam tangan Hilma. Gadis itu merasa tak nyaman saat mereka turun dengan tangan yang saling berpegang, ingin sekali Hilma melepaskan, tapi genggamannya sangat kuat. Alhasil dia diam pasrah, berjalan memasuki ruang keluarga.Zafar juga hanya diam, Hilma tau dia pasti sengaja melakukan ini agar nampak anak baik di depan orang tuanya itu. Mereka duduk berdampingan, dengan tangan yang masih bertautan."Zafar, lalu bagaimana dengan Sinta saat dia mengetahui semua ini? Ishh, ibu yakin dia akan berlagak sangat tersakiti," kata Bu Hani, yang langsung menodong Zafar dengan pertanyaan."Itu...."Belum sempat pria itu menjawab, ibunya sudah lebih dulu menyela. "Ibu bahagia, akhirnya kamu putus sama dia. Dan nikah dengan Hilma yang sudah pasti perempuan baik-baik!"Hilma mendongak, menatap mereka berdua saling bergantian. Kemudian dia kembali menunduk saat Zafar meberi kode untuk diam. Jangan melakukan apa-apa."Kalau memang itu kebenarannya, Ayah tidak bisa apa-apa lagi, apalagi kalian sudah dinikahkan. Terlebih lagi, Ayah tidak kenal dengan warga desa, kalau kita nanti ke sana minta banding yang ada dikeroyok kita."."Demi Alloh, Bapak dan Ibu, saya hanya berniat menolongnya yang hampir pingsan karena kedinginan. Wajahnya pucat dan gemetar. Jika tau hal ini akan terjadi, saya juga tidak akan membantunya waktu itu."Hilma menghela napas panjang, mengusap air mata yang tanpa sadar menetes. Membuat Zafar menatap gadis itu, ia tau pasti hal ini sangat berat baginya."Saya sadar, hanya orang kampung yang bodoh dalam segala hal. Saya tidak banyak tau apa-apa tentang kota, wajar jika Bapak dan Ibu mau marah dan kecewa melihat anak yang kalian didik dan disekolahkan dengan baik, tapi pada akhirnya menikahi gadis desa yang tidak berpendidikan. Tapi pikiran saya salah, nyatanya kalian sangat baik sekali pada saya, Terima kasih," ujar gadis itu tulus."Ya karena mereka marahnya cuma sama aku aja!" kata Zafar protes, membuat Bu Hilma melotot padanya"Bukan karena kamu orang kampung, bukan juga karena kamu tidak berpendidikan. Tapi jika memang anak saya telah mengotori seseorang, siapa pun itu, harusnya dia pandai berpikir lebih dulu, jangan gadis desa yang menjadi mangsanya atau siapa pun itu.""Tapi demi Alloh, Pak. Dia tidak melakukan apa-apa pada saya, kami bahkan tidak saling kenal saat satu saung bersama itu.""Ibu paham, ibu mengerti, dan mana mungkin juga gadis sepertimu mau dibodohi oleh pria hidung belang kayak dia!" kata Bu Hani membuat Zafar melotot mendengar ucapan ibunya itu."Apa sih, Bu. Hidung belang dari mananya? Selama ini aku cuma pacaran sama Sinta ya, gak pernah tuh aku sampai gonta-ganti cewek. Apalagi celup sana celup sini. Ihhh.""Ibu percaya kan pada kami?" tanya Hilma tulus."Nanya itu lagi, kan udah Ibu bilang, sedikit pun tak ada rasa tak percaya, apalagi pada gadis sepertimu," jawab Bu Hani."Tapi tetap, karena hal ini nama kita jadi buruk oleh warga desa. Bapak jadi malu untuk pulang ke sana.""Bapak tak perlu malu, biarkan mereka mau berbicara apa, yang pasti, anak kita tidak melakukan hal yang hina itu. Benar, kan, Zafar?""I—iya, Bu.""Kenapa kamu diam saja? Biasanya juga paling berisik di rumah. Kamu takut?""Itu....""Sudahlah, Ibu harus memberitahu Om-mu, bahwa kalian sudah sampai di rumah. Jangan tanyakan hal lain, ibu masih memikirkannya.""Iya, Bu."Hilma melirik pria itu yang hanya duduk diam tak berkutik. Pria yang datar ini ternyata takut juga jika di hadapkan dengan hal seperti ini."Hilma namamu?"Hilma mendongak saat ayahnya Zafar memanggil, kemudian mengangguk mengiyakan."Kemari, Nak. Duduk di sini dulu."Dengan ragu, kemudian Hilma beridiri, sebelumnya ia menatap pria itu yang hanya diam saja."Sini, Nak."Pak Jaidi—ayah Zafar membawa gadis itu duduk di tengah, antara dia dan sang istri, kemudian merogoh sesuatu dalam saku celananya, ia memberikan perhiasan berupa kalung, kemudiam memberikannya pada Hilma.Gadis itu menatap bingung, ia melirik sang ibu mertua yang tersenyum sambil mengangguk, mengartikan bahwa dia harus menerima kalung itu."Anggap ini sebagai hadiah pertama menjadi menantu. Dipakai, ya?" ujar Pak Jaidi."Tapi...." Hilma ragu, ia menatap kalung itu yang sudah Pak Jaidi selipkan di tangannya."Udah... Ini sudah jadi tradisi di keluarga Ayahmu, kalau ada mantu baru, pasti di kasih hadiah. Terima ya."Hilma merasa tak enak hati, ia kemudian menyalami mertuanya itu satu per satu. Dan berucap Terima kasih banyak karena sudah sangat baik padanya. Meskipun dia hadir dengan cara yang salah."Terima kasih, Ibu. Aku pikir Ibu dan Bapak akan....""Suuut, udah. Ibu tidak akan memarahi yang tidak bersalah. Semua ini kecelakaan. Ibu juga paham bagaimana perasaanmu."Hilma tersenyum menatapnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Mereka kemudian menghentikan pembicaraan itu. Karena orang tua Zafar ingin keluar untuk belanja stok mingguan, apalagi sekarang ada Hilma, yang harus dijamu dengan baik karena dia pertama kali ke rumah itu.Hilma kembali ke atas, ia berdiri di balkon sambil berpikir, sedang apa Bapaknya sekarang, apakah dia sudah makan atau belum. Bagaimana perasaannya saat ini.Saat sedang menikmati lamunan, suara pintu balkon terbuka, Zafar datang menghampiri gadis itu yang tengah diam dengan tatapan kosong."Udah gak usah di pikirin. Paling juga dia udah nemu cewek lain," ujar pria itu, yang langsung duduk bersilang kaki.Hilma yang mendengar itu berbalik. "Apa maksudnya?""Inget kekasihmu, kan?"Hilma memutar bola malas, kemudian kembali menatap ke arah depan."Siapa namanya?"Gadis itu menghela napas pelan. Ia mencoba untuk tenang, jangan sampai emosi menghadapi Zafar yang tak mau diam itu."Kamu gak perlu tau," jawab Hilma, malah memancing pria itu yang sudah sangat penasaran dari kemarin."Perlu, dong. Aku kan suamimu."Gadis itu seketika menatapnya yang sedang tersenyum meledek. Kemudian menggeleng dan memilih ke bawah untuk melakukan apa pun yang bisa ia lakukan.***Malam datang, embali satu kamar lagi dengannya, membuat Hilma tidak nyaman. Ingin sekali ia keluar, tapi nanti apa kata orang tua mereka. Gadis itu kembali bingung, harus apa sekarang? Matanya kini melihat jam dinding, ternyata sudah jam sebelas malam, tapi Zafar yang tadi izin untuk keluar belum pulang sama sekali."Kalau bisa jangan pulang lah, biar aku bisa tidur dengan tenang," ujar Hilma. Ia kemudian duduk di sofa, lalu berbaring dan kembali duduk lagi. Ia menghela napas, kenapa sulit sekali untuk tertidur malam ini.Ia kemudian membuka sedikit gorden, dan menatap Lampu-lampu malam yang indah, sampai ia tidak sadar jika ada seseorang yang masuk ke kamar."Mau terus berdiri di sana?""Hah!" Gadis itu terperanjat kaget saat mendengar suara Zafar yang tiba-tiba. "Kamu....""Ayo tidur!""Hah?" Dia kembali terkejut saat Zafar mengajaknya tidur."Ma—maksudnya tidur. Istirahat di sini, aku ke bawah dulu." Dia melengos pergi setelah membuat Hilma yang hampir saja berburuk sangka. Gadis itu pikir dia akan....Bu Hani yang sedang berbincang dengan suaminya dikagetkan dengan Zafar yang tiba-tiba saja datang dari belakang. Mereka yang kebetulan sedang membicarakan hal itu, kesempatan bagi mereka untuk mempertanyakan seuatu hal pada Zafar, mumpung gadis itu tidak ada di sana. Sedangkan Zafar yang tadi ingin mengambil minum, mendadak diam karena tatapan kedua orang tuanya pada dia. "Ibu tidak mau basa basi, Zafar. Setidaknya kamu bisa memutuskan dulu baik-baik sebelum mengambil sebuah keputusan. Bagaimana dengan orang tua gadis itu saat kamu bicara akan menikahinya. Sedangkan mereka kenal denganmu saja tidak.""Apa kata orang tua dia saat tau kalian akan dinikahkan?"Zafar yang terus mendapatkan pertanyaan secara bertubi-tubi malah diam. Dia bingung harus menjawab yang mana dulu. Sedangkan orang tua Hilma, pria itu tak begitu yakin hafal. Karena yang ada di sana hanya Bapaknya saja, bahkan saat ijab qobul pun tidak ada lagi selain dia. Pak Jaidi menatap dengan serius, hatinya masih ragu jika
"Yang apa, Bu?" tanya Hilma penasaran. "Hipotermia." Bu Hani mematikan kompor lebih dulu, kemudian berbalik menghadapi Hilma yang sudah menunggu penjelasan darinya. "Hipotermia adalah kondisi ketika suhu tubuh turun drastis hingga di bawah 35oC. Akibatnya, jantung dan organ vital lainnya gagal berfungsi. Jika tidak segera ditangani, hipotermia dapat menyebabkan henti jantung, gangguan sistem pernapasan, bahkan kematian."Hilma mengingat bagaimna waktu itu Zafar seperti sesak bernapas, bahkan saat di arak oleh warga, dia seperti lemas tak berdaya. "Saya tidak tau kapan dan kenapa dia bisa memiliki penyakit itu. Semuanya karena dia karang ada di rumah, seringnya di luar, bahkan dalam seminggu belum tentu dia akan pulang ke rumah." Bu Hani menepuk pundak Hilma lembut. "Makasih ya, karena kamu sudah berusaha menyelamatkan anak saya, meskipun pada akhirnya kalian harus menghadapi hal ini. Tapi di sisi lain, saya bahagia Zafar menikau denganmu, karena hal ini Sinta pergi. Perempuan tak
Sayup-sayup suara adzan terdengar dari masjid, membuat gadis itu mencoba terbangun. Tapi ia merasakan tangannya berat, ia membuka mata perlahan, di sana, Zafar tertidur pulas di tangan istrinya itu. Hilma yang masih setengah sadar hanya diam sejenak. "Astaghfirullahalazim!" Kemudian dia langsung duduk menarik tangannya dari sang suami, membuat pria itu terbangun karena kaget mendengar jeritan Hilma."Kamu ngapain tidur di tangan aku! Katanya gak boleh melewati batas, ini malah kamu yang melanggar aturan itu gimana sih—""Suut!" Zafar dengan cepat membungkam mulut gadis itu, dia yang tadi duduk berbaring kembali karena Zafar mendorongnya. Hal itu membuat keduanya kini berdekatan, Zafar perlahan menurunkan tangan yang dipakai untuk membungkam Hilma, sedangkan gadis itu hanya diam tak berkutik karena terkejut. "Nah begitu diam! Masih pagi banget juga, nanti kalo Ibu denger apa kata dia. Berisik!""Ishh!" Sekuat tenaga Hilma mendorong pria itu agar menjauh darinya. Kemudian dia bangkit
"Maksudnya kamu udah punya pacar?" tanya Bu Hani bingung. Hilma yang keceplosan hanya diam berpikir, jika dibilang pacaran, tidak juga. Karena dia dengan Ajat tidak saling mengutarakan rasa cinta. "Bukan begitu, Bu. Maksud saya....""Oh... Kamu sudah ada pria yang dikagumin begitu? Tapi karena kejadian ini malah hilang harapan?"Gadis itu menggaruk kepalanya sambil tersenyum kecil. "Begitu, Bu," jawabnya pelan. Bu Hani mengangguk paham. "Kamu mau nerusin pernikahan ini atau kalian minta banding, bawa kasus ini ke jalur hukum. Ibu siap membantu jika memang kalian tidak melakukan apa-apa.""Jalur hukum, maksudnya polisi begitu, Bu?" Bu Hani mengangguk. Sedangkan Hilma diam, bukan tidak mau. Tapi ia paham betul bagaimna sifat watak warga desa di sana. Jika sampai kejadian ini dibawa ke jalur hukum, bahkan sang Bapak pun tidak akan pernah menerima Hilma kembali. "Maaf, Bu. Bukan saya tidak mau. Tapi sulit berada di posisi sekarang. Daripada saya tidak dianggap anak oleh Bapak lagi,
Hampir saja aku menyebutkan siapa orang yang aku cintai selama ini padanya. Tapi meskipun dia tahu juga apa salahnya, toh dia tidak akan mungkin merasa sakit hati bukan? Selang bebrapa hari aku di sini, merasa sangat bosan dan suntuk. Kerjaan itu-itu saja, dan hanya begitu-begitu saja, lain seperti di desa, kalau suntuk bisa pergi ke sawah menikmati pemandangan alam yang Alloh ciptakan. Huff.... Semakin lama di sini aku pasti akan titingkuheun, kalau bahasa Indonesia apa ya, aku juga kurang tau. Yang pasti kaki akan terasa kaku karena hanya jalan ke atas, bawah, teras lagi, dapur lagi. Begitu saja terus.Mana di sini dihadapkan dengan seorang pria yang setiap hari ada saja ulahnya. Kalau aku yang jadi Bu Hani, sudah emosi jiwa dibuatnya. Sedang asik melamun malam-malam, Tiba-tiba pintu diketuk, tak lama Bu Hani muncul dari balik pintu. Ia tersenyum lalu masuk. Aku membenarkan posisi duduk dan bergeser agar Ibu duduk di sebelahku. "Besok hari Kamis, kita siap-siap ke desa ya. Ibu
"Apa yang bisa Bapak lakukan selain memberikan kalian restu dan doa. Nak, Bapak bukan orang yang punya, Bapak tidak punya apa-apa untuk diberikan pada kalian selain doa dan restu Bapak. Setelah di pikirkan bermalam-malam, Bapak sadar bahwa anak kesayanganku ini tidak mungkin melakukan hal yang di mana itu akan merusak dirinya dan juga menyakiti Bapak."Hilma menangis mendengar itu, keduanya dibawa ke dalam pelukan Pak Hasan. Di sela-sela tangis, gadis itu menatap Zafar yang juga tengah menatapnya sadari tadi. Keduanya saling melempar senyum dengan air mata yang sudah membasahi pipi. Karena hari semakin larut, Hilma pulang ke rumah, sedangkan Zafar, menginap di rumah Haji Burhan. Hilma sangat bahagia ketika mereka menaiki sepeda tua berdua. Jalan di tengah-tengah sawah, rembulan yang menyinari malam itu. Ia memeluk erat sang Bapak, menikmati embusan angin malam yang terasa dingin. Wangi tanah basah yang Hilma rindukan ia menikmati wangi itu sepanjang jalan. Sampai di rumah, mereka m
"Neng, ayo dipakai dulu kebayanya!""Oh, iya!" Hilma segera menutup kembali surat yang baru saja ia baca. Gadis itu menyimpannya di atas lemari kecil, kemudian berdiri untuk dipakaikan kebaya dan juga singger Sunda. Tiga puluh menit berlalu, kini Hilma sudah siap. Ia nampak sangat anggun dengan kebaya putih menjuntai panjang, juga make-up yang membuat aura penyanyinya keluar. MUA itu sampai tersenyum takjup. Hilma yang selama ini terpoles lipstik saja belum pernah, sekalinya di makupin sangat manglingi sekali. "Masya Allah... Cantik banget, Neng," ujar MUA itu. Ia bergegas ke luar untuk memanggil Pak Hasan. Wanita beranak dua itu membawanya ke kamar, memperlihatkan betapa cantiknya sang anak. Pak Hasan diam sejenak menatap dari atas sampai bawah, matanya memerah menahan tangis. Terharu melihat sang anak yang sangat cantik sekali dengan riasan itu. "Nuhun, Des, sudah bikin anak Mamang cantik sekali begini," ujarnya. "Sama-sama, Mang. Ayo Desi foto dulu buat kenang-kenangan." Wani
"Asik ya, ditangkap mantan kekasih pas mau jatuh. Tatapan yang sangat mesra."Hilma berdiri ingin menjawab kata-kata suaminya itu, tapi urung karena Teh Desi kembali. Wanita itu bergegas memakaikan sabuk pada Zafar, kemudian merapikan Hilma kembali dengan gaun berwarna Navy itu. Keduanya kembali ke pelaminan, tidak ada tawa dan senyuman, mereka bahkan duduk berjauhan. Sedangkan Zafar sibuk bermain dengan ponselnya, pria itu sama sekali tidak berniat untuk membuat kenangan di ponselnya. "Foto lagi ya!" ucap fotografer. Salah satu asistennya mengatur sepasang pengantin itu dengan gaya yang romantis. Membuat Hilma tak nyaman, sedangkan Zafar datar-datar saja."Senyum atuh, jangan cemberut!" seru tukang foto. Mereka terpaksa tersenyum dengan gaya foto yang tukang foto itu berikan. Sampai pada akhirnya sesi foto selesai, mereka baru bisa menghela napas lega. Hilma meminta Teh Desi untuk segera mencopot konde yang dipakai karena berat sekali sampai-sampai kepalanya itu terasa puing seka