Share

02 • our first call

"Wajib sarapan, antar sekolah kalau Om Dewa harus berangkat lebih pagi, pulang sekolah dijemput setengah jam lebih awal ..." Naileen menyebutkan semua keseharian Sus Tari ketika mengasuh si kembar. Dia menahan helaan nafas beratnya agar tidak terlihat sangat terkejut dengan list di tangannya. "... tidur jam sembilan malam, perhatian rutinitas sebelum tidur seperti cuci muka, gosok gigi, dan dibacakan buku dongeng."

"Maaf banget, Nai. Kelihatannya banyak banget dan bikin lelah. Tapi kamu tenang aja, si kembar itu nggak nakal kok. Mereka gampang dinasihatin dan nurut. Nggak akan selelah kelihatannya." Ringis Sus Tari sebentar.

Naileen mengangguk, "Okay, Sus. Santai aja. Kalo aku kesusahan, ada Mama kok. Aku yakin Mama mau bantu, apalagi Mama suka banget sama si kembar."

Sus Tari tersenyum lega. Keduanya berdiri saat mendengar bunyi klakson mobil. Sus Tari memeluk Naileen erat saat keduanya berdiri di samping mobil rental yang sudah dipesankan oleh Dewa beserta supirnya. 

"Sekali lagi aku minta maaf dan makasih ya, Nai. Ini kunci cadangan rumah Bapak."

"Hah? Kok dikasih ke aku?"

"Kamu kan juga perlu momong si kembar. Baju-baju mereka bisa aja kamu bawa pake koper, tapi sekedar info aja, mereka suka milih bajunya sendiri. Apalagi kalau nginep dimana aja pasti maunya bawa mainan mereka. Aku takut itu ngeganggu orang rumah kamu."

Naileen mengulum bibirnya lalu mengusap bahu Sus Tari, "Santai aja, Sus. Semuanya pokoknya aman dan terkendali. Sus tenang aja, aku sangat bisa diandalkan kok asalnya bukan masalah memasak," balasnya setengah bercanda. "Semoga anak Sus lekas sembuh ya. Sampaein salam aku ke keluarga."

"Makasih ya, Nai. Kamu baik banget sama aku. Kalau nggak ada kamu, aku nggak tahu lagi deh si kembar gimana. Bisa-bisa dibawa ke Surabaya biar ada yang jagain."

Naileen hanya mengangguk sambil tersenyum. Setelah berpelukan sekali lagi, Sus Tari pun masuk ke dalam mobil dan meninggalkan komplek. 

Naileen kembali ke rumahnya sambil bersenandung. Di teras belakang rumah, Nilam sedang melihat majalah fashion ditemani oleh secangkir cokelat panas. Kepalanya menoleh ketika mendengar langkah kaki mendekat.

"Kamu udah tahu kalau kembar bakalan dititipin, Nai?" Nilam menutup majalahnya lalu menatap putrinya yang duduk lesehan di depannya. Naileen mengangguk, "Sus Tari yang kasih tahu aku. Mama sendiri gimana? Dikabarin sama Sus Tari juga? Setuju?"

"Engga," geleng Nilam. "Dewa sendiri yang ngabarin Mama. Si kembar juga kasihan kalau harus dibawa ke Surabaya. Lagipula ada kamu ini."

"Oh begitu ..."

Nilam menarik nafas dalam, "Andai aja Mauren masih hidup, pasti si kembar jauh lebih riang. Dewa juga nggak sibuk sama kerjaan."

"Maksud Mama?"

"Semua orang di komplek ini juga sadar, Nai. Dewa itu sengaja sibuk kerja untuk ngelampiasin rasa sedihnya. Dulu, walaupun sibuk kerja, Dewa bakalan tetap di rumah ketika hari libur. Nggak peduli sesibuk apa dia," Nilam menghembuskan nafas pendek, "Setelah kematian Mauren, dia benar-benar jarang di rumah karena sibuk kerja. Bahkan diawal-awal, dia pulang dalam keadaan mabuk sampai Sus Tari harus minta tolong sama satpam komplek buat ngurusin Dewa kalau sampai rumah mabuk."

"Pasti Om Dewa kehilangan banget ya, Ma."

Nilam mengangguk, "Pasti, Nai. Suami istri itu bisa dibilang berbagi raga dan jiwa. Kalau salah satunya meninggal, bukan cuma raga yang merasakan kehilangan. Tapi juga jiwanya."

"Mama bener," angguk Naileen menyetujui ucapan sang ibu. "Makanya itu, semenjijikan apapun Mama sama Papa, aku tetep bersyukur kalian masih hidup."

Nilam mendelik sinis.

"Anak kurangajar."

"Yah terserah, intinya aku anak kesayangan."

Nilam mengangguk, "Kalo Mama nggak ngamuk juga Papamu bakalan santai aja kamu nggak kerja. Dia yang bilang sendiri bisa biayain hidup kamu bahkan sampai kamu punya anak cucu."

Naileen terbahak kencang. Perkataan sang ibu bukan lelucon semata. Cakra memang tidak memaksa Naileen untuk bekerja bahkan setelah lulus dari kampusnya. Dia malah membiarkan Naileen rehat sejenak dan mengusulkan mendirikan toko bunga atau roti. Bisnis sederhana yang bisa menguntungkan meskipun tidak melelahkan untuk dikerjakan. 

Bahkan kalau tidak kerja pun tidak mengapa. Tabungan Cakra yang dia kumpulkan untuk hidup Naileen ke depannya bisa membiayai kehidupan anaknya sampai cicitnya. Tetapi mana rela Nilam membiarkan itu semua. Bisa-bisa Naileen dipandang rendah oleh orang-orang atau bahkan dikira tidak bersyukur dengan privillage yang dia dapatkan karena hanya berleha-leha menghabiskan uang orangtuanya.

"Jam 11 nanti kita jemput si kembar sekalian makan siang di luar aja ya. Gimana?" 

Naileen mengangguk, "Cool! Pake mobil siapa?"

"Kamu lah. Kamu juga yang nyetir."

"Mama mau kita masuk UGD? Aku belum lancar bawa mobil."

"Makanya sekalian belajar."

Naileen mendelik, "Bawa anak orang woy, Ma."

"Terus kenapa? Kamu tuh harus belajar di jalanan biar cepet berani," Nilam bangun dari duduknya, "Udah ya. Mami mau ke spa dulu sama klinik, kamu mending mandi sana. Bau banget."

"Enak aja! Enggak!"

Nilam terbahak puas karena meledeki putri semata wayangnya itu. Naileen menatap punggung ibunya kesal lalu mendengus, "Wangi kayak gini dibilang bau. Idungnya rusak karena filler atau apa?!"

"Mama denger lho, Nai! Mau Mama tahan uang bulananmu?!"

Naileen meringis pelan. Dia bergegas kembali ke kamarnya untuk membersihkan diri dan kamarnya yang masih berantakan.

•••

Naileen menunggu si kembar pulang sekolah di parkiran bersama Nilam. Naileen menoleh, "Ma, ini udah pulang belum sih?"

"Lha kamu sana cek."

"Nggak mau, malu."

"Dih?" Nilam mendelik, "Kan calon guru disini."

"Tapi malu ..."

Nilam menepuk bahu Naileen, "Sana masuk. Masalahnya ini udah sepi." Balasnya menyemangati putrinya. Naileen menarik nafas dalam lalu menghembuskan perlahan, "Oke oke. Demi Om Dewa."

"ASTAGA!"

Naileen menutup telinga kanannya, "Mama! Kaget banget!" Seru Naileen terkejut bukan main mendengar teriakan ibunya. Nilam memasang wajahnya galak, "Apa?! Mulutmu itu lho, Kak. Demi Om Dewa palamu! Nggak usah turun. Biar Mama yang dateng ke kelasnya."

"Tapi–"

"Siapa nama wali kelasnya?" Tanya Nilam menyela perkataan Naileen. "Miss Eveline." Jawab Naileen lesu.

"Okay."

Naileen menatap punggung Nilam yang berjalan memasuki lobi sekolah. Dia mendengus sebal lalu memainkan ponselnya. Dia lebih baik memainkan games kesukaannya.

Panggilan masuk ke ponselnya membuat dia mengerang kesal. Hal itu membuat dirinya kalah dalam games. Nomor tidak dikenal membuat Naileen menautkan alisnya bingung, dia paling malas mengangkat nomor tidak dikenal.

"Nggak bakalan gue angkat, woy. Serem banget nomor tidak dikenal." 

Setelah tiga kali berdering, nomor tidak dikenal itu berhenti menelfon. Baru saja dia ingin memulai bermain game kembali, namun sebuah pesan singkat masuk ke dalam ponselnya. 

Mata Naileen membulat sempurna ketika melihat pesan masuk itu. Dengan semangat yang membara dan senyuman lebar bak joker, Naileen membuka chat yang masuk itu.

0821 7484 xxxx

Ini saya Dewa, Nai. Maaf karena udah ngerepotin kamu juga Tante Nilam. Ternyata Raja sama Ratu udah pulang bareng sahabatnya, Leo. Mereka lagi main dirumahnya. Kalau bisa, tolong jemput disana aja. Mereka suka ngambek kalau diantar supir Leo.

Jantung Naileen berdetak tak karuan. Euforia bahagia membuat dirinya begitu bersemangat. Apalagi mengetahui Dewa yang menghubunginya lebih dulu; meskipun mengenai kedua anaknya. Tetap saja, dia sangat bahagia.

Tanpa pikir panjang Naileen menghubungi nomor yang sudah dia simpan dengan nama 'My hot duda'.

"Ha-"

"Halo, Om! Ini aku Naileen," dia memejamkan matanya. Merutuki dirinya sendiri dalam hati karena terdengar begitu antusias. Dia berdehem pelan, "Ah maaf karena nggak angkat telfon tadi. Aku kirain siapa. Nanti biar aku jemput ke rumah sahabat si kembar, Om."

"Maaf kalau saya ngerepotin ya, Nai. Saya juga masih ada meeting yang nggak bisa di cancel."

"Iya, Om. Saya juga kosong kok hari ini."

"Bagus lah. Kalau begitu... sampai jumpa."

Naileen langsung mematikan sambungan telfon sambil mendekap ponselnya ke dada. Dia tersenyum dengan mata terpejam bak orang gila. 

Begitu menengok ke samping jendela, "AAAAKKKHHH ASU!" Naileen langsung membekap mulutnya sambil memegang dadanya yang berdebar karena terkejut melihat wajah sinis sang ibu di kaca jendela mobil barusan. 

Naileen menurunkan kaca mobil, "Mama apa banget sih? Aku kaget banget." Protesnya. Nilam mendengus, "Lebay kamu. Kata wali kelasnya si kembar udah balik sama temennya."

"Iya. Baru aja tadi Om Dewa nelfon aku, Ma. Ngabarin kalau mereka ke rumah Leo dan minta tolong buat ngejemput."

"Kita babu apa gimana?"

Naileen cemberut, "Jangan gitu, Ma. Inget, si kembar itu anak piatu. Coba Mama bayangin kalau Mama diposisi mereka? Ibunya meninggal sebelum mereka sempet inget muka ibunya, ayahnya sibuk kerja, sus-nya juga ada ac-" Nilam mencapit bibir putrinya. Dengan malas dia mengangguk, "Ah-ah, Mama tahu. Kamu kenapa jadi cerewet gini sih? Yaudah kita kesana sekarang. Udah di share loc kan?"

"Udah kok. Nggak jauh dari richeese, Ma."

"Sekalian makan disitu aja yuk, Dek. Mau nggak?"

Naileen mengangguk antusias, "Mau banget!" Serunya semangat. Nilam berdecak geli lalu menurunkan rem tangan mobilnya kemudian melajukan mobilnya; meninggalkan parkiran Skyland Kindergarten.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status