Share

MERI BERULAH

Setelah menutup gerbang dan bersiap untuk membuka aplikasi Go Car, tiba-tiba saja ada orang yang menyiramkan air ke arahku dengan sengaja. 

"Sial!" 

Aku menoleh, ternyata Meri yang melakukan itu semua. Dasar manusia tidak punya tata krama.

"Itu ganjaran buat orang yang sudah merusak kebahagiaanku!" teriak Meri dari dalam gerbang. 

"Kebahagiaan apa? Kebahagiaan menipu saudara sendiri? Wow ... Ternyata ada orang yang bisa bahagia di atas penderitaan orang lain?" 

Segera aku kembali kedalam untuk berganti baju, untung saja ponsel di tangan masih aman. Kalau sampai rusak gara-gara kena air, aku pasti akan menuntut Meri. 

Belum saja menginjakkan kaki di teras, Meri menarik rambutku yang tergerai. 

"Dasar orang kampung! Sudah miskin bela gu! Sebelum kamu datang ke sini semua baik-baik saja! Tapi sekarang aku harus kehilangan kasih sayang mas Anjar!" teriak Meri kalap sambil menarik dan mencakar wajahku. 

Dengan sigap aku menarik tangan Meri dan segera menjatuhkannya ke tanah. Sebelum wajahku hancur oleh cakaran kuku panjangnya. 

Aku pikir dia hanya berani di mulut saja, ternyata aku salah. Dia sangat bar-bar. 

"Maryuni ... Lepaskan!" teriak mama mencoba menengahi. 

Tubuh Meri yang sudah jatuh ke tanah membuatku serba salah. Jujur, aku takut kalau mama menuduhku menghajar anak gadisnya, padahal dia sendiri yang berulah.

"Meri yang memulai, Ma. Dia menyiramku dengan air bekas cucian dan menjambak rambutku." Aku membela diri. 

"Sudah, sana ganti baju. Sudah siang," ucap Mama sembari membantu Meri berdiri. 

"Sebentar!" 

"Saya memang orang kampung, saya tidak akan pernah datang ke sini kalau si empunya rumah tidak meminta saya untuk datang dan tinggal. Jadi, kalau ingin saya pergi dari sini. Katakan pada orang yang meminta saya untuk mengembalikan saya!" tantangku, geram rasanya di perlakukan semena-mena. 

"Mar, maafkan adikmu," ucap mama memelas. 

Aku tidak tahu, seberapa jahatnya si Meri. Berulang kali dia berulah aku mencoba sabar dan sadar diri, tetapi kelakuannya sangat keterlaluan. 

Tidak aku gubris perkataan mama. Aku ingin segera pergi dari rumah ini. 

+++

Empat bulan yang lalu, sebelum aku dan mas Anjar resmi menikah. Kami tidak di jodohkan, tetapi salah satu teman mas Anjar yang juga temanku memperkenalkan dia kepadaku. 

Mas Anjar yang waktu perkenalan terlihat baik ternyata setelah menikah berubah sembilan puluh derajat. 

Kata temanku mas Anjar adalah seorang duda tidak beranak dan pisah karena di tinggal selingkuh, aku pun tidak mempermasalahkannya dan menerima lamarannya setelah satu bulan perkenalan. 

Bukan aku tidak ingin mengenalnya lebih dalam, tetapi desakan simbok agar aku segera menikah membuatku tidak bisa berkutik. Aku terima saja lamarannya agar simbok senang. Toh, mungkin dengan cara itu aku menyebabkan hatinya bahagia. 

Aku Maryuni yang berumur dua puluh lima dengan mas Anjar yang berusia tiga puluh enam. Aku pikir tidak masalah terpaut usia yang cukup jauh, mungkin dia bisa momong aku yang masih labil. 

Sebelum aku menerima permintaan simbok untuk segera menikah, aku meminta beliau untuk merahasiakan semua yang aku miliki. Termasuk rumah yang baru saja selesai kubuat dengan hasil jerih payahku sendiri. 

Terlihat aneh memang, menerima lamaran tanpa tahu seluk beluk kepribadiannya, apa mau di buat simbok terus saja mendesak. Hingga aku memutuskan untuk menerimanya.

Sialnya, dia yang aku kira sangat loyal ternyata sangat berbeda. Karena segala upacara di adakan di kampung jadi aku di boyong kerumahnya yang berada di kota. 

Sesampainya di kota, aku sungguh terkejut dengan keadaan rumah sebesar. Rumah mewah, tetapi tidak ada bahan makanan sama sekali. Aku tidak ingin di anggap benalu, maka sebisa mungkin aku membawa diri agar. 

Dengan bantuan mas Anjar, terbeli sudah kebutuhan dapur. Aku pikir orang kota kebanyakan akan mengisi kulkas dengan penuh dan menyimpan berbagai kebutuhan sebagai stok selama sebulan. Nyatanya, tidak begitu di rumah ini. 

Setidaknya sampai detik Ini, aku masih mencoba untuk sadar diri. Mengingat mas Anjar tidak ingin pisah rumah dengan keluarganya, jadi aku sendiri yang harus berinisiatif mencari waktu untuk menentramkan hatiku. Dengan beralasan bekerja di toko orang lain, padahal itu miliku sendiri. 

Tidak apa, yang terpenting aku harus tetap menjaga semua aset yang aku miliki dari orang-orang seperti mereka. 

+++

Hari ini tanggal aku gajian, mas Anjar begitu antusias mendengar aku akan gajian. 

"Hati-hati di jalan, ya, Dek." Suara mas Anjar dari seberang lalu mengakhiri sambungan telepon sepihak.

Tidak biasanya dia menghubungiku melalui telepon, entah apa yang ada di pikirannya.

Kuhitung hasil jualan hari ini, alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT. Semua ini tidak lepas dari campur tangan-Nya. 

"Alhamdulillah, Mbak, untuk hasil hari ini. Oiya ... Besok juragan cabe tidak bisa kirim, bagaimana dengan pelanggan kita, ya? Dia bilang lusa baru bisa kirim karena sedang berduka katanya," ucapku kepada mbak Wati yang masih sibuk membersihkan toko dari daun yang berserak. 

"Besok permintaan hanya sekitar satu setengah kwintal, aku usahakan untuk mencari di pasar saja, mbak Yun. Biar para pelanggan tidak kecewa dan berpindah tempat," jawabnya.

Aku mengangguk mengiyakan ucapannya. Sembari memisahkan modal dan laba, aku sedikit heran. Harusnya laba lebih dari ini, tetapi kenapa seperti berkurang lima persen?

"Mbak, Desti mana?" tanyaku.

"Izin pulang awal, Mbak. Katanya mau mengantar ibunya ke dokter. Kenapa, Mbak?" 

"Sini, Mbak," panggilku kepada mbak Wati agar segera mendekat. 

"Kenapa?" 

"Mbak, seharusnya laba hari ini sudah di potong modal lebih dari itu, tapi aku hitung nggak nyampe segitu, seperti berkurang sekitar lima persen?" tanyaku keheranan.

"Apa jangan-jangan Desti berulah?" 

"Jangan menuduh tanpa bukti jatuhnya fitnah, ngeri lo!" Aku tidak ingin menuduh orang sembarangan. 

Aku dan mbak Wati menyelesaikan bersih-bersih, tokoku hanya beroperasi dari pagi pukul enam sampai empat sore, jadi sebelum aku pulang, toko sudah harus dalam keadaan bersih. Kami berdua bergotong royong untuk melakukannya, begitu juga biasanya kalau Desti belum pulang. 

Saat sedang mengeluarkan sampah plastik dan tali, tiba-tiba saja aku di kejutkan dengan suara yang sangat tidak asing. 

"Oh ... Ini ternyata kerjanya? Cocok buat orang kampung! Ih ... Menjijikan!" Suara Meri begitu keras. 

"Yang penting halal!" sahutku. 

"Iya memang cocok jadi kuli panggul! Gaji nggak seberapa saja bela gu!"

"Siapa yang kuli? Dia bukan kuli! Dia itu pemilik semua ini!" 

Yaa Allah, Mbak Wati!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status