Share

4

Mas Ridwan kembali memasuki mobil lagi. Dia sempat melihatku memegang handphonenya. Aku salah tingkah.

Kenapa Nis? Curiga aku berbalas pesan dengan Ratih?" tanyanya terlihat santai.

Bahkan aku lupakan sekejap pelakor itu. Aku penasaran dengan keadaan ibu mertua.

"Mas, ini tadi Anggun mengirim pesan,"

Ku tunjukan handphone nya padanya.

" Oh."

"Mas kok tenang saja. Mas tidak khawatir?"

"Iya nanti aku kirim uang."

"Mas aku rasa mereka tidak hanya butuh uang. Tetapi juga butuh kehadiran mu ditengah mereka. Nanti kita jenguk ibu ya mas. Lagipula Nisa juga sudah lama tidak bertemu beliau."

"Ngapain sih Nis? Rumah mereka jauh. Mas capek pulang kerja. Di kirim uang juga sudah selesai,"

"Kalau mas capek, biar aku yang nyetir nanti."

"Anisa, aku ini suami kamu. Tolong turuti suami. Mas juga tidak mengizinkan kamu kesana tanpa mas."

Aku hanya melipat tangan. Menggerutu. Aneh sekali Mas Ridwan terlihat santai mendengar kabar ibunya sedang sakit. Memang Mas Ridwan tidak pernah mengalami kehilangan sosok ibu dalam hidup. Ibu ku meninggal saat aku masih duduk di bangku TK, Mas Roy di kelas empat SD. Dan hingga ajal menjemput, ayah tidak pernah mencari pengganti ibu Tidak ada yang bisa menggantikan posisi ibu di hati ayah. Selalu begitu yang dikatakan tiap kali aku dan Mas Roy menyarankan untuk menikah lagi. Itulah kenapa aku begitu menyayangi ibu mertua ku. Karena aku rindu sosok ibu.

Apa mungkin ini ada hubungannya dengan Ratih sang pelakor itu? Ini adalah teka teki yang harus aku pecahkan juga.

*

Semua rencana sudah terpatri dalam otak. Tinggal merealisasikan sesuai tanggal mainnya. Aku terpaku melihat foto Almarhum ayah. Apakah karena suamiku perusahaan ayah kelak akan tumbang? Apakah ayah rela semua usaha yang ayah rintis dari nol harus jatuh ke tangan orang lain?

Ah ayah. Engkau terlalu percaya pada menantu yang baru ayah kenal dua tahun. Begitu sayang nya ayah kepada Mas Ridwan hingga beliau mempercayakan putrinya dan usahanya kepada Mas Ridwan. Andai Mas Ridwan mempunyai rasa hormat dan menghargai yang sama seperti ayah.

Kalau tidak karena ayah, rasanya aku ingin turun tangan sendiri mengelola perusahaan. Tetapi setelah keguguran setahun silam karena aku terlalu banyak beraktivitas, ayah melarang keras aku untuk bekerja.

Tapi dengan kejadian ini, aku tidak berharap banyak bisa mewujudkan mimpi mempunyai keturunan dengan Mas Ridwan.

*

Suatu pagi, saat jam kerja sudah mulai, aku kembali ke kantor. Aku hanya sebatas sampai pos satpam. Tujuan ku memang disini.

"Selamat pagi, pak," sapaku pada dua satpam ini.

"Bu Anisa. Sok atuh langsung masuk aja." kata Pak Kodir ramah.

"Tujuan saya itu memang kemari pak,"

Pak Kodir heran. Dia diam. Ada raut gemetar juga dalam pias wajahnya.

"Apakah saya berbuat kesalahan bu?" tanyanya lesu.

"Siapa yang bilang sih pak. Sudah jangan tegang dulu. Ini sarapan dulu. Sudah saya bawakan," ucapku seraya menyodorkan dua bungkus gado-gado.

Pak Kodir masih tampak lesu dan ketakutan tanpa menyentuh makanan yang aku bawa.

"Pak, bapak kan sudah bekerja disini dari Almarhum ayah saya yang memimpin. Bapak juga harusnya mengerti kan. Perusahaan ini milik saya dan kakak saya. Bukan milik Mas Ridwan. Kebetulan ia dipercaya ayah untuk mengelola. Mas Ridwan tidak ada wewenang untuk memecat bapak. Jika suatu saat dia melakukan itu, bapak bisa mengadu kepada saya."

"Jadi maksud Bu Anisa kemari itu apa?"

"Saat kemarin saya berkunjung kesini, saya merasakan semua aneh pak. Karyawannya banyak yang tidak saya hafal. Banyak perubahan. Banyak yang dirombak Mas Ridwan. Termasuk lantai empat. Kenapa harus ada pintu khusus. Dan dalam ruangan itu juga hanya ada Dirut dan sekertaris, apa tidak merasa ganjil."

"Kalau itu semua perintah Pak Ridwan sendiri bu."

"Lalu kalau tentang sekretarisnya yang bernama Ratih? Dia juga dekat dengan Mas Ridwan?"

"Kalau itu jujur saya tidak tau bu. Karena ya memang ruangan kerja nya tertutup dan tidak ada CCTV di lantai empat. Tetapi sekali saya pernah melihat Pak Ridwan keluar bersama Bu Ratih."

Degg. Bagai di hujam belati. Spesial itukah hubungan mereka?

"Lalu bagaimana bisa karyawan disini dirombak hampir sembilan puluh persen dirubah pak?"

"Yang saya tau bu. Banyak karyawan itu bawaan dari Bu Ratih. Seperti Bu Clara kemarin."

Aku mengangguk. Pantas sifat Clara tidak jauh dengan Ratih. Ternyata mereka berteman.

"Ya sudah, terimakasih ya pak atas informasinya."

"Iya bu. Kalau ada salahnya saya minta maaf. Jangan pecat saya ya bu."

"Bapak tenang saja. Bapak aman."

Mobilku mulai keluar dari area perusahan. Tetapi dari balik spion aku menangkap seorang wanita penjual gorengan yang menyeka keringatnya di bawah terik matahari. Dan aku tidak asing dengannya. Aku tepikan mobil. Ibu mertuaku...

"Ibu," teriak ku.

Tetapi yang ku panggil sekilas menoleh lalu lari menghindar dariku...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status