Mas Ridwan kembali memasuki mobil lagi. Dia sempat melihatku memegang handphonenya. Aku salah tingkah.
Kenapa Nis? Curiga aku berbalas pesan dengan Ratih?" tanyanya terlihat santai.Bahkan aku lupakan sekejap pelakor itu. Aku penasaran dengan keadaan ibu mertua."Mas, ini tadi Anggun mengirim pesan,"Ku tunjukan handphone nya padanya." Oh.""Mas kok tenang saja. Mas tidak khawatir?""Iya nanti aku kirim uang.""Mas aku rasa mereka tidak hanya butuh uang. Tetapi juga butuh kehadiran mu ditengah mereka. Nanti kita jenguk ibu ya mas. Lagipula Nisa juga sudah lama tidak bertemu beliau.""Ngapain sih Nis? Rumah mereka jauh. Mas capek pulang kerja. Di kirim uang juga sudah selesai,""Kalau mas capek, biar aku yang nyetir nanti.""Anisa, aku ini suami kamu. Tolong turuti suami. Mas juga tidak mengizinkan kamu kesana tanpa mas."Aku hanya melipat tangan. Menggerutu. Aneh sekali Mas Ridwan terlihat santai mendengar kabar ibunya sedang sakit. Memang Mas Ridwan tidak pernah mengalami kehilangan sosok ibu dalam hidup. Ibu ku meninggal saat aku masih duduk di bangku TK, Mas Roy di kelas empat SD. Dan hingga ajal menjemput, ayah tidak pernah mencari pengganti ibu Tidak ada yang bisa menggantikan posisi ibu di hati ayah. Selalu begitu yang dikatakan tiap kali aku dan Mas Roy menyarankan untuk menikah lagi. Itulah kenapa aku begitu menyayangi ibu mertua ku. Karena aku rindu sosok ibu.Apa mungkin ini ada hubungannya dengan Ratih sang pelakor itu? Ini adalah teka teki yang harus aku pecahkan juga.*Semua rencana sudah terpatri dalam otak. Tinggal merealisasikan sesuai tanggal mainnya. Aku terpaku melihat foto Almarhum ayah. Apakah karena suamiku perusahaan ayah kelak akan tumbang? Apakah ayah rela semua usaha yang ayah rintis dari nol harus jatuh ke tangan orang lain?Ah ayah. Engkau terlalu percaya pada menantu yang baru ayah kenal dua tahun. Begitu sayang nya ayah kepada Mas Ridwan hingga beliau mempercayakan putrinya dan usahanya kepada Mas Ridwan. Andai Mas Ridwan mempunyai rasa hormat dan menghargai yang sama seperti ayah.Kalau tidak karena ayah, rasanya aku ingin turun tangan sendiri mengelola perusahaan. Tetapi setelah keguguran setahun silam karena aku terlalu banyak beraktivitas, ayah melarang keras aku untuk bekerja.Tapi dengan kejadian ini, aku tidak berharap banyak bisa mewujudkan mimpi mempunyai keturunan dengan Mas Ridwan.*Suatu pagi, saat jam kerja sudah mulai, aku kembali ke kantor. Aku hanya sebatas sampai pos satpam. Tujuan ku memang disini."Selamat pagi, pak," sapaku pada dua satpam ini."Bu Anisa. Sok atuh langsung masuk aja." kata Pak Kodir ramah."Tujuan saya itu memang kemari pak,"Pak Kodir heran. Dia diam. Ada raut gemetar juga dalam pias wajahnya."Apakah saya berbuat kesalahan bu?" tanyanya lesu."Siapa yang bilang sih pak. Sudah jangan tegang dulu. Ini sarapan dulu. Sudah saya bawakan," ucapku seraya menyodorkan dua bungkus gado-gado.Pak Kodir masih tampak lesu dan ketakutan tanpa menyentuh makanan yang aku bawa."Pak, bapak kan sudah bekerja disini dari Almarhum ayah saya yang memimpin. Bapak juga harusnya mengerti kan. Perusahaan ini milik saya dan kakak saya. Bukan milik Mas Ridwan. Kebetulan ia dipercaya ayah untuk mengelola. Mas Ridwan tidak ada wewenang untuk memecat bapak. Jika suatu saat dia melakukan itu, bapak bisa mengadu kepada saya.""Jadi maksud Bu Anisa kemari itu apa?""Saat kemarin saya berkunjung kesini, saya merasakan semua aneh pak. Karyawannya banyak yang tidak saya hafal. Banyak perubahan. Banyak yang dirombak Mas Ridwan. Termasuk lantai empat. Kenapa harus ada pintu khusus. Dan dalam ruangan itu juga hanya ada Dirut dan sekertaris, apa tidak merasa ganjil.""Kalau itu semua perintah Pak Ridwan sendiri bu.""Lalu kalau tentang sekretarisnya yang bernama Ratih? Dia juga dekat dengan Mas Ridwan?""Kalau itu jujur saya tidak tau bu. Karena ya memang ruangan kerja nya tertutup dan tidak ada CCTV di lantai empat. Tetapi sekali saya pernah melihat Pak Ridwan keluar bersama Bu Ratih."Degg. Bagai di hujam belati. Spesial itukah hubungan mereka?"Lalu bagaimana bisa karyawan disini dirombak hampir sembilan puluh persen dirubah pak?""Yang saya tau bu. Banyak karyawan itu bawaan dari Bu Ratih. Seperti Bu Clara kemarin."Aku mengangguk. Pantas sifat Clara tidak jauh dengan Ratih. Ternyata mereka berteman."Ya sudah, terimakasih ya pak atas informasinya.""Iya bu. Kalau ada salahnya saya minta maaf. Jangan pecat saya ya bu.""Bapak tenang saja. Bapak aman."Mobilku mulai keluar dari area perusahan. Tetapi dari balik spion aku menangkap seorang wanita penjual gorengan yang menyeka keringatnya di bawah terik matahari. Dan aku tidak asing dengannya. Aku tepikan mobil. Ibu mertuaku..."Ibu," teriak ku.Tetapi yang ku panggil sekilas menoleh lalu lari menghindar dariku...Aku kejar ibu. Kenapa beliau menghindar dariku? Lalu lalang orang di trotoar membuat ku kehilangan sosok ibu. Kemungkinan ibu telah naik angkot yang lewat tadi.Aku kembali terpaku di kursi kemudi. Sebenarnya apa yang terjadi? Bukankah kemarin Anggun mengirim pesan kepada Mas Ridwan bahwa ibu sakit? Kenapa sekarang justru ibu berjualan?Mungkin memang pada Mas Ridwan lah aku menemukan kunci jawabannya. Semoga aku bisa mengorek apa yang sebenarnya terjadi.*Malam harinya..."Mas tadi aku ketemu ibu.""Dimana?"Degg. Apa aku bilang di sekitar kantor? Saat aku kesana tadi Mas Ridwan kan tidak tau."Ehm di sekitar kantor mas. Tadi aku lewat. Aku berhenti lalu ingin mengejar ibu, tetapi beliau menghindar mas. Bukan kah ibu sedang sakit mas?""Lah itu kamu tau sendiri. Kamu salah lihat paling Nis.""Enggak mas. Aku yakin itu ibu.""Mana mungkin Nisa. Rumah ibu itu jauh. Tidak mungkin ibu berjualan sampai sini. Lagipula ngapain ibu berjualan. Uang yang aku kirim lebih dari kata cukup kok.
"Anisa," panggil pria itu.Aku menoleh ke arahnya. Aku memicingkan mata. Memori otak ku bekerja. Ah aku gagal mengingat dia itu siapa. Clara memandang ku penuh tatapan tak suka. Apalagi pasangannya memanggilku."Aku Hisyam," ucapnya.Ku lihat Clara sepertinya protes, dia memanggilku. Mungkin juga dia melarang untuk menyapaku."Oh Hisyam. Apa kabarnya? Kamu masih ingat aku?""Bagaimana aku lupa Nis ? Karena kebaikan ayahmu lah yang membuatku hidup sampai sekarang. Ayahmu yang memungutku di jalanan, merawat ku dan menjamin pendidikanku."Ayah dulu memang senang merawat anak jalanan lalu menjamin pendidikan nya. Ayah membangunkan sebuah pondok bagi mereka. Dan dulu aku sering diajak kesana. Agar aku selalu bersyukur bisa dekat dengan orang tua. Karena ada yang nasibnya dibawah ku.Setelah berbasa-basi, aku melanjutkan mengikuti Mas Ridwan lagi. Ku pepet pundak Clara."Lihat ini yang kamu sangka orang gila tempo hari, pasanganmu justru menyapaku tuh. Malu atuh neng," bisik ku melangkah pe
"Kamu kenapa sih Nis? Dari kemarin uring-uringan gara-gara ibu terus?" tanya Mas Ridwan tiba-tiba.Aku tidak boleh menceritakan perihal pertemuanku tadi dengan ibu. Takut memang ini sebagian rencana dari Mas Ridwan."Enggak mas. Nisa cuma ingat ibu saja. Kan baru kali ini lagi Nisa merasakan sosok seorang ibu.""Yang penting keluarga ibu itu setiap bulan diberi nafkah ya udah. Selebihnya jangan kamu pikirkan."Aku hanya mengangguk pelan walau dalam hati tidak terima atas semua kalimat yang dilontarkan Mas Ridwan. Aku harus mengatur jadwal kapan aku bisa ke rumah ibu.Tapi mungkin jika dalam waktu dekat, aku takut ibu masih dalam sikapnya seperti tadi. Biarlah aku jeda beberapa hari dulu.Handphone Mas Ridwan berdering menandakan ada pesan masuk dari aplikasi hijau tersebut. Mumpung Mas Ridwan masih di toilet, aku reflek membuka nya walau hanya di layar kunci, pesan itu terlihat.[ Mas, besok lunch yuk. Sudah lama nggak hang out bareng ]Pesan dari kontak bernama R. Sudah ku pastikan i
"Yang penting kan isinya. Bukan dompet nya," jawabku sinis.Ratih hanya tersenyum kecut dan melenggang pergi. Ku tarik nafas, ku keluarkan pelan pelan. Panas. Iya hati ku panas. Melihat raut wajah Ratih. Melihat lirikannya pada suamiku. Oh Tuhan jika memang Engkau menganggap ku kuat menerima ujian ini, maka kuatkan aku. Sabarkanlah hatiku.Ya aku memang rapuh. Tapi aku tidak mau terlihat lemah di depan mereka. Di depan orang-orang yang memang harusnya aku singkirkan dalam hidup. Bukan hanya karena cinta dan merasa di khianati. Tapi hatiku lebih sakit ketika kepercayaan almarhum ayahku disia-siakan. Lelaki yang dianggap baik, yang dititipi amanah, yang di percaya bisa melindungi ku, kini menggores luka hati dengan sengaja. Aku butuh ketenangan. Ya setelah aku mengikuti saran Mas Ridwan untuk program hamil dan lebih banyak beristirahat, aku meninggalkan kebiasaan ku dulu."Mas, nanti sore aku mau ikut pengajian lagi di masjid Al Furqon setelah itu ikut berpartisipasi mengajar anak-ana
" Aku hanya teman biasa dengan Clara," jawab Hisyam." Hah serius ? Tetapi sewaktu di pesta kemarin, Clara sepertinya marah kamu menyapaku,"" Ah masak iya sih ? Kebetulan kemarin Clara meminta ku menemaninya. Malu sama teman-temanya katanya kalau tidak bawa pasangan. Kalau aku memang ada hubungan dengan Clara, harusnya kemarin aku takut dong menyapamu,"Kami tertawa bersama. Aku terakhir kali bertemu Hisyam sewaktu SMA. Selepas SMA, kami melanjutkan kuliah di kota yang berbeda." Bukanya Clara itu bekerja di kantor suamimu ya Nis ?"" Iya,"" Kenapa dia terus menatapmu sinis. Penuh perasaan tidak suka ?"" Memangnya Clara tidak cerita Syam ?"Hisyam salah tingkah. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang mungkin tidak gatal." Iya cerita. Tapi aku tidak serta merta mempercayainya Nis. Kamu wanita yang baik, pintar, insya Allah solehah. Kurang apa lagi dan dengan alasan apa dia menduakanmu ?"" Kurang cinta. Kurang cantik mungkin Syam," jawabku sambil tersenyum." Kalau semua menuruti nafsu,
Pagi ini setelah Mas Ridwan pergi, aku memanasi mobil ku. Kali ini kuajak dia bepergian jauh ke luar kota. Dan memutuskam untuk menyetir sendir agatbtifak ada seorang pun yang tau tentang apa yang akam terjadi nanti. Ya aku ke rumah ibu mertua. Mencari tau apa yang sebenarnya terjadi.Kini aku telah berdiri di depan rumah mertua ku. Rumah yang masih sama, tidak ada perubahan sedikitpun. Tapi rumah itu tampak lengang tak seperti biasanyaAku ketuk pintu, ku ucapkan salam. Tapi lama tidak ada sahutan. Lama akhirnya ada suara dari dalam menyahut." Iya sebentar,"Aku tunggu. Dan seorang perempuan muda mebukakan pintunya. Anggun." Mbak Nisa,"Aku tersenyum. Belum sempat aku mengajakmya bicara terdengar sahutan lagi dari dalam." Siapa Nggun ?" teriaknya. Anggun hanya diam mematung tanpa mampu menjawab. Kenapa dia melihat aku seperti momok yang menakutkan." Ngapain kamu kesini ?" tanya Mbak Mira kakak pertama Mas Ridwan.Aku mengulurkan tangan untuk sekedar berjabat tangan. Tapi dia men
Sungguh hatiku berada di persimpangan dilema. Logika serta nurani ku bertabrakan. Ada rasa kasihan yang mendalam dengan keadaan keluarga Mas Ridwan.Baik kini saatnya aku berdamai dengan hati. Karena jiwa dan hatiku juga berhak bahagia bukan. Tentang keluarga Mas Ridwan, biarlah keyakinanku yang berbicara." Mas, Anggun itu sudah semester berapa ya ?" tanyaku disuatu malam." Entahlah Nis. Aku lupa. Urusanku bukan cuma Anggun saja. Lagi pula kalau waktunya lulus juga lulus kok. Kenapa ? Kamu keberatan dengan biaya kuliahnya ?"" Kamu itu yang kenapa mas ? Setiap aku bahas keluarga mu selalu saja sensitif. Bukanya bersyukur istrinya masih memikirkan keluarga suami. Aneh kamu mas,"" Banyak yang bisa dibahas daripada sekedar membahas keluargaku kan Nis," kata Ridwan tidak mau kalah." Aku tidak mau membahas yang lain. Apalagi membicarakan orang lain. Aku hanya ngin mengurus apa yang memang menjadi urusan kita,"" Ya sudahlah, kalau begitu kamu mau tanya apa lagi ?" tanya Ridwan dengan k
" Kenapa kamu disini Nis ?" tanya Mas Ridwan. Yang bisa aku tangkap adalah wajahnya menyimpat gurat kemarahan mendalam.Tapi justru aku tersenyum manis untuknya. " Perbaiki dulu pertanyaanmu Mas,"Mas Ridwan salah tingkah. Ia menunduk penuh gusar." Sudahlah Nis maksud kamu itu sebenarnya apa ?"" Aku ingun mengelola kembali perusahaan ayahku. Ada yang salah ?"" Tapi kan Nis. Ayahmu sudah memasrahkan ini ke aku. Dan kamu tetap fokus pada program hamil."Aku nenyilangkan tangan ke dada. Menatap Mas Ridwan seperti kucing yang tengah menatap tikus yang lemah." Memasrahkan bukan berarti memberi kan ? Lagipula aku sudah pasrah untuk hamil. Kalau Allah menakdirkan aku hamil, pasti juga hamil kok,"Dia menjambak rambutnya sendiri. Dan Brakkkk....Mas Ridwan memukul meja." Lalu kamu anggap suamimu ini apa ?"" Tenang mas. Kamu tetap disini membantuku. Kamu berada di posisi wakil dirut. Sudah lama semenjak ayah tiada, posisi itu kosong karena kamu telah meniadakanya,"" Kenapa harus begini