***"Pa ....""Sudah kubilang jangan panggil aku, Pa! Menjijikkan!" hardik Pak Agung. "Mang, bawa mereka berdua keluar, dan jangan pernah biarkan dua wanita mengerikan ini masuk ke dalam rumahku!"Mamang menyeret tangan Melinda dan Nasya secara kasar dan mendorongnya keduanya agar keluar dari dalam rumah dengan sedikit menghempas."Bikin kerjaan aja! Sana pulang!" hardik Mamang. "Gak tau diri banget!"Nasya berkacak pinggang, dadanya membusung dan berteriak lantang. "Kurang aja sekali kamu, hah? Dasar satpam miskin!"Mamang tertawa sumbang. Semakin bersyukur karena Bima tidak jadi menikah dengan wanita seperti Nasya. "Benar kata Pak Agung. Menjijikkan!"Nasya dan Melinda di usir secara tidak hormat. Mang Dadang segera menutup pintu pagar dan meludah tepat di depan Mel dan Nasya untuk melampiaskan rasa kesalnya."Sana pergi! Gak punya malu!"Mel menghentak-hentakkan kakinya sementara Nasya menatap rumah Bima dengan bergumam. "Semua gara-gara Satria, Brengsek! Harusnya aku jadi Nyonya B
***"Assalamualaikum, Ma?""Waalaikumsalam, Sayang. Apa kabar?" tanya Bu Wira ramah. "Emak sama Bapak sehat, Hana?""Alhamdulillah. Kami semua sehat, Ma, kabar Mama sendiri bagaimana?""Sehat, Nak. Selalu sehat. Tumben telepon Mama, mau kasih kejutan ya?"Hana menggigit bibirnya gusar. "Ma ....""Ya, katakan, Nak!""Dua minggu lagi aku menikah ... dengan Pak Bima," ucap Hana hati-hati. "Mohon doa restunya.""Alhamdulillah ... serius secepat ini, Hana? Masya Allah, Mama bahagia, Nak! Semoga acara kalian berjalan lancar, kabari Mama dimana acara kalian berlangsung nanti.""Mama okey?""Tentu, Hana. Mama okey, apa yang kamu pikirkan, hah?"Hana menghela napas panjang. Beban yang berada di pundaknya hilang sudah. Rasa bersalah dan tidak tau diri yang dia rasakan selama ini menguap begitu saja saat semua keluarga Kenan memberikan restunya."Terima kasih, Ma. Terima kasih banyak." Hana menangis. Terbayang bagaimana wajah sedih Bu Wira di seberang sana. "Jangan pernah lagi merasa bersalah y
|Janda menyedihkan! Lihat, baru kucerai sudah kalang kabut aja jualan sayur. Ha ... ha ... ha ...| Aku meremas baju yang melekat di dada saat jemariku tanpa sengaja membuka status WA Mas Ari, mantan suamiku enam bulan yang lalu. Ternyata tidak cukup sampai di situ, di bawah status Mas Ari, terpampang jelas nama Mbak Risa, kakak ipar yang kini sudah menguasai rumah Ibu mertua. Mas Ari dua bersaudara. Kakak pertamanya bekerja di luar pulau dan beristrikan Mbak Risa. Sedang anak kedua yakni Mas Ari, mantan suamiku. |Makanya jadi wanita itu yang nurut. Sok-sokan minta cerai, eh, nggak taunya malah jadi buruh penjual sayur, wkwkwk| Pada caption yang dia tulis, disertakan pula fotoku yang sedang melayani pembeli. FLASHBACK ON ... "Han, ini jatah belanja kamu sebulan. Cukup-cukupin!" Mas Ari melempar beberapa lembar uang berwarna merah tepat di depan wajahku. Hatiku sakit? Tentu saja! Tapi aku bisa apa selain mulai memunguti uang itu satu per satu, tanpa menghitungnya lagi karena suda
FLASHBACK ON .... Prang ...!!! "Tempe terus ... tempe terus ....!" Mas Ari melepar wajan berisi tempe yang baru saja aku tiriskan. Aku berjingkat, air mata mengalir begitu saja melihat wajan kecil yang sudah menghitam itu tergeletak di lantai dengan minyak goreng yang tentu saja sudah bertumpah ruah. Hatiku berdenyut nyeri, tapi aku bisa apa? Aku masih membutuhkan Mas Ari sekalipun uang yang dia berikan tidak seberapa. Aku tidak memiliki penghasilan lain. "Sekali-kali beli ayam, Han. Aku ini kerja ... capek ... masa tiap hari kamu suguhi tempe?" Aku menghela napas kasar, "Ayam mahal, Mas. Uang lima ratus ribu benar-benar aku hemat agar cukup sampai gajian bulan depan," sahutku berterus terang. "Persetan!" Mas Ari menginjak-injak beberapa potong tempe yang berhamburan di lantai, dan .... Brugh! Suamiku terpeleset minyak goreng yang belum sempat aku bersihkan. Dia meringis kesakitan bahkan aku pun ikut meringis karena jatuhnya sangat keras. Saat tanganku terulur hendak membant
Aku terkekeh. "Insecure, Mbak? Buat apa, toh kita sudah tidak terikat hubungan apapun. Lagipula kamu tidak secantik yang kamu pikirkan loh," sindirku. "Apa maksudmu? Aku sama kamu ya jelas cantik aku lah! Semua orang juga tahu itu!" Aku menoleh sejenak dan mengedikkan bahu, lalu kembali berfokus pada para ibu-ibu yang meminta dihitung belanjaannya. Mbak Risa menghentak-hentakkan kaki melihatku yang tidak merespon ucapannya. "Loh, Ris, nggak belanja?" teriak Mbak Juli pada Mbak Risa yang melenggang pergi menjauhi gerobak sayur. "Dih, nggak level banget aku, Mbak, beli ke dia. Mending ke Mall, uang bulanan dari Ari cukup banyak!" Dia mengibaskan tangan di udara. Aku hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Mbak Risa yang semakin menjadi-jadi semenjak aku bercerai dari Mas Ari. "Kamu nggak cemburu lihat iparmu itu, Han?" tanya Yu Tikah. Aku tersenyum tipis dan menggeleng, "Tidak sama sekali, Yu. Lagipula saya sama Mas Ari juga sudah lama bercerai. Dan ya ...." Yu
FLASHBACK ON.... "Hana ... Hana ....!" Aku yang sedang menyiapkan makan malam di dapur sedikit terkesiap mendengar Mas Ari berteriak lantang dari depan. Segera kumatikan kompor dan menghampirinya yang sudah berdiri di depan pintu dengan berkacak pinggang. "Ada apa, Mas? Kenapa teriak-teriak?" "Ada apa kamu bilang, hah? Kamu sadar kan apa yang udah kamu lakuin ke ibu?" Aku menghela nafas kasar. Selalu saja begini, Mas Ari seolah buta dengan situasi yang terjadi. Dia hanya akan membela Ibu sekalipun aku membela diri. "Mas ... harusnya aku loh yang marah sekarang!" Aku berusaha mengeluarkan suara, meskipun jantungku sudah mulai berdebar tidak beraturan. "Punya hak apa kamu di rumah ini? Sadar diri, Han ... kamu itu wanita miskin, jika saja aku dulu tidak menikahimu, mungkin kamu nggak bisa hidup seenak ini. Kamu itu cuma numpang! Numpang disini!" teriak Mas Ari. Suaranya memecah keheningan di dalam rumah. "Uang bulanan yang kamu kasih hanya lima ratus ribu, Mas. Mana ada aku ua
FLASHBACK OFF.... *** "Cabe sepuluh ribu," ujar Ibu Mas Ari datar. Suasana mendadak hening, tidak ada lagi canda tawa para Ibu-ibu yang berbelanja. Mereka seolah mengerti, aku sedang melayani siapa sekarang. "Ini, Bu." Kuserahkan sekantong plastik berisi cabe. Harga cabe sedang naik, wajar saja jika sepuluh ribu hanya dapat segenggam saja. "Kamu mau menipuku?" bentak Ibu Mas Ari dengan lantang. Aku mengerutkan kening. Menipu? "Maksutnya, Bu?" "Iya, kamu mau menipuku kan? Mana ada cabe sepuluh ribu cuma dapat seuprit gini!" Dia melempar kantong plastik tepat di depanku. Aku menghela napas kasar. Ibu salah jika ingin bermain-main denganku sekarang. Karena aku bukan Hana yang dulu. "Lalu Ibu maunya segimana? Segini cukup?" Aku mengambil lagi segenggam cabe rawit di tangan dan kutuang ke dalam kantong plastik tadi. Ibu Mas Ari tersenyum penuh kemenangan membuatku semakin bersyukur bisa lepas dari keluarganya. "Sini!" bentaknya lagi. Ibu-ibu yang lain
FLASHBACK ON ... *** "Ar ... ada masalah penting. Bisa kita ngobrol berdua?" Mbak Risa datang saat aku dan Mas Ari berseteru. Suamiku menghentikan amarahnya begitu melihat istri kakaknya itu mendekat dengan raut wajah yang tak bisa kujelaskan. Semacam takut ... cemas ... berkali-kali dia mengecek ponsel di genggaman. "Kita ngobrol di depan," pinta Mas Ari. Mbak Risa mengangguk. Dia berjalan lebih dulu menuju teras sementara Mas Ari mewanti-wanti agar aku tidak menguping pembicaraan mereka. "Pergi ke dapur, buatkan Mbak Risa minum. Awas kalau kamu nguping! Kupotong telingamu!" ancam Mas Ari. Aku bangkit. Tanpa banyak bicara lagi berpura-pura melengang menuju dapur. Dengan cekatan aku membuat minuman untuk mereka berdua. Bodoh? Memang! Aku memang bodoh karena tidak bisa berbuat apa-apa melihat Mas Ari dan Mbak Risa terlibat obrolan serius. Mulut mereka sama-sama terkunci saat aku datang menyuguhkan minuman dingin di atas meja. "Tunggu apa lagi, sana pergi!" Mbak Risa berbisi