6, KEPUTUSANKU
“Tunggu! Rumah ini milikku, dan aku tak mengijinkannya!” seruku kepada para benalu itu.
Mas Arya tersenyum sinis dan menggelengkan kepala. “Miranti, miranti, apa kau lupa? Siapa yang membeli rumah ini? Aku yang membelinya dari hasil keringatku sendiri menjadi jongos dari ayah kamu yang tukang kawin itu!”
“Jaga bicaramu, Mas! Ayahku tak pernah menganggapmu sebagai jongosnya. Dan jangan pernah bilang ayahku tukang kawin! Kau tak tahu masalah yang melatarbelakangi semua itu!” sahutku dengan penuh emosi. Aku tak terima ayahku dihina oleh suamiku.
“Loh, memang kenyataannya kok. Ayahmu itu kawin sampai empat kali. Kamu toh juga anak haram. Apa artinya kalau bukan tukang kawin?” sahut ibu mertuaku. Mereka benar-benar membuatku emosi.
“Aku tak terima ayahku dihina seperti ini! Apa kalian lupa, kalian itu numpang hidup bersumber dari ayahku?! Aku bisa saja mencabut seluruh fasilitas yang sudah kalian miliki. Cabut kata-kata kalian atau aku akan melakukan ancamanku!” seruku dengan penuh emosi.
“Loh, emang dia tukang kawin kok. Kenapa kamu marah?!” sahut Nia tak mau kalah.
“Diam kamu! jangan ikut campur!” seruku kepada nia.
“Aku ngomong apa adanya! Dan kau takkan berani melakukan apapun! Kau ada di bawah ketiak kakakku. Jadi jangan berani mengancam kami, anak haram dari si tukang kawin!”
Plaak, aku benar-benar tak dapat menahan emosiku. Aku terpaksa mengotori tanganku ini untuk orang yang tak tahu diri.
“Aww, kurangajar kamu Miranti!” seru Nia sembari mengelus pipinya.
“Kau boleh menghinaku, tapi jangan pernah mengusik keluargaku, atau kau tahu akibatnya!” aku kembali mengancam adik yang tahu diri itu.
Aku melihat baron mengepalkan tangannya. Begitu juga suamiku. Mungkinkah mereka akan mengeroyokku ber ramai-ramai? Aku tidak takut. Selama apa yang aku lakukan benar, aku tak akan mundur. Walau mereka akan membunuhku sekalipun, aku tak peduli.Tak ada satu orangpun yang bisa menghina keluargaku.
“Miranti, sini kamu!” Mas Arya menarik lenganku dengan kasar. Entah aku dapat kekuatan darimana hingga aku bisa melepas lenganku yang ditarik begitu kuat oleh suamiku.
“Mau apa kamu, Arya?!” aku sudah tak menghormatinya lagi sebagai suami.
“Ini balasan dari ibuku!” Plaak. “Dan ini dari adikku!” plaak. Dua kali Mas Arya menamparku. Kepalaku terasa sangat pusing. Aku limbung dan hampir terjatuh.
Mencari pegangan yang kuat supaya aku tak terjatuh. Aku mensugesti diriku sendiri untuk tidak lemah. Dengan memperlihatkan kelemahan akan membuat mereka semakin senang menganiayaku. Ada empat anak dan satu calon anak yang harus aku lindungi. Kalau aku lemah, siapa nanti yang akan melindungi mereka. Putra sulungku memang kuat secara fisik, tapi dia belum matang dalam berfikir. Hanya mengedepankan emosi yang mungkin bisa membahayakan dirinya.
Menatap mata Mas Arya dengan tajam. Walau pipiku terasa sakit, aku mencoba tak merasakannya. Kubarkan saja tanpa kusentuh.
“Arya! Kau telah membangunkanku dari tidurku! Kau akan tahu siapa aku yang kau anggap lemah! Tunggu saja balasanku!” ancamku padanya.
“Aku tidak peduli! Lakukan apa yang kau mau! Ini rumahku, dan aku berhak mengijinkan siapapun yang akan tinggal dan angkat kaki dari rumah ini!”
“Maksudmu, kau akan mengusirku dan anak-anak?”
“Iya! Kalau kau tak menuruti perintahku, aku tak segan-segan mengusir kalian dan membiarkan kalian kelaparan di jalanan!”
“Baiklah! Kau sudah menentukan sikap! Kau lebih memilih mereka daripada anak-anak dan diriku! Oke, aku akan pergi, dan ingat, jangan harap kalian akan hidup tenang!” ku langkahkan kaki menuju kamarku. Aku tak peduli dengan suara tertawa penuh penghinaan. Sumpah serapah yang keluar dari mulut berbau busuk itu takku pedulikan.
Aku masuk ke dalam kamar dan mengambil tas besar lalu membuka brankas. Semua surat berharga, uang tunai, buku tabungan dan perhiasan aku masukkan ke dalam tas. Semua asset harus aku amankan. Aku tak mau mereka memiliki semuanya. Segala yang mereka miliki adalah milikku. Aku memang akan pergi dari rumah ini untuk sementara waktu.
Aku mengambil ponsel untuk menghubungi pak surya sebagai pengacara perusahaan. Namun aku sangat terkejut saat beliau mengatakan sudah tidak menjadi pengacara perusahaan. Mas Arya sudah menggantinya dengan tanpa alasan yang jelas. Begitu juga saat aku menghubungi bagian keuangan juga sudah di berhentikan oleh mas arya tanpa alasan yang jelas. Padahal pak agus sudah bekerja semenjak restoran pertama didirikan. Aku bingung ada apa ini sebenarnya.
Aku harus melakukan sesuatu. Pasti ada yang tak beres. Benar-benar harus memastikan keadaan perusahaan. Lalu aku mengajak keduanya untuk bertemu di salah satu cafe yang jarang pengunjung. Supaya lebih aman dari orang-orang yang mungkin mengenal mereka.
Mematikan ponsel dan meraih kunci mobil dalam laci. Tak lupa membawa tas yang terasa lumayan berat bagiku yang tengah berbadan dua. Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh pagi. Sebelum jam dua belas, aku harus sampai rumah supaya anak-anak tidak terusik oleh kehadiran para benalu itu. Aku mengunci kamarku dan juga kamar Umar. Biarlah mereka marah karena tak bisa beristirahat dalam kamar sebelum aku pulang.
Menuruni anak tangga satu persatu. Samar-samar ku lihat ada tamu yang membawa makanan sangat banyak. Ibu dan Nia sudah terlihat sangat akrab. Mereka bercanda dan tertawa. Bahkan ibu mertuaku menyuapi gadis itu. Siapa dia sebenarnya? Wajahnya tak terlihat jelas karena posisinya yang memunggungiku. Wajah ibu dan Nia juga sangat ramah. Mas Aryapun terlihat sangat bahagia.
Tawa Mas Arya terhenti saat melihatku mendekat kearah mereka. Tampak Mas Arya mengerlingkan matanya ke arah ibu dan Nia. Entah kode apa, aku juga tidak tahu. Namun kode itu menghentikan tawa canda mereka. Ada apa sebenarnya. Karena penasaran segera kupercepat langkahku.
Mas Arya terlihat gelisah. Tatapan matanya terfokus pada tas besar yang kubawa. Mudah-mudahan saja dia tak menggeledah tas yang kubawa. Bisa kacau rencanaku kalau sampai dia menggeledahnya. Suamiku pasti takkan rela asset ini jatuh ketanganku dan anak-anak.
“Permisi.” Menyapa mereka dengan basa-basi.
“Huch, males banget deh lihat kamu. Ayo sayang kita makan aja, ibu suapin ya.” Ibu menyuapin gadis yanga duduk di sebelahnya. Pakaiannya memperlihatkan lekuk tubuhnya yang molek. Mata nakal baron tak berhenti menatapnya. Dia berkali-kali menelan ludah. Jangankan melihat yang seperti itu, melihatku yang tak mengumbar aurat saja tertarik. Dasar bandot jelek.
Mencoba fokus pada gadis yang terlihat begitu disayangi oleh ibu. Aku iri melihatnya. Selama jadi menantunya tak pernah sekalipun ibu menyuapiku. Walau aku sudah berbakti kepadanya, tapi baktiku tak pernah diterima olehnya.
Gadis itu tak juga menoleh. Aku begitu penasaran. Melangkahkan kaki mendekat kearahnya. Alangkah terkejutnya aku saat melihat siapa yang ada di hadapanku. “Bu Arya?!” Wanita itu adalah tetangga baruku. Tapi kenapa bisa mereka seakrab ini. Aku makin penasaran dan ingin menanyakan secara langsung.
“Bu Arya, kenal dengan ibu mertua saya?” tanyaku padanya.
“Bukan cuma kenal. Tapi ibu juga sangat menyayanginya.” Ibu mertuaku yang menjawab pertanyaanku. Bu Arya terdiam dan sesekali melirik ke arah Mas Arya. Kulihat Mas Arya hanya menundukkan kepala.
“Apa Bu Arya saudara kita bu? Kok, aku belum pernah kenal sebelumnya, ya?” tanyaku lagi.
“Sini, ibu kasih tahu. Fani itu bukan saudara, tapi lebih dari itu.” Ibu terlihat sangat bahagia.
“Ibu!” Mas Arya menghardik ibu. Satu hal yang tak pernah dilakukannya. Dia memberikan kode dengan menggelengkan kepala.
“Biarin aja! Biar dia tahu!” ibu mertuaku bersikeras untuk memberitahukan sesuatu yang tak kuketahui.
“Tapi tidak sekarang, bu!”
“Ibu benar, Mas! Kasih tahu aja, biar dia gak besar kepala lagi!’ sahut nia dengan kesal.
“Diam! Jangan campuri urusan Masmu!” jawab suamiku.
Ada apa sih, kenapa aku merasa mereka sedang menyembunyikan sesuatu. Dan itu berkaitan dengan tetangga baruku. Konspirasi apa yang sedang mereka mainkan.
“Ada apa sih sebenarnya? Tolong jelaskan!” aku memaksa mereka untuk menjelaskannya.
“Sudahlah! Kau mau pergi’kan?! pergi saja sekarang!” Mas Arya membukakan pintu untukku.
“Aku tak mau pergi sebelum ada penjelasan darimu!” sahutku dengan lantang. Aku harus tahu tentang apa yang mereka rahasiakan. Mas Arya melirik ke tas besar yang aku bawa. Aku bingung menentukan pilihan, pergi atau menunggu penjelasan. Kalau tak pergi, aku takut suamiku akan menggeledah tasku. Kalau aku pergi, aku penasaran dengan rahasia yang mereka sembunyikan. Aku terus menimbang-nimbang mana yang harus kupilih supaya aku tak salah langkah.
RAHASIA STEFANI DAN UMARMas Arya terfokus kepada tas yang ku bawa. Reflek, tanganku melingkar untuk melindungi tas. Tatapan Mas Arya penuh curiga. Dia menarik tanganku untuk keluar rumah, lalu menutup pintu dari luar.Suamiku curiga dengan sikapku. Aku juga tak mengerti kenapa tangan ini reflek melindungi tas yang kubawa. Aku mencoba mengatur nafas dan bersikap tenang.“Apa yang kau bawa?” tanya suamiku dengan tetap terfokus pada tas yang masih kulindungi dengan tanganku.‘Oh ini, tas.” Jawabku singkat.“Isinya?!” suamiku mulai meninggikan suaranya dan aku sangat tak menyukainya.“Kecilkan suaramu! Aku bukan budakmu yang bisa kau bentak sesuka hati!” jawabku sengit dan tak mau kalah.“Jangan mengalihkan pembicaraan!”“Siapa yang mengalihkan pembicaraan?! Kau yang menyuruhku keluar dari rumah ini! Apa tak boleh juga aku membawa pakaianku?!
FAJAR TEMAN MASA KECILKUPOV MIRANTISudah sepuluh menit aku menunggu pak suryo, mantan pengacara perusahaan dan pak agus yang dulu mengurusi bagian keuangan. Mereka adalah orang yang menghargai waktu. Tanpa menunggu lama, kedua orang itupun sudah duduk di hadapanku. Setelah memesan minuman, kami berbasa-basi dengan menanyakan keadaan masing-masing. Setelah itu, keduanya menjelaskan kenapa bisa di berhentikan oleh suamiku.Aku sangat terkejut mendengar alasan suamiku memecat mereka. Dengan alasan perusahaan jatuh pailit hingga terpaksa menghentikan keduanya. Namun aneh, kenapa hanya mereka berdua saja tidak dengan yang lainnya. Pak agus menjelaskan karena beliau sering menolak keinginan mas arya untuk mencairkan dana yang begitu besar, walau berkali-kali suamiku mengancamnya. Diusianya yang sudah lanjut, pak agus dikenal sangat loyal dengan perusahaan. Dia benar-benar menjaga amanah dari ayahku.Selama berada dalam genggaman mas ary
KARYAWAN SONGONG“Apa yang kau lakukan?” terdengar suara seorang wanita begitu keras hingga mengagetkanku. Seketika aku menghentikan tanganku memukul fajar. Pria di hadapanku juga sama terkejutnya denganku. Wajahnya memucat seperti mayat. Aku dibuatnya heran. Seorang pengacara seperti fajar mendadak pucat melihat kedatangan wanita itu.Aku penasaran, semengerikan apa wajah wanita yang ada di belakangku itu. Perlahan, kuputar kepala. Alangkah terkejut saat melihatnya. Bukan hantu mengerikan ataupun monster. Bukan wanita gembul dan berwajah sadis. Tak seperti yang ada dalam bayanganku. Wanita itu begitu cantik dan sexy.Kupandangi dia dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kakinya menapak di lantai, itu artinya dia manusia dan benar-benar cantik seperti bidadari dari langit. Rambutnya yang tergerai, kulitnya yang putih mulus, serta kaki jenjangnya benar-benar sempurna sebagai seorang wanita. Dia juga masih muda. Usianya tak jauh be
1O. BABAK PERTAMA PEMBALASAN“Berdirilah, pak. Kerjakan kembali tugas bapak. Dan tolong katakan kepada pak hilman, untuk mengumpulkan seluruh karyawan di ruangan meeting, sekarang juga!” Perintahku padanya. Aku tidak pernah merendahkan para karyawanku. Mereka sama saja manusia seperti kita. Ayahku yang mengajarkan kepadaku untuk berbuat baik kepada mereka yang telah berjasa kepada perkembangan usaha. Tanpa mereka kita bukan apa-apa. Pesannya yang masih kuingat dan dilaksanakan hingga kini.Kedua security itu telah pergi. Namun tidak dengan pria sontoloyo yang ada di hadapanku.“Kenapa anda masih di sini? Apa tidak tahu pintu keluar?!”“Jangan sombong! Tidak ada yang bisa memerintahku, kecuali pak arya. Tunggu, aku akan menghubungi beliau. Aku pastikan kau akan menyesal telah menghinaku!”“Silahkan, aku tunggu!” Aku melipat kedua lengan di depan dada. Melengkungkan satu sudut bibir dan menunggu h
ARYA MENGIKUTIKUAku masuk ke dalam mobil dan membanting pintu. Sesak di dada menahan amarah. Arya wiguna benar-benar mengujiku. Sudah tahu salah, tapi tak juga mau mengakuinya.Pertarungan ini belum selesai. Namun aku sudah merasa lelah. Sekuat apapun, aku tetap seorang wanita yang lemah. Bayangkan saja, aku harus melawan pria yang sangat kucintai, seorang pria yang bersanding denganku hampir sembilan belas tahun. Itu bukan waktu yang pendek.Dulu aku selalu melayaninya, memanjakan dan membuat dia bahagia. Tapi kini, aku harus membuatnya sengsara dan terluka. Mampukah meneruskan pembalasanku ini. Ya Alloh, berilah hamba kekuatan.Menelungkupkan wajah pada kemudi. Tanpa terasa airmataku luluh juga. Aku menangis? Ya, wajarkah? Lalu apa yang aku tangiskan.Wajar. Kerena aku bukan malaikat. Aku tetap manusia yang mencoba mencari keadilan. Biarlah terus menangis. Tak perlu malu mengeluarkan suara tangisan. Toh takkan ada y
KEMARAHAN AYAHKUKubuka jendela mobil dan berhenti sejenak.“Sukurin, siapa suruh menghalangi jalanku!” Aku tertawa mengejeknya. Segera kulanjutkan perjalanan menuju rumah orangtuaku.Sesampainya di rumah ayah, aku mendandani rambut panjangku yang berantakkan. Karena tak membawa sisir, kubenahi dengan tangan. Saat aku melihat wajahku pada spion mobil, terlihat sangat pucat. Tak ada gincu yang menempel. Pakaian yang kukenakan juga sudah lusuh.Inikah penyebab suamiku berhianat? Terlalu pentingkah polesan pada wajah seorang istri yang sangat cape mengurus anak-anak dengan dua tangannya sendiri. Tak pernahkah para suami berpikir untuk membantu, bukan malah mencari pelampiasan di luar sana.Aku juga ingin cantik seperti wanita lain. Tapi salahkah aku yang berpikir kalau suamiku akan menerima apa adanya karena tak pernah cerewet meminta tambahan lebih. Apakah para lelaki tahu kalau pekerjaan seorang ibu sepertik
RESTU ORANG TUAAku memeluk ayah mencoba menenangkannya. Akupun merasakan ketenangan dalam pelukannya. Dengan susah payah menahan airmata, tapi luruh juga. Terisak di bahu yang kian menua tapi masih kokoh. Merasakan degup jantungnya yang kencang karena emosi yang meluap. Mengusap punggungnya hingga detak jantung itu tak lagi menguat. Semoga pelukanku bisa menenangkan emosinya.Merasakan tetesan hangat di punggung tanganku. Setetes, dua tetes hingga membuatku penasaran untuk melihatnya. Ini adalah airmata. Apakah ayahku menangis? Orang yang berhati baja dan paling benci dengan tangisan, kini mengeluarkan airmata. Begitu sesakkah dadanya. Begitu sakitkah yang dia rasakan melihat putri satu-satunya menderita.Kukecup airmata ayah. Takkan membiarkan airmata ini mengering. Aku mengepalkan tangan dan bersumpah Arya dan kroninya harus membayar mahal atas airmata pria yang sangat aku sayangi. Seorang pria yang telah memberikan putri satu-satunya
14. STEFANI KE SEKOLAH UMARDadaku bergemuruh. Kali ini kesalahannya benar-benar tak bisa termaafkan. Tak ada lagi pintu maaf untuknya.“Ayah, aku tegaskan kali ini. Aku sudah tidak mencintai lagi arya wiguna. Tekadku sudah bulat ntuk bercerai darinya. Saat ini aku akan menganggap dia sebagai orang lain supaya tak terikat lagi dengan sumpah pernikahan dan baktiku kepadanya. Arya wiguna, aku membencimu!” teriakku dengan keras. Kemarahan berbalut kesedihan kembali meluruhkan airmata.“Baiklah, ayah akan membantumu. Jangan menyesal kalau nanti Ayah membunuhnya!”“Tidak, ayah! Kematian bukanlah cara yang terbaik. Aku ingin pria penghianat itu merasakan apa yang aku rasakan. Sakit hati, kesal, marah, kecewa dan semua rasa kesedihan. Aku akan membuatnya miskin dan meratapi perceraian kami. Dia akan meratapi menjadi duda miskin dan ditinggalkan oleh istri mudanya. Aku akan membuatnya menyesal seumur hidupnya.. Itulah sumpahku!&rdquo