(POV AIRA)Aku kaget mendengar usulan yang Mas Raihan paparkan. Bisa-bisanya dia mendapatkan itu seperti itu. Apa yang terfikirkan dalam benaknya tentang pernikahan kami?Tidak bisa kubayangkan bagaimana reaksi Ibu, Mak serta Abah jika mengetahui rencana gila Mas Raihan. Dia pikir aku akan diam saja? Ini rumah tanggaku. Dia suamiku. Aku berhak mempertahankan kelangsungan pernikahan kami. Urusan dia tidak peduli, yo wes! Aku masih punya Allah, kok. Mas Raihan bisa apa kalau Sang Pencipta menggagalkan semua rencananya?***"Mas, makan yuk!"Bismillah, sekuat tenaga kuredam rasa sesak yang sempat menyerang. Jujur, aku sedih saat ia menyarankanku untuk menghancurkan pernikahan kami. Malah dia akan mencari orang lain yang bisa membuat hatinya berbunga-bunga. Dia menjadikan jika ini adalah pernikahan mainan, dengan mudah bisa diputuskan seperti layang-layang.Mulai hari ini aku akan memikirkan cara untuk meluluhkan hati Mas Raihan."Mas, ayuuukk!" seruku sambil tersenyum manja. Rasanya malu
(POV AIRA)"Mas, pelan-pelan," tegurku sambil menarik lengan Mas Raihan. Lelaki yang berada di depanku ini tampak semringah. Ia terlihat bersemangat mengitari deretan baju terusan yang digantung berdempetan. Entah bahagia karena menghabiskan bersamaku, atau karena pertemuan dengan Safia sebelum ashar tadi."Ra, kamu mau yang mana bajunya?" tanya Mas Raihan sambil ikut memilihkan baju untukku."Ngga tau, Mas. Kalau sudah banyak begini, aku suka bingung.""Bingung kenapa? Tinggal pilih aja, kok." Mas Raihan menegaskan."Bingung karena di dekat kamu.""Hm! Mulai, deh!" Mas Raihan melirikku lucu."Iya. Mulai belajar untuk mencintai kamu." Kali ini, sih, bukan iseng, ya. Aku serius!"Aduh! Bisa aja bocah!" seru Mas Raihan. Sebelah tangannya menjawit daguku.Dia berjalan ke arah lain. Sementara aku diminta untuk tidak berlama-lama lagi memilih baju. Hari sudah malam. Kami harus segera pulang.***Sesampai di rumah. Aku memilih masuk kamar, mengganti pakaian dan merebahkan badan. Beberapa ka
(POV RAIHAN)Dasar bocah! Bisa-bisanya dia menjebakku di dalam kamarnya. Berpenampilan menggoda tanpa mengenakan jilbab serta berpakaian tidak seperti biasanya.Aku gugup menahan napas. Bagaimana tidak! Aira terlihat sangat berbeda tanpa balutan baju panjangnya. Jika saat mengenakan pakaian tertutupnya, gadis itu begitu misterius dan susah ditebak, akan tetapi saat berpenampilan seperti tadi malam, dia terlihat menggemaskan dan menggoda tentunya.Lalu apakah aku jatuh cinta? Tentu tidak semudah itu, dong. Cinta dan kagum adalah dua hal yang berbeda. Tidak bisa dikait-kaitkan. Sekarang ini, aku hanya berada dalam lingkup sebatas kagum melihat Aira. Tidak lebih. Aku kagum pada usaha kerasnya untuk meluluhkan hatiku. Namun, itu hanya sia-sia belaka. Dia melakukan hal mustahil yang jelas-jelas tidak akan tercapai.***Pagi ini aku hendak berangkat kerja. Aira sudah siap menungguku di meja makan. Selama dia berada di rumah ini, aku tidak lagi sendirian menghadapi makanan di meja makan."M
(POV AIRA)"Ngga usah, Mas. Aku pulang naik taksi aja. Mas jumpai aja dulu Safia." Aku menolak tawaran Mas Raihan. Kesal, dong, ya. Dia mengagumi wanita lain di depanku. Menceritakan keistimewaan wanita itu tanpa memikirkan perasaanku sama sekali. Apa tidak terbersit di pikirannya tentang perasaanku? Sedikit saja."Kamu kenapa, sih?" tanyanya sambil menahan pintu agar aku tidak bisa keluar."Kamu yang kenapa, sih, Mas? Aku mau pulang. Bosan di sini. Bikin gerah hati.""AC-nya kurang dingin? Aku setel ulang, ya.""Ngga usah, Mas. Aku mau pulang."Aku semakin tidak bisa menahan sedih. Meski baru saja menikah, tapi aku selalu mencoba untuk menumbuhkan rasa cinta pada Mas Raihan. Sama sekali tak pernah terpikir untuk meninggalkannya atau mencari orang lain untuk dicinta. Bagiku, Mas Raihan-lah orang yang harus kuperjuangkan hingga nyawa terpisah dari raga."Ya sudah. Aku antar."Kami berjalan terpisah. Dia berjalan di depan, sementara aku memperlambat langkah di belakang. Aku melihat Saf
(POV RAIHAN)Lama sekali Aira membuka pintu kamar. Sebenarnya dia ingin membahas apa? Masalah rumah tangga? Ada apa memangnya?"Aira ...!""Iya, Mas."Pintu pun terbuka. Kulihat Aira berdiri menundukkan kepala. Matanya menatap lantai."Kita ngobrol di mana? Di sini atau di dalam?""Di dalam aja."Dia minggir memberi jalan. Aku masuk dan langsung menuju kursi mendudukkan badan. Kulihat Aira berjalan perlahan. Bukan memilih kursi di depanku, ia malah duduk di pinggir ranjang."Aku mau ngobrol serius, Mas.""Tentang apa?" tanyaku tak kalah serius. Bocah ini memang pintar, dia bisa memasang wajah seserius ini, dan bisa juga menjadi gadis paling iseng dengan segala bentuk banyolannya."Bagaimana kelanjutan perasaan Mas untuk Safia?"Aku kaget mendapat pertanyaan seperti itu. Bukan urusannya kurasa. Apa dia perlu tahu secara mendetail tentang apa yang kurasa?"Masih sama. Aku mencintainya.""Kapan akan Mas ungkapkan ke dia?""Sesegera mungkin!"Kulihat Aira menarik napas. Wajahnya ditekuk t
(POV RAIHAN)Gawat!Aira sudah meminta naik level. Dia tidak mau disebut sebagai sepupu. Aku harus memutar otak agar bisa menjaga semuanya. Apa aku harus membongkar siapa Aira di depan Safia? Di sisi lain, jika aku menolak permintaan Aira, maka dia akan memilih pergi. Ini yang lebih bahaya. Jika Ibu tahu, aku akan kehilangan cinta dari orang yang sangat berharga dalam hidupku."Mas, jadi aku tidur di kamar Mas, nih?" tanya Aira semringah."I ... iya." Aku menjawab kikuk.Aira pun tampak bersemangat. Dia kembali mengeluarkan semua baju yang telah dimasukkan ke dalam koper."Besok aja itu. Kita makan dulu. Aku lapar," ajakku.Dia pun meletakkan kembali baju-baju tersebut di atas tempat tidur.Kemudian menggandeng tanganku keluar kamar.Aku bagaimana? Ya, pasrah!***"Kamu ngapain?" tanyaku pada Aira. Melihat dia sedang sibuk di atas tempat tidur.Malam hampir larut. Setelah selesai makan malam bersama Aira, aku meminta izin masuk ke ruangan kerja. Pada Aira kusampaikan, jika ada hal yan
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa sebentar lagi bulan suci Ramadhan akan bertamu. Raihan dan Aira melewati hari-hari seperti biasa. Aira dengan segenap jiwa mencurahkan rasa terhadap pernikahannya, sementara Raihan masih saja menikmati segala bentuk kebohongannya terhadap sang istri.Dalam diam, lelaki itu masih saja sering memikirkan Safia. Mengkhayalkan setiap kebersamaannya dengan wanita cantik itu. Padahal belum pernah sekali pun ia mengungkapkan perasaannya pada wanita itu. Safia pun tampaknya sangat senang saat sedang bersama dengan Raihan. Banyak hal yang mereka bicarakan, terkadang Omar sampai terkantuk-kantuk menemani mereka saat bertemu. Ya, Safia tidak pernah mau duduk berdua saja dengan Raihan. Wanita berjilbab itu selalu mengajak orang lain untuk menemani, atau ia meminta Raihan agar membawa serta Omar saat mereka merencakan ingin bertemu di luar kantor.Aira sudah jarang meminta untuk ikut. Gadis itu telah disibukkan dengan pekerjaan barunya. Ia sudah bekerja di seb
Bila tiap prasangka adalah doa, lebih baik berprasangka yang baik saja.***"Aku pulang sendiri aja, Mas.""Kenapa? Kita barengan aja. Ketemu ibu, mak sama abah. Nanti kalau kamu sendiri pasti mereka tanyain aku ke mana.""Ya aku jawab kalau kamu kerja." Aira menjawab sambil menyapu sudut mata. Hidungnya tampak memerah serta wajah yang sembab."Kamu kenapa, sih, Ra. Aku kadang bingung hadapi kamu. Sedikit-sedikit nangis. Kalau ada masalah, ya, dikasih tau. Aku bukan dukun lho yang bisa menebak setiap pikiran kamu." Raihan terlihat kes menghadapi Aira. Gadis itu masih saja terisak sejak tadi. Rambut jatuh berurai menutupi wajahnya.Bukannya menjawab, Aira malah semakin tergugu. Dia merasa selama ini Raihan hanya berpura-pura saja.'Jika memang ia menginginkanku, kenapa hingga detik ini lelaki itu sama sekali belum menyentuhku?' Batin Aira."Besok aku antar. Kita pulang sama-sama," ucap Raihan. Kemudian dia berlalu dari kamar meninggalkan Aira sendirian. Gadis itu masih terisak, sama se