Mata Laila langsung terbuka lebar saat mendengar suara lelaki yang tak asing itu.
"Ha-halo.""Suara kamu serak? Kamu habis menangis?" tanya suara seberang."Tidak, Kak. Ada apa, Kak?""Aku cuma ingin bertanya saja padamu, tempat apa yang penghuninya paling sedikit?"Laila mengerutkan keningnya. Merasa heran pada kelakuan salah satu senior beda fakultas di kampusnya itu."Entahlah, saya tidak tahu.""Hm, tempat yang penghuninya paling sedikit di dunia adalah hatiku. Sebab penghuninya hanya satu, yaitu kamu."Laila tersenyum lebar. Meskipun kakak senior nya itu tidak akan tahu senyumnya, tapi lelucon dari seniornya itu sedikit menghangatkan hatinya walaupun tidak meringankan luka di sekujur tubuhnya."Kamu bisa saja kak Bintang.""Bisa dong. Hehehe. Oh ya, sarapan bareng yuk."Laila kelimpungan. "Hm, sarapan bareng, Kak?""Hm, kok malah nanya balik sih La? Jadi mau nggak? Kalau mau, share lokasi rumah kamu. Biar aku jemput!"Laila berpikir cepat. Dia segera berdiri dan mengaca. Rambut sebahunya acak-acakan, muka dan matanya bengkak karena semalaman menangis.'Astaga. Mukaku benar-benar mengerikan. Tapi aku juga ingin sarapan dengan Kak Bintang,' batin Laila."Halo, La. Bagaimana?""Uhm, boleh Kak. Tapi makan malam saja ya. Semalam aku memang begadang. Sekarang mager banget. Nggak pengen sarapan dulu."Bintang mendes*h. Sebenarnya dia kecewa. Tapi apa boleh buat. Mungkin nanti malam lebih baik, sekaligus malam mingguan.Bintang yang selama ini dikenal sebagai play boy cap kabel merasakan jatuh cinta pada pandangan pertama dan selalu berusaha mendekati Laila. Tapi ternyata Laila selalu menghindari nya dan hal itu justru semakin membuat penasaran."Ya sudah. Kamu istirahat saja. Sampai jumpa nanti malam."***Laila baru saja keluar dari ruang UGD sebuah rumah sakit untuk memeriksakan luka-luka nya, saat seorang laki-laki tampan mendekatinya."Hai, kamu di sini juga?" tanya lelaki itu.Laila mendongak dan menatap lelaki itu dengan rasa takut. Kejadian semalam terbayang lagi di benaknya.Penganiayaan saat berhubungan yang dilakukan pemuda itu pada tubuhnya sebenarnya ingin membuat Laila seketika itu juga menonjok wajahnya.Tapi Laila segera menahan diri. Dia sadar bahwa laki-laki di hadapannya ini adalah kliennya dan dia masih berharap mendapat pundi-pundi rupiah dari klien seloyal pemuda ini."Iya. Bang." Laila tersenyum dengan profesional."Kamu kesini untuk mengobati luka semalam?" tanya Satria dengan senyum menyeringai. Laila mengangguk kaku."Hm, saya kemari juga untuk periksa kesehatan. Karena yah, sekarang kan banyak penyakit karena 'jajan' sembarangan." Satria mengatakan hal itu seraya mengedipkan sebelah matanya. Laila mendelik."Oh ya, mumpung ketemu kamu, saya ingin sekalian memperingatkan kamu, La.""Hah, memperingatkan saya tentang apa?" tanya Laila.Satria mendekatkan mulutnya ke telinga Laila dan berbisik. "Semalam adalah rahasia kita. Jangan coba-coba untuk membocorkan rahasia kita. Apalagi soal gaya semalamku. Apa kamu paham?"Laila memandang mata Satria lekat. Jarak keduanya begitu dekat hingga Laila bisa merasakan hembusan nafas Satria."Aku tahu, Bang. Tenang saja. Saya profesional kok. Tidak akan ada yang tahu soal kita semalam."Satria menarik wajahnya menjauh dari wajah lawan bicaranya."Bagus, Manis. Kamu cerdas sekali. Aku akan segera merindukan jasamu lagi. Ingat itu."Laila terdiam dan bergidik. Masih terasa perih di tubuh nya saat ini dan lelaki yang menyebabkan hal itu padanya dengan entengnya melenggang meninggalkannya menuju ke tempat parkir rumah sakit.***Laila baru saja merebahkan diri di kamar kontrakan nya saat terdengar suara pesan masuk.Ting![Kamu tahu nggak apa bedanya kamu dan mata kuliah farmakologi?]Laila tersenyum membaca pesan w******p dari Bintang.[Enggak tahu. Aku juga enggak pernah dapat mata kuliah itu.][Bedanya adalah mata kuliah farmakologi susah dihafalin, kalau kamu susah dilupain.]Laila tertawa. Hatinya benar-benar hangat setelah mengenal lelaki itu.'Bagaimana reaksi Bintang setelah dia tahu bahwa pekerjaanku seperti ini?' bisik hati Laila.Laila bergegas menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir bayangan ketakutan dari pikiran.'Entahlah. Aku tidak ingin memikirkannya sekarang. Lebih baik aku menyelesaikan urusan yang jelas ada di hadapanku daripada takut akan sesuatu yang belum terjadi. Biarlah yang terjadi nanti, dihadapi nanti juga.'[Oh iya, nanti makan malamnya di kafe dan resto Gardenia jam 7 ya. Aku sudah reservasi tempat.][Oke Kak.][Aku jemput ke rumah kamu ya, La?][Enggak usah Kak. Aku bisa berangkat sendiri.][Kenapa sih? Padahal aku pingin tahu rumah kamu, La.][Enggak apa-apa Kak. Belum saatnya saja.][Memangnya kapan saat yang tepat untuk mengunjungi rumah kamu? Saat aku melamarmu?][Nggak usah nggombal, Kak. Udah ah. Saya mau istirahat dulu. Tadi habis dari rumah sakit, Kak.][Eh, kamu sakit apa, La? Cerita aja sama aku?! Aku calon dokter lho!]Gadis cantik itu hanya tersenyum lalu segera mematikan ponsel dan memejamkan matanya.Suara bel yang berisik di pintu depan rumah kontrakannya membuat Laila membuka mata. Dengan masih setengah mengantuk, Laila mengucek matanya lalu bangkit dari kasur dan membuka pintu."Assalamualaikum, astaga Laila! Kenapa wajah kamu?!" tanya Bintang terkejut melihat pipi Laila yang sedikit memar dan beberapa bilur luka merah di tangan dan lengan gadis itu.Laila pun tercengang melihat kedatangan Bintang di hadapannya.Next?Laila pun tercengang melihat kedatangan Bintang di hadapannya. "Waalaikumsalam. Kak, kok tahu kontrakanku sih?" tanya Laila kaget. Bintang mendekat ke arah gadis itu. "Itu bukan hal yang penting. Ijinkan aku masuk ke rumah mu dulu. Biar aku periksa luka-luka kamu," pinta Bintang lembut. Laila menyingkir dari pintu dan duduk di sofa ruang tamunya. Bintang mengikuti nya dari belakang. "Kenapa dengan wajah kamu, La?" Bintang mengulangi kembali pertanyaan nya.Laila merab* pipinya perlahan. Dia tidak mungkin mengatakan penyebab wajah nya yang lecet ini pada Bintang. Dia tidak mau Bintang ataupun mahasiswa lain mengetahui tentang pekerjaannya. Dia hanya ingin belajar, kerja, dan segera lulus kuliah untuk mendapatkan pekerjaan lebih baik. "Hei, ditanya kok melamun?" tanya Bintang seraya mengibaskan tangannya di hadapan wajah Laila. "Aku terjatuh, Kak," sahut Laila berbohong. Dahi Bintang mengernyit. "Kamu lupa kalau aku ini mahasiswa kedokteran tingkat akhir? Aku bisa membedakan mana
Laila nyaris terlonjak karena kaget mendengar suara ponsel milik Bintang yang mendadak berbunyi nyaring. Lebih kaget lagi saat melihat nama dan foto laki-laki yang tertera di layar ponsel Bintang. Kak Satria is calling ....Laila menelan ludah saat membaca nama itu berulang-ulang hingga seluruh tubuh nya gemetar dan menggigil, melihat foto dan nama Satria membuatnya selalu teringat malam itu. Telepon itu baru saja ma ti, saat Bintang ke luar dari kamar mandi. Laila menatap Bintang, sejenak dia merasa ragu saat akan menanyakan tentang Satria. Tapi karena rasa ingin tahunya lebih besar, Laila pun akhirnya mencari kalimat yang pas untuk memulai pembicaraan nya. "Kak, tadi ada telepon masuk ke hp mu.""Oh ya? Dari siapa? Dari gofo*d bukan?" "Bukan. Nama yang tertulis di layar tadi kak Satria."Bintang tersenyum sambil menatap ke arah ponselnya. "Oh, dia adalah kakak kandungku. Lain kali kalau kak Satria menelepon, kamu yang jawab ya?"Wajah Laila memucat mendengar ucapan Bintang. "Ke-
Flash back on: Laila baru saja makan malam, saat ponselnya berdering. "Ya Mi?" sapa Laila. "La, apa kamu sibuk?""Enggak juga. Baru saja makan malam. Ada apa Mi?" tanya Laila."Ada klien yang hanya ingin kamu dampingi menyanyi di tempat karaoke. Bayarannya lumayan. Kamu mau kan?" tanya Mami. "Boleh juga. Aku kan juga sering main di tempat karaoke, Mi.""Good girl. Kalau begitu, siap-siap sekarang ya di Rose karaoke.""Hah, sekarang Mi?""Iya. Kenapa? Ada masalah?""Hm, kok mendadak ya Mi? Tapi nggak apa-apa deh. Laila siap-siap dulu.""Nah, gitu dong. Habis ini langsung Mami transfer duit ke kamu.""Oke Mi."Laila tersenyum puas melihat nominal yang tertera di saldo mbanking nya sekarang. Dia lalu segera bersiap untuk tugas selanjutnya.Perlahan Laila menatap wajah nya yang masih terasa sakit. Dia belum bilang pada mami Rosa tentang perbuatan Satria. Satria sudah mengancamnya sampai begitu rupa. Dan sekarang, satu kenyataan pahit seolah menampar nya dengan telak. Satria adalah kak
Laila menelan ludah. Lalu menatap Bintang dengan takut-takut. "Kak, berhenti! Aku mau pulang saja. Aku bisa mengembalikan uang yang telah dibayar oleh mereka yang menyewaku menemani karaokean malam ini," ujar Laila lirih. Bintang menatap nya dengan tajam. "Kenapa mau pulang? Apa kamu keberatan menemaniku tidur? Jangan khawatir aku akan membayarmu dengan mahal. Berapa hargamu permalam? Sepuluh juta? Dua puluh juta?""Kak, hentikan!" pekik Laila. Dia merasa terhina karena ditawar oleh lelaki yang dicintainya.Bintang yang sedang marah terdiam. Dadanya tampak naik turun, berusaha mengendalikan emosi. "Sejak kapan kamu menjadi pemandu karaoke? Apa kamu juga melayani tamu di hotel? Jangan-jangan kamu bahkan pernah tidur dengan kakakku?!"Laila terdiam dan hanya menangis. "JAWAB, LAILA!" Bintang memukul setir dengan frustasi. "Aku mulai bekerja dengan mami Rosa sudah hampir setahun. Dan seperti yang kamu tahu, baru tiga bulan ini aku menjadi mahasiswa baru di kampus yang sama dengan
"Hai Laila, apa saya boleh masuk?" tanya Satria sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Bo-boleh."Laila mempersilakan Satria masuk ke dalam ruang tamu. "Duduk Pak. Mau minum apa?"Satria tersenyum dan duduk di sofa. "Terserah kamu, mau memberikan aku minuman apa saja.""Baiklah Pak. Tunggu sebentar di sini." Laila lalu pamit dan pergi ke dapur untuk menyeduh kopi sachet. Sambil menunggu air di teko panas, Laila berlari ke kamarnya untuk mengambil ponsel dan kembali ke dapur seraya berusaha menghubungi Bintang.Satria menunggu beberapa saat di ruang tamu sambil memainkan ponselnya. "Ck, lama amat!" keluh Satria tak sabar seraya menatap ke arah arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Lelaki itu lalu melangkah dengan cepat tanpa suara dari ruang tamu mencari Laila di dapur. "Sayang," bisik Satria lirih di telinga Laila. Laila terkejut dan membalikan badan. Tubuh Satria sangat dekat padanya. Rupanya Satria menyusulnya ke dapur.Laila hendak mundur tapi ada
Laila dikejutkan oleh suara ponselnya yang berdering saat dia sedang memasak ayam goreng untuk makan malam."Halo.""Halo, La. Kamu bisa ke rumah sakit nggak? Mami kecelakaan. Parah banget. Butuh banyak darah. Stok darah di PMI kosong, sementara darah kami nggak ada yang cocok untuk mami. Ada yang cocok dua, tapi semua mengalami anemia. Seingat ku golongan darah kamu B kan? Coba ke rumah sakit Mitra Sehat sekarang. Siapa tahu darah kamu bisa menyelamatkan mami. Karena mami akan dioperasi sekarang!"Laila terkesiap mendengar penuturan salah satu rekan seprofesi nya itu. Walaupun dia merasa marah karena mami mempersulit syarat untuk Laila keluar dari pekerjaan nya, tapi dia tidak bisa menampik fakta bahwa melalui perantara mami Wati lah dia bisa mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup ibu dan kedua adiknya. "Baiklah. Aku ke rumah sakit sekarang!"**Golongan darah Laila dinyatakan cocok dari segala aspek untuk menjadi pendonor darah bagi mami Rosa. Gadis itu terpekur di depan
Laila terdiam. Dia terlalu terkejut dengan berita yang memukul nya ini. Tangan dan tubuhnya gemetar, keringat dingin membasahi tengkuknya, jantungnya berdebar lebih kencang. "Nak, kok pertanyaan dari ibu tidak dijawab? Apa semua itu benar? Jawab, Nduk?"Laila tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Dia menjatuhkan diri di lantai dan menangis tersedu-sedu. "Maaf, Bu. Maaf." Hanya itu kata yang bisa diucapkan oleh Laila. Terdengar helaan nafas berat dari keduanya. "Jadi selama ini yang uang yang kamu kirimkan pada kami hasil dari ..," ucapan dari ibu Laila terputus dan terdengar isak tangis dari kedua anak beranak itu. Sementara itu di luar rumah, Bintang masih tetap menggedor-gedor pintu. "Sayang, buka pintunya! Kalau kamu tidak mau membuka pintu, aku akan mendobrak nya!"Sepi tidak ada jawaban. Bintang mulai kehilangan kesabaran. "Kalau begitu aku akan mendobrak pintu ini dalam hitungan ketiga. Satu, dua, ..,"Sebelum hitungan ketiga, pintu rumah Laila terbuka dari dalam. Waja
Beberapa saat sebelumnya,"Kamu kenapa manyun gitu, Lan?" tanya Aris, sodara sepupu Wulan. Mereka sedang berada di halaman tengah rumah Wulan yang luas dan duduk di gazebo menatap ke arah kolam renang.Wulan mendengus kesal. "Gebetan aku punya pacar, Kak.""Hahaha! Kamu kok cemen sih. Gebetan punya pacar kok manyun, nanges?! Bukan Wulan yang kukenal ah! Kalau gebetan punya pacar, kamu cari gebetan lain dong! Jangan mau kalah!"Wulan mendelik mendengar kata-kata sepupunya. "Ish, kak Aris ini! Ini beda dengan pacar-pacar aku yang lainnya! Ini benar-benar varietas unggul," ujar Wulan dengan menyedekapkan kedua tangan nya di depan dada. Aris tertawa terbahak-bahak. "Aish, sejak kapan kamu menjadi melo seperti ini? Sudah lah, laki-laki di dunia ini banyak! Bukan cuma gebetan kamu saja!Kayak aku dong, walaupun jomblo, tapi sudah banyak cewek yang menemaniku tidur. Hm, bukannya bermaksud sombong sih. Aku memang Arjuna!" seru Aris bangga sambil menegakkan kerah bajunya.Wulan mencebik. "Syo