Seminggu kemudian,"Besok lusa bapak diundang dalam acara manten," ucap pak Jaka saat dia sedang makan bersama dengan keluarga nya di ruang makan. "Oh ya? Siapa yang mengundang bapak?" tanya Laila seraya menyuapkan sayur pokcoy ke mulutnya. "Keluarga nya pak Harun dan Pak Jamal. Mereka akan menikahkan anak mereka bersamaan."Laila terhenyak mendengar perkataan pak Jaka. "Berarti Ayu dan Juleha akan menikah lusa?" tanya Laila kaget. "Iya. Setelah akad langsung resepsi. Apa kamu mau ikut?""Hm, jam berapa acaranya? Seperti nya Laila tidak mendapat undangan dari mereka. Padahal mereka kan teman Laila," sahut Laila dengan lesu. "Teman-teman mbak pasti malu deh. Kan mereka ..," timpal Rama seraya mengarahkan tangannya ke perut nya seperti membuat bulatan besar khayalan di perut. "Hush, kamu itu biasanya nggosip saja, Ram! Nggak usah kepo dengan urusan orang, Dek. Kamu fokus saja daftar di SMA," tukas Laila. "Masih lama, Mbak. Kan masih dua Minggu lagi. Lah mbak sendiri apa sudah men
Tatapan mata Dokter Marzuki terus mengarah pada Laila membuat gadis itu tersipu. "Ehem! Ehem!"Terdengar suara deheman dari pak Jaka yang membuat dokter Marzuki dan Laila langsung melepaskan pegangan tangan mereka. "Wah, dokter Marzuki juga datang kemari?" sapa Pak Jaka."Iya Pak. Oh ya, mbak Laila nggak apa-apa kan? Lain kali hati-hati kalau berjalan ya, Mbak?"Laila mengangguk dan tersipu sekali lagi. "Mbak La!" Mendadak terdengar sapaan dari samping dokter Marzuki membuat Laila dan orang tuanya menoleh. "Wah, Yasmin! Kamu cantik sekali!" seru Laila tulus."Terima kasih mbak La! Mbak La juga cantik sekali!" balas Yasmin yang masih menggandeng tangan dokter Marzuki. "Dokter baru saja datang?"Dokter Marzuki mengangguk. "Baiklah. Kalau begitu lebih baik kita bersalaman dengan mantennya bersama," ajak pak Jaka. "Wah, mari pak. Silakan jalan dulu."Pak Jaka tersenyum lalu mendahului langkah dokter Marzuki berjalan menuju ke pelaminan. Ayu dan Juleha juga tampak sangat cantik da
"Semoga mbak La bisa menjadi mamaku!"Pipi Laila memerah mendengar ucapan Yasmin. Beberapa anak-anak yang menjadi tamu undangan Yasmin juga berbisik-bisik. Pandangan orang tua yang sedang mengantarkan anak mereka seketika mengarah pada Laila. Membuat gadis itu salah tingkah. Perlahan Laila melirik ke arah kue tart di hadapannya. 'Duh, andai saja aku bisa tuker tempat jadi kue tart, aku nggak akan semalu ini,' batin Laila menghela nafas. "Hm, Yasmin. Sekarang kamu lebih baik segera tiup lilinnya lalu potong kue nya ya, Nak," ucap dokter Marzuki berusaha mengalihkan perhatian Yasmin dan para tamu undangan. "Oh, iya Pa."Yasmin meniup lilin di kue ulang tahun nya perlahan lalu menoleh ke arah papanya. "Pa, aku nggak bisa memotong kue ini," ujar Yasmin. "Ayo, papa bantu."Dokter Marzuki pun mengambil tangan mungil Yasmin yang sedang menggenggam pisau dan memotong kue ulang tahun nya perlahan. Lalu meletakkan potongan kue ke piring bulat berwarna keemasan dari kertas. "Nah, potongan
"Dokter Marzuki itu anak angkatnya, Bu Ambar."Laila menatap ke arah bapaknya dengan bingung. "Pak, Laila tidak tahu apa maksud nya bapak mengatakan hal itu pada Laila. Tapi hal itu tidak ada hubungan nya dengan Laila," sahut Laila dengan sungguh-sungguh. Dan hal itu memang benar. Siapapun orang tua kandung dokter Marzuki, Laila tidak peduli. Laila tetap mencintai dokter Marzuki sama seperti saat mereka bertemu pertama kali dulu.Laila lalu berdiri dan hendak beranjak dari kursi sofa ruang tamu rumahnya. "Tunggu, La. Bapak belum selesai bicara," ucap pak Jaka, membuat Laila pun duduk kembali. "Ada apa lagi, Pak?""Dokter Marzuki itu anak bawaan dari pak Iwan sebelum dia menikah dengan Bu Ambar. Dan Fatih merupakan anak satu-satunya Bu Ambar dengan Pak Iwan."Laila menghela nafas panjang. Bingung juga dengan apa yang akan diucapkan nya karena Laila benar-benar tidak mempermasalahkan asal usul dokter Marzuki. "Pak, mau dokter Marzuki anak siapa pun, Laila tidak peduli. Laila tetap m
Lelaki itu mengucapkan salam dengan hormat dan seketika semua orang yang hadir di rumah Anisa terdiam dan menatapnya keheranan. Pak Jaka segera berdiri dan menuju ke arah pintu depan seraya memandang pemuda tegap itu dengan serius. "Siapa nama Mas? Kenapa mencari anak saya?""Saya ...""Bang, tunggu, Bang!" Amelia tampak berlari dari mobil menyusul lelaki dan menyapa pak Jaka. "Om, assalamualaikum. Lailanya ada?" Pak Jaka mengerutkan dahi nya. "Oh, kamu kan Amelia. Duduk dulu, Om panggil kan Laila dulu ya."Pak Jaka lalu kembali ke dalam rumahnya meninggal Amelia dan lelaki berpenampilan parlente itu di ruang tamu bersama keluarga dokter Marzuki dan tamu lain. "Ya Om, terimakasih."Amelia lalu masuk ke dalam rumah Laila dan ikut duduk di hadapan Anisa dan Fatih. Mereka bersalaman sekilas. Anisa memperhatikan Amelia dengan seksama. "Apa kamu temannya Laila?""Ya mbak. Saya teman sebangku nya Laila. Nama saya Amelia. Nama mbak, Anisa kan?" tanya Amelia tersenyum. "Lho, kamu kok t
'Duh, meskipun aku sungkan dan malu pada Amelia dan kakaknya, tapi aku tetap harus duduk di kursi depan, namanya juga numpang, aku harus menurut pada yang punya mobil kan?' batin Laila. "Hm, baiklah. Aku duduk di depan ya."Laila pun duduk dengan tenang dan mobil pun melaju membelah jalan raya. Laila berusaha untuk tetap fokus menatap ke arah jalan raya. Berbeda dengan Amelia yang langsung merebahkan diri dan meluruskan kaki di jok tengah. Amelia pun menggunakan bantal yang dibawa nya dan dengan mudah nya tertidur lelap. Laila hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya saat melihat Amelia yang sudah tertidur lelap. Sedangkan lelaki di samping nya, tampak fokus mengemudi. Suasana hening sejenak. Laila dan Azzam sibuk dengan pikiran masing-masing. "Apa kamu mau mendengarkan musik?" tanya Azzam melirik dengan santai ke arah Laila. "Boleh, kak. Agar tidak sepi.""Kamu mau lagu yang mana?" tanya Azzam. Tangan nya mulai mera ba dashboard mobil nya. "Hm, yang penting yang bagus dan penu
"Bu, Laila dan Amelia lolos seleksi ujian mata pelajaran!" seru Laila dengan riang saat dia menelepon ibunya. "Oh, ya benarkah? Wah, Alhamdulillah!""Iya bu! Laila bisa kuliah di sini. Sekarang Laila akan berangkat ke kampus karena ada psikotes dan tes kesehatan. Jadi nanti setelah psikotes dan tes kesehatan lulus, besok bisa daftar ulang."Laila menjeda kalimatnya, tidak enak untuk mengatakan pada sang ibu kalimat selanjutnya. "Bu, tentang daftar ulang, apa boleh Laila pakai dari uang yang ada di ATM yang Laila pegang?" tanya Laila dengan nada lirih. "Tentu saja. Kamu bisa pakai uang yang ada di ATM kamu untuk semua kebutuhan kamu. Kalau pengen jajan atau beli baju, kamu juga bisa pakai ATM dari ibu. Kalau habis, kamu bilang saja. Nanti bapak kamu yang akan mengirim uangnya.""Huhuhu, terima kasih, Bu. Maaf karena telah merepotkan bapak dan ibu," ucap Laila dengan mata berkaca-kaca. "Hei, kamu ini kenapa sih, La? Membiayai anak kan sudah kewajiban orang tua. Kamu tidak usah sungk
Wajah Laila memucat melihat nama dokter Marzuki muncul di layar ponselnya. Dicubitnya lengan dan pipinya untuk memastikan bahwa yang dia bukan sedang bermimpi atau berhalusinasi. "Aaawww!"Laila mengaduh saat merasa cubitannya sakit. Amelia mendelik melihat nya. "Ada apa sih? Kamu kenapa?"Laila dengan tangan gemetar dan jantung berdebar lebih kencang mengulurkan ponselnya ke arah Amelia. Dan Amelia pun mendelik. "Hah? Kamu dapat jackpot! Angkat teleponnya, La! Buruan angkat! Kesempatan emas ini! Jangan lupa nyalakan loud speaker!" seru Amelia tak kalah bersemangat. Laila memang tidak pernah meminta nomor telepon dokter Marzuki pada sang pemilik atau pun pada bapaknya. Gadis itu tentu saja langsung mengirimkan nomor ponsel dokter Marzuki dari ponsel bapak nya ke ponsel nya tanpa ijin. Karena kalau meminta ijin terlebih dahulu, pasti bapak nya akan menolaknya. Laila segera menekan layar hijau lalu mengaktifkan pengeras suara. "Ha-halo, assalamualaikum," sapa Laila dengan suara se