Share

Bertemu Lagi

“Astaga. Apa-apa ini?.” Aya terbangun dengan nafas ngos-ngosan. Keringat terlihat mengalir membasahi tubuhnya, padahal pendingin ruangan di kamarnya berada dalam suhu sejuk. Tangannya meraih ikat rambut yang ada di atas meja, lantas ia beranjak dari atas kasur dan berjalan keluar kamar. Terdengar suara-suara dari arah dapur.

"Tumben kamu cepet bangun, Ay?" Mama yang sedang menyiapkan masakan di dapur heran melihat anak perempuannya sudah bangun di jam lima pagi ini. Biasanya Aya akan bangun kalau sudah mepet-meper waktu.

"Mimpi buruk," lirih Aya menopang dagunya.

Mendengar ucapan Aya, Mama menghentikan aktivitasnya kemudian mendekat. Ia jadi penasaran ingin tahu seburuk apa mimpi yang anaknya alami.

"Jangan diam aja dong, Ay. Mama juga mau dengar cerita mimpi buruk kamu itu," ucap Mama memaksa Aya yang dari tadi diam saja saat Mama bertanya.

"Ya mimpi buruk, Ma. Tempatnya gelap gitu, gak jelas," ucap Aya asal. Ia tidak mungkin menceritakan mimpinya secara gamblang pada Mama.

Mimpi yang sepertinya nyata. Mimpi yang sepertinya pernah ia alami sendiri. Tanpa diminta, mimpi yang baru saja Aya alami kembali terulang dalam benaknya. Ia seperti tengah menonton pertunjukan yang setiap adegannya diperankan oleh dirinya sendiri. Begitu jelas dalam benaknya apa ia lakukan dengan pria yang wajahnya tidak nampak sama sekali. Bagaimana ia memberontak dari kungkungan pria itu tapi semuanya sia-sia.

“Kenapa kejadian itu sepertinya pernah terjadi, ya?” Aya bertanya-tanya dalam hati. Ingatan kemudian melayang saat ia menginap di hotel waktu itu. Ia berusaha keras mengingat setiap detik kejadian itu.

“Apa aku memang benar sudah tidur dengan seorang pria? Tapi pakaian aku gak ada yang berubah,” batin Aya benar-benar bingung.

Suara panggil Mama membuatnya tersentak. Bergegas ia menuju kamarnya dan bersiap-siap untuk pergi bekerja.

***

Hari ini agenda kerja Aya gak banyak. Ia mendapat tugas untuk tinggal di kantor dan menyelesaikan berkas pengajuan hadiah beberapa nasabah. Sesekali Aya juga melayani nasabah yang datang berkunjung ke kantornya.

“Akhirnya selesai juga,” ucap Aya memasukkan kertas hasil cetakan ke dalam map.

Siang ini Aya sudah janjian dengan salah satu teman kuliahnya untuk makan siang di luar. Tepat pukul dua belas kurang sepuluh, jemputannya sudah datang dan menunggu di parkiran depan kantor. Sekalian turun, ia membawa berkas itu untuk dimintakan tanda tangan Eric.

“Permisi, Pak,” ucap Aya mengetuk pintu lalu melangkah masuk.

Tak ada sahutan dari Eric. Pria itu mengalihkan pandangannya dari komputer dan menatap Aya.

“Ini saya mau minta tanda tangan, Pak Eric.” Aya takut-takut meletakkannya map yang ia bawa.

“Apa ini?” tanya Eric singkat.

Aya lalu menjelaskan isi dari berkas itu. Meski sudah Aya jelaskan secara detail, Eric tetap saja lama membaca berkas yang hanya satu lembar itu. Ponsel yang ia pegang sudah bergetar dari tadi.

“Makasih, Pak.” Aya cepat menerima berkas itu dan memberikannya pada sekretaris untuk dikirim ke kantor pusat.

Tak membuang waktu, Aya segera menemui temannya dan pergi ke salah satu tempat makan.

Saat mereka tiba di tempat itu, suasananya masih cukup ramai. Tapi mereka tetap bisa untuk makan siang di sana sambil bercerita. Tak jauh dari seputar cerita zaman mereka kuliah dulu. Setelah hampir tiga puluh menit mereka berada di sana, mereka memutuskan untuk pulang. Namun betapa terkejutnya Aya saat hendak masuk mobil, seorang anak kecil memanggil dengan sangat kencang.

“Farah,” ucap Aya tak bisa berkutik saat anak kecil itu langsung memeluknya.

“Ayo,” ajak Farah menarik tangan dan menunjuk ke arah tempat makan itu. Sudah pasti anak kecil ini ingin ditemani makan siang.

Aya sampai meminta teman kuliahnya tadi untuk pulang lebih dulu, karena ia tak tega meninggalkan dan menolak ajakan Farah. Masih berasa dalam mobil, Ajeng dan Eric memang sengaja tidak langsung turun. Ajeng meminta Eric untuk memperhatikan bagaimana sikap Farah terhadap Aya.

“Lihat, Farah. Dia begitu bahagia saat bertemu lagi dengan orang yang mirip dengan mendiang ibunya.”

“Dia juga nanti bakal lupa kalau sudah gak ketemu lagi, Ma. Kita susulin Farah,” ucap Eric sembari mematikan mesin mobilnya.

Sementara itu Aya baru sadar kalau Farah sedari tadi sendirian.

“Farah sama siapa?” tanya Aya menghentikan langkahnya sebelum masuk ke dalam tempat makan itu.

Reflek Aya menoleh saat terdengar ucapan salam dari arah belakang.

“Oh iya. Farah ini kan anaknya Pak Eric,” gumam Aya dalam hati. Lantas ia memasang senyum saat Ajeng dan Eric mendekat.

“Maaf, Bu. Saya main gandeng Farah aja,” ucap Aya tak enak. Bagaimanapun ia adalah orang asing yang baru dikenal oleh Farah.

“Gak apa-apa, Mbak Aya. Farah juga main ajak saja,” sahut Ajeng tersenyum. Berbeda dengan Eric yang tidak mengeluarkan sepatah katapun.

“Maaf kalau keberadaan saya mengganggu makan siang Farah sekeluarga. Setelah mengantarkan Farah masuk saya akan pamit,” ucap Aya pada Ajeng tak enak. Semua itu ditambah sikap Eric yang seolah tidak mengenal padahal mereka adalah atasan dan bawahan. Aya menyimpulkan kalau Eric tidak suka dengan keberadaannya.

“Gak apa-apa. Ikut aja,” kata Ajeng sembari melihat ke arah Eric.

Eric merespon dengan anggukan kepala kemudian masuk lebih dulu mencari meja yang kosong.

“Kenapa Pak Eric kayak gak kenal sama aku ya? Kemarin sikapnya juga kayak gini,” batin Aya heran melihat sikap bosnya itu. Meski begitu, lagi-lagi Aya tidak mengambil pusing hal ini.

Begitu lahap Farah makan dengan cara disuapin oleh Aya. Yang selama ini Farah makannya selalu dalam porsi sedikit, kali ini ia habis dengan porsi orang dewasa.

“Minum dulu, Farah. Kalau sudah kenyang jangan dipaksain,” sergah Ajeng saat melihat Farah membuk mulut bersiap menerima suapan.

“Iya, Oma. Ini sudah habis juga,” sahut Farah sambil mengunyah makanannya.

Ajeng dan Aya menggelengkan kepala sembari tersenyum melihat tingkah Farah. Wajar Farah bersikap seperti. Ia pasti membayangkan ini seperti sedang makan dengan disuapi oleh ibunya sendiri.

Dari tempatnya duduk, Eric menikmati makan siangnya sambil mengawasi Aya dan juga Farah.

“Mbak Aya gak apa-apa, jam istirahatnya sudah lewat? Gak masalah terlambat kembali ke tempat kerja? tanya Ajeng setelah melihat jam yang telah menunjukkan pukul setengah dua siang.

“Gak apa-apa, Bu.” Aya mencuri pandang ke arah Eric yang ternyata sedang menatapnya.

“Aku bayar dulu, Ma.” Eric beranjak dari kursi dan berjalan menuju kasir.

“Panggilnya Tante Aya, Sayang,” ucap Ajeng merapat ucapan Farah kala cucunya itu mengajak mereka untuk menunggu diluar.

Seketika Farah memanyukan bibirnya. Marah karena tidak diperbolehkan memanggil Aya dengan sebutan mama. Aya sendiri jadi bingung harus bersikap seperti apa. Ia juga tak ingin dikira yang macam-macam oleh Eric.

“Saya bisa pulang sendiri, Bu.” Aya menolak harus kala Ajeng berniat untuk mengajaknya ikut dengan mobil mereka.

Sebelum pulang, Farah mendekat dan pamit dengan Aya.

“Dadah, Tante,” ucap Farah kemudian berbisik, “dadah Tante Mama Aya,” lanjut gadis kecil membuat Aya tersenyum simpul.

Cepat Eric menggendong Farah masuk ke dalam mobil sebelum anaknya membuat tingkah lain.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status