Setelah meninggalkan kantor, Sakha tidak langsung pulang ke rumah. Tiba-tiba saja ia ingin jalan-jalan sebentar. Meski Sakha meninggalkan Jakarta tidak terlalu lama, ternyata ia rindu juga bagaimana kebisingan kota yang biasanya membuat Sakha kesal. Menyusuri trotoar seorang diri, Sakha tidak bisa untuk tidak mengingat Tabitha, yang lagi-lagi gagal ia singkirkan dari kepala meski sudah ribuan kilometer jauhnya ia pergi selama berbulan-bulan kemarin. Parahnya lagi, jarak yang membentang itu malah semakin membuat Sakha terus-menerus memikirkan Tabitha dan kenangan yang mereka punya dulu saat masih menikah. Ah, postcard yang Sakha kirimkan itu pasti sudah diterima Tabitha. Sakha memang sempat merutuki kebodohannya yang dengan impulsif mengirimkan postcard dari beberapa negara yang Sakha kunjungi saat bekerja. Dulu, Sakha memang senang mengirimkan postcard setiap kali harus meninggalkan Tabitha sendirian di rumah.Itu sudah menjadi kebiasaan. Dan rupanya kebiasaan itu tidak lantas terlup
Seperti dejavu, Sakha ingat saat pertama kalinya ia berada dalam kondisi bingung dan kalang kabut saat Tabitha sakit. Sakha lupa tepatnya kapan, tetapi saat itu tengah malam ketika Tabitha merintih kesakitan dalam tidurnya, badannya panas dan berkeringat dingin. Dengan panik Sakha memeluk istrinya, lalu menggendongnya ke mobil dan membawanya ke rumah sakit. Setelah mendapat penanganan di IGD, rupanya Tabitha terkena usus buntu dan harus segera dioperasi. Tidak bisa dibayangkan bagaimana takutnya Sakha saat itu. Sakha sudah hampir menangis saat harus menghubungi Ibu dan juga mama mertuanya untuk mengabarkan keadaan Tabitha. Bahkan saat Tabitha sudah pulih dari operasi, Sakha masih tidak tenang. Banyak ketakutan yang mendera hingga laki-laki itu sendiri nyaris tumbang karena saking lelahnya dan terlalu banyak pikiran. "Hubungan Bapak dengan pasien?" tanya dokter pria yang baru saja mengecek kondisi Tabitha dan mengobati luka-luka yang tampak di mata. Pertanyaan itu membuat Sakha bung
Selama Sakha mengobrol di telepon tadi, Tabitha tidak bisa untuk pura-pura tidak mendengar bagaimana luwesnya laki-laki itu menyebut "Mama" seperti ia dan Sakha tidak pernah berpisah saja. Sama seperti Tabitha yang tidak bisa menanggalkan panggilan "Ibu" kepada mantan ibu mertuanya.Jika dipikir-pikir lagi, bukannya Tabitha tak bisa mengubah panggilan kembali menjadi "Tante" kepada mantan ibu mertuanya seperti sebelum ia menikah dengan Sakha, pasti Sakha pun juga demikian, hanya saja Tabitha tidak mencoba untuk mengubahnya. Sebab, meski hubungannya dengan Sakha sudah kandas, meski hubungan Tabitha dengan mantan ibu mertuanya sudah tak sama lagi, Tabitha masih ingin mempertahankan setidaknya satu hal baik yang pernah ia miliki dulu. Ya, menjadi menantu Ibu adalah hal baik yang seolah tidak ingin Tabitha tinggalkan.Tabitha mengernyitkan dahi saat merasakan sedikit pusing menyerang kepala. Efek dari jatuh tadi, juga karena keberadaan Sakha di dekatnya membuat kepala Tabitha berdenyut-de
Haloooo~~~ maaf aku baru update lagi :') Semoga masih ada yang nungguin yaaa hihihi Selamat membaca^^ . . *** . . Sejak dulu Tabitha membenci bau rumah sakit. Ketika ia sedang sakit, bila belum benar-benar suda gawat, untuk minum obat saja seringkali Tabitha melewatkannya dan membiarkan sakit di tubuhnya hilang sendiri meski butuh waktu yang lebih lama. Namun, itu sekarang tidak sebanding dengan keberadaan Sakha yang masih tetap tinggal meski Mama sudah datang sejak satu jam yang lalu. Andai saja bisa memilih, Tabitha akan memilih untuk menetap di rumah sakit saja ketimbang harus berada di satu ruangan yang ada Sakha di dalamnya, bahkan hanya untuk beberapa jam ke depan. Bukan. Bukan berarti Tabitha membenci Sakha sedalam itu. Tentu saja tidak. Tak ada alasan untuk betul-beful membenci lelaki yang dulu sangat Tabitha cintai itu. Tabitha hanya tidak menyukai keadaan yang memaksanya harus ada di dekat Sakha, di saat fisiknya yang sedang tidak baik-baik saja bisa dengan mudah m
Terbangun setelah entah berapa jam tertidur, badan Tabitha rasanya sakit semua. Bukan Mama yang pertama Tabitha lihat saat sudah berhasil menyesuaikan pandangannya dengan cahaya yang masuk ke mata, tetapi punggung seorang laki-laki yang sedang menempelkan ponsel di telinga. Tabitha butuh waktu beberapa detik untuk tahu siapa sosok itu. Sakha. Ternyata, lagi-lagi laki-laki itu mengingkari ucapannya sendiri. “Saya lagi ada urusan keluarga yang penting., Bos. Saya ke kantor besok atau lusa, atau kapan-kapan lagi kalau urusan saya sudah beres,” kata Sakha dengan nada agak kesal. Tabitha nyaris mendengus. Urusan keluarga katanya? Bukankah Sakha sudah berjanji akan segera enyah dari hadapan Tabitha begitu wanita itu selesai dioperasi? Tetapi kenapa Sakha masih ada di sini dan malah membuat alasan tak masuk akal begitu saat bicara dengan bosnya? Atau sesungguhnya ada acara keluarga lain yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Tabitha? Sakha mendesah dan berkata lagi, “Ada kelu
Seperti yang sudah Tabitha duga, Sakha terus membuat bermacam-macam alasan untuk menggantikan Mama menemani Tabitha di rumah sakit hingga wanita itu dipulangkan. Tabitha tak punya argumen kuat yang bisa membuat Mama berpihak padanya. Dua hari yang lalu saat Sakha sedang pulang ke rumah, Tabitha berdebat dengan Mama soal keberadaan Sakha yang sangat mengganggunya. Tabitha ingin Sakha pergi, tetapi Mama malah senang-senang saja bertemu Sakha setiap hari. Sakha dan Mama seolah kembali pada masa-masa di mana Sakha masih menjadi menantu kesayangan Mama. “Sakha itu lebih telaten mengurus kamu daripada Mama. Mama ngomel sampai capek buat mendisiplinkan kamu waktu sakit aja kamu tetap nggak mau mendengarkan Mama. Tapi kalau ada Sakha kamu lebih nurut. Mama jadi nggak capek. Mama nggak perlu meninggalkan Papa di rumah cuma sama perawat untuk jaga kamu di rumah sakit. Lihat sekarang, kamu juga jadi lebih cepat pulih, kan?” omel Mama saat itu. “Iya, aku cepat pulih, tapi sekarang sakitnya pin
Tabitha dan Jona sudah selesai makan dan mereka sedang bergosip tentang bos di kantor yang saat Sakha kembali ke kamar Tabitha. “Lama banget, Kha. Emang antre banyak di administrasi?” Jona mewakili Tabitha bertanya. Sakha memang pergi cukup lama sampai Tabitha mengira Sakha tidak akan kembali lagi karena lelah berdebat dengan dirinya tadi. “Nggak kok. Tadi gue ada urusan lain.” Sakha mendekat sembari memfokuskan tatapan pada Tabitha. “Bee, aku abis ngobrol lagi sama Mama tadi.” “Masih soal di mana aku harus tinggal selama aku belum senormal biasanya?” Tabitha membalas dengan agak nyinyir. “Jadi, kamu punya tiga pilihan. Dan kamu harus pilih salah satu, nggak boleh cari opsi lain. Harus di antara tiga itu. Ngerti?” Tabitha benar-benar geram karena Sakha tampak sangat bossy. “Aku udah nahan diri dari empat hari terakhir ini ya, Kha. Tapi makin didiamkan kenapa kamu makin nggak tahu diri, sih?” “Ini buat kebaikan kamu, Bee.” “Kamu nggak ada hak buat ngatur-ngatur aku! Kamu siapa,
“Di mana kamar kamu?” tanya Sakha seraya menurunkan barang-barang milik Tabitha dari bagasi mobilnya.“Udah, taruh situ aja,” Tabitha menghentikan Sakha saat laki-laki itu sudah akan berjalan masuk melewati gerbang kosnya.Sakha mengernyit bingung dan Tabitha menambahkan, “Nanti aku minta satpam aja buat bantu bawa barang aja.”Sontak saja Sakha memberikan tatapan aneh kepada Tabitha. “Kenapa harus minta tolong satpam? Kan udah ada aku, Bee. Sekalian aja lah.”“Cuma keluarga yang boleh masuk ke dalam, Sakha. Kamu kan bukan….”Jelas sekali Sakha sakit hati karena ucapan Tabitha, tetapi laki-laki itu tidak membalas apa-apa. Membuat Tabitha merasa bersalah seketika. Sungguh, maksud Tabitha bukan untuk menyakiti Sakha. Tabitha hanya refleks mengucapkannya karena mengingat aturan yang dibuat ibu kos untuk tidak membawa laki-laki, kecuali keluarga, masuk sampai ke dalam kamar.Sebenarnya, aturan itu tak terlalu berguna. Mungkin hanya satu dua orang saja yang mematuhi aturan yang hanya teruc