Lavendra sudah muak menahan dirinya dan menjaga harga dirinya. Ia merasa sudah sakit hati setelah dipermainkan sepersekian lamanya oleh Daza. Pria ini tidak akan berubah sama sekali. Dia hanya akan memakai topeng lainnya untuk mendapatkan apa yang dia mau.Tangan Lavendra sudah gemetar dari tadi, dia merasa tidak mampu menahan emosinya lagi. Berhadapan langsung dengan Daza membuatnya merasa takut dan juga jatuh. Ia kehilangan harga dirinya sendiri.“Tidak! Aku tidak merencanakan apa pun!” Daza mencoba membela dirinya sendiri.“Haha, omong kosong! Bahkan aku melihat dengan mata dan kepalaku sendiri bagaimana dirimu! Haha,” tawa Lavendra terdengar menyakitkan.Air matanya mulai menetes membasahi pipinya. Ia merasa benar-benar muak sekali. Ia ingin sekali berteriak untuk membuat hatinya sendiri merasa lega. Namun ia segera menahan mengingat bahwa ia bukan lah orang bodoh yang bisa menangis seenaknya saja.Daza terbelalak melihatnya menangis. Air hujan yang menutupi tangisannya ternyata t
Ibu tampak diam sejenak. Seolah sudah mengetahui jawaban dan perkara yang tengah Lavendra rasakan. Lavendra merasa sedkit ragu sambil menelan ludahnya. ia benar-benar seperti akan mendapatkan jawaban yang memang seharusnya ia dapatkan, namun tidak mau ia dengarkan.Sayup-sayup tatapan ibunya menunjukkan bahwa sebenarnya ada yang coba disembunyikan, namun tidak bisa sama sekali. Lavendra menyiapkan hatinya untuk mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh ibunya tersebut.Ibu duduk di sebelahnya. Tangannya memegang tangan Lavendra sambil mengusap punggung tangannya. “Ibu…, awalnya tak setuju saat ayah mengatakan kamu akan dilamar oleh anak temannya,” ujarnya.Lavendra tidak kaget. Ia tahu perkara hal tersebut karena orang tuanya untuk pertama kalinya ribut di depan mata Lavendra dengan terang-terangan. Mereka yang biasanya ribut hanya akan saling mendiamkan, waktu itu memilih mengeluarkan suara.“Meski ibu tahu teman ayahmu adalah orang baik, tetapi tidak mungkin sifat itu akan dibawa ju
Daza adalah orang pertama yang mendekat ke arah ayah mertuanya dengan wajah yang penuh dengan rasa kaget yang dia sendiri tidak bisa bendung sama sekali. Daza benar-benar seperti mendapat pukulan keras di dalam dirinya untuk menurunkan gengsinya yang sangat besar tersebut.“A- Ayah…., kenapa mendadak sekali? Kami berdua akur saja kok,” bergetar Daza berkata kepada ayah mertuanya.Selama ini, Daza yang tidak pernah menemui mertuanya dan bahkan tidak mengajaknya bicara meski di rumah sakit dirinya diperlakukan sangat baik, merasa canggung dan juga tidak enak hati sama sekali. Ini benar-benar pertama kalinya Daza langsung bicara dari dirinya sendiri.Ia mencoba untuk memegang tangan mertuanya. Namun segera ditepis dengan kasar karena ayah masih merasa sakit hati apabila mengingat apa saja yang sudah dilakukan Daza kepada anak perempuannya tersebut. Daza seperti sudah menyadarinya.Dengan tatapan yang menunduk sambil gemetar, Daza tahu bahwa mertuanya kini tahu semua yang sudah ia lakukan
Daza terdiam sejenak setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Diana. Ia tahu dia egois. Ia tahu dirinya ini sangat tidak bisa berpendirian selayaknya seorang pria. Dia masih terlalu plin-plan dan terus menerus mengikuti kata hatinya.“Tapi aku sangat mneyayangi Lora, aku juga mulai sadar akan keberadaan Lavendra, memang apa salahnya dengan dua wanita?” tanya Daza yang mencoba membenarkan dirinya.Menghela napas panjang sambil menelan minumannya, Diana ingin marah dan menasihati adiknya sendiri. Namun, mengingat bahwa Daza adalah pribadi yang keras kepala dan pantang menurut sebelum dirinya sendiri yang memutuskan, akhirnya Diana mencoba dengan cara lain.“Kalau begitu, pikirkan mana yang menurutmu paling menguntungkan dan bisa kamu ajak hidup dengan layak,” saran Diana.“Layak? Layak seperti apa? Aku sudah kaya, kurang layak apa lagi?” sombong Daza.PLAKHH. Diana memukul kepala Daza. Dia benar-benar tumpul kalau sudah membicarakan wanita. “Bukan finansial! Tapi secara hubungan! Pikir
“A- Apa? Kamu gila?!” PLAKHHH. Lora langsung menampar Daza dengan sangat keras sekali. Wanita itu amat marah saat mendengar Daza mengatakan hal tersebut. Tempat itu menjadi gaduh dan dipenuhi dengan orang-orang yang penasaran dengan apa yang sedang terjadi. Pria yang diajak makan oleh Lora mendatangi mereka, dia bukan pria yang tampan atau pun gagah. Tidak kelihatan lebih kaya atau pun menawan. Entah apa yang dipilih Lora sampai bisa sedemikian. “Hei sayang, apa yang sedang kamu lakukan?” ucap pria tersebut. Daza melirik ke arah pria itu, dengan wajah datar dan tidak marah sama sekali. Ia harus bisa mengendalikan diri, atau paling tidak mencari sedikit informasi mengenai apa hubungan mereka berdua ini. “O- o, sa- sayang? Haha, apa maksudmu? Haha, kita ini kan teman dekat Fredd,” Lora membalasnya. Pria yang dipanggil Fredd tersebut mendadak terkaget dengan wajah kesal mendengar bagaimana Lora memanggilnya barusan. “Teman? Selama lebih dari 3 tahun ini kamu mengatakan aku teman?”
Lora yang sangat percaya diri tersebut tidak mempedulikan soal Daza yang pergi meninggalkannya. Ia tahu bahwa pria itu akan kembali selama apa pun marahnya. Karena hanya dirinya lah yang dia miliki, dan Daza tidak akan bisa melawan meski dia mencoba untuk kabur sekali pun.Lora mengajak Fredd untuk segera menyusuri mall yang ada. Matanya tak bisa berhenti melihat ke segala arah. Banyak barang mewah dan brand yang sangat ia sukai berada di sekitarnya. Begitu juga dengan Fredd, dia merasa puas sekali dengan apa yang dia pilih.“Sayang…, bagaimana kamu akan membuat Daza percaya padamu? Apalagi, sekarang dia tahu bahwa aku tunanganmu,” tanya Fredd yang masih memilih sepatu.“Haishhh, tenang saja. Daza itu cinta mati padaku. Dia tidak akan berani meninggalkanku begitu saja. Apalagi hanya karena masalah begini. Tenang, aku akan membuatnya percaya dengan semua yang aku katakan,” Lora memberitahukan.Lora masih sibuk memilih tas kecil yang akan menjadi koleksi terbarunya. Setelah mereka puas
Lavendra bisa bernapas lega di sini. Ia bisa merasakan hidup yang sebenarnya. Meski sudah menikah pada kenyataannya, Lavendra tidak merasa seperti seorang wanita yang sudah terikat dengan janji suci. Apalagi, Daza tidak pernah menyentuhnya. Itu membuatnya merasa masih seperti wanita lajang lainnya.Sambil menatap matahari yang sangat indah, Lavendra duduk dengan sangat santai di tepi ladangnya. Ia benar-benar merasa lega sekali. Bersama dengan Oci, Lavendra merasa tenang karena ada teman bicara yang duduk di sebelahnya.“Jadi, kamu masih berpikir untuk melepaskan hubungan pernikahanmu?” tanya Oci.Meski sebelumnya Lavendra menolak menceritakan, ia akhirnya membuka semuanya tanpa menyisakan satu pun. Ia perlu satu sudut pandang dari seseorang yang sepantaran dengannya. Jadi, ia bisa memikirkan kedepannya. Entah itu baik atau buruk sekali pun.Dengan helaan napas yang berat, Lavendra menganggukkan kepalanya. Ia sudah kepalang sakit hati dan tidak bisa lagi kalau terus bersama dengan Daz
Karena paksaan dari ibunya, mau tidak mau Lavendra akhirnya jalan keluar bersama dengan Riko. Rasanya tidak nyaman dan risih sekali. Ia terus membayangkan statusnya yang masih istri orang dan tidak sepantasnya melakukan ini di belakang suaminya tersebut.Di dalam mobil Riko, Lavendra lebih banyak diam. Dia tahu kemana Riko akan mengajaknya. Pasar malam kecil-kecilan yang selalu ada di ujung desa yang tidak pernah tutup adalah satu-satunya hiburan terdekat di sini. Jadi, tidak salah kalau akhirnya ke sana lah mereka berdua pergi.Tidak ada semangat dari dalam diri Lavendra meski sudah sampai di sana. Ada jajanan yang dia rindukan serta toko es krim langganannya juga ada, tetapi itu tidak membuat Lavendra merasa nafsu untuk makan. Ia merasa makin bersalah saat tiba di sana.“Mau coba main? Di sana ada mainan baru, jad-“Riko yang menoleh melihat ke arah Lavendra yang terus murung dan juga sama sekali tidak kelihatan bersemangat langsung berdiam diri tidak berani berbicara. Benar-benar m